Senin, 02 Juli 2012

PENDAPAT MAHKAMAH KONSTITUSI PERIHAL JABATAN WAKIL MENTERI


Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang menarik perihal kedudukan wakil menteri. Hal ini berawal dari pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. Pasal tersebut menjelaskan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu. Sedangkan pada penjelasannya dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.
Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK/Pemohon) keberatan dengan pasal tersebut. Mereka merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan, dan keberadaan pasal itu bertentangan dengan Undang_Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pengangkatan wakil menteri oleh presiden tidak memiliki dasar hukum. Konstitusi hanya memberi wewenang ke pada presiden mengangkat menteri, bukan wakil menteri. Selain itu, dengan mengangkat wakil menteri dari pejabat karir, menutup hak-hak konstitusional dari anggota-anggota/Kader-kader Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan negara khususnya untuk menjadi Wakil Menteri.
Menurut pemohon, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara menyalahi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 UUD 195. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakn Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Sedangkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menjelaskan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 17 menyatakan (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara; (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Jadi, istilah wakil menteri, tidak dikenal dalam pasa ini.
Menurut MK, baik diatur atau tidak dalam UUD 1954, pengangkatan wakil menteri merupakan bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Apabila menteri dapat diangkat oleh Presiden, logikanya, presiden pun tentu dapat mengangkat wakil menteri. Dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini. UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam UUD 1945.
MK menganalogikan pengangkatan wakil menteri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UUD 1945 tidak menentukan adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih dikenal dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dibentuklah KPK, untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu. Padahal di dalam tata pemerintahan kita sudah ada kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut umum perkara pidana. Meskipun suatu lembaga negara tidak secara tegas dicantumkan dalam UUD 1945, hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Biaya yang dikeluarkan untuk suatu jabatan atau suatu lembaga, tidak boleh dinilai sebagai kerugian semata. Selain kerugian finansial ada juga keuntungan dan manfaatnya untuk bangsa dan negara. Sebagai salah satu contoh, biaya yang dikeluarkan untuk pegawai lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, biaya pembuatan gedung, biaya untuk para narapidana atau tahanan, semua itu tidak boleh dinilai dari pengeluaran yang dianggap kerugian negara sebab hal tersebut dilakukan dalam rangka penegakan salah satu aspek negara hukum, dalam hal ini penjatuhan pidana terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Apalagi bukan tidak mungkin adanya wakil menteri itu bisa turut mengawasi penggunaan anggaran agar tidak terjadi pemborosan dan berbagai korupsi.
Namun demikian, mengenai orang yang dapat diangkat sebagai wakil menteri menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar