Beberapa waktu lalu, Mahkamah
Konstitusi (MK) membuat putusan yang menarik perihal kedudukan wakil menteri. Hal
ini berawal dari pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementrian Negara. Pasal tersebut menjelaskan, dalam hal terdapat beban kerja
yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil
Menteri pada Kementerian tertentu. Sedangkan pada penjelasannya dikatakan, bahwa
yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan
merupakan anggota kabinet.
Gerakan Nasional Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (GN-PK/Pemohon) keberatan dengan pasal tersebut. Mereka merasa
hak-hak konstitusionalnya dirugikan, dan keberadaan pasal itu bertentangan
dengan Undang_Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pengangkatan wakil menteri oleh
presiden tidak memiliki dasar hukum. Konstitusi hanya memberi wewenang ke pada
presiden mengangkat menteri, bukan wakil menteri. Selain itu, dengan mengangkat
wakil menteri dari pejabat karir, menutup hak-hak konstitusional dari
anggota-anggota/Kader-kader Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
penyelenggaraan negara khususnya untuk menjadi Wakil Menteri.
Menurut pemohon, Pasal 10
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara menyalahi dan
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 27 ayat (1) UUD
1945 dan Pasal 17 UUD 195. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakn Setiap warga
negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Sedangkan Pasal
27 ayat (1) UUD 1945, menjelaskan segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya. Pasal 17 menyatakan (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri
Negara; (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; (3)
Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; (4) Pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Jadi,
istilah wakil menteri, tidak dikenal dalam pasa ini.
Menurut MK, baik diatur atau tidak
dalam UUD 1954, pengangkatan wakil menteri merupakan bagian dari kewenangan
Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Apabila menteri dapat diangkat oleh
Presiden, logikanya, presiden pun tentu dapat mengangkat wakil menteri. Dari
sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini.
UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih
lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di
dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak
dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang
sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan
lain di dalam UUD 1945.
MK menganalogikan pengangkatan wakil
menteri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UUD 1945 tidak menentukan
adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih dikenal dengan
sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dengan TAP MPR Nomor
VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dibentuklah KPK, untuk
menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu. Padahal di dalam tata
pemerintahan kita sudah ada kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai
penuntut umum perkara pidana. Meskipun suatu lembaga negara tidak secara tegas
dicantumkan dalam UUD 1945, hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang tidak
bertentangan dengan UUD 1945.
Biaya yang dikeluarkan untuk suatu
jabatan atau suatu lembaga, tidak boleh dinilai sebagai kerugian semata. Selain
kerugian finansial ada juga keuntungan dan manfaatnya untuk bangsa dan negara.
Sebagai salah satu contoh, biaya yang dikeluarkan untuk pegawai lembaga
pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, biaya pembuatan gedung, biaya untuk
para narapidana atau tahanan, semua itu tidak boleh dinilai dari pengeluaran
yang dianggap kerugian negara sebab hal tersebut dilakukan dalam rangka
penegakan salah satu aspek negara hukum, dalam hal ini penjatuhan pidana
terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Apalagi bukan tidak mungkin
adanya wakil menteri itu bisa turut mengawasi penggunaan anggaran agar tidak
terjadi pemborosan dan berbagai korupsi.
Namun demikian, mengenai orang yang
dapat diangkat sebagai wakil menteri menurut Mahkamah, dapat berasal dari
pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian
Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa. Apabila wakil menteri ditetapkan
sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi
kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil,
yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar