Kamis, 30 Juni 2011

Ada Lawan Politik yang Manfaatkan Nazaruddin

Jakarta - Partai Demokrat (PD) menengarai Nazaruddin tidak bermain sendiri. Ada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan mantan bendahara umum itu sehingga melempar bola panas dari Singapura dan menuding-nuding kolega partainya di PD.

"Ada lawan politik, ini memang sekuel kelanjutan dari manuver SMS dahulu," kata Ketua DPP PD Kastorius Sinaga saat dikonfirmasi, Jumat (1/7/2011).

Kastorius enggan menyebut pihak mana yang memanfaat Nazaruddin itu. Hanya saja dia yakin lawan politik itu berniat menghancurkan PD untuk kepentingan 2014.

"Lawan politik ini yang menginginkan persoalan dibuka secara pelan-pelan dan hasilnya kemudian merusak partai secara total," jelasnya.

Kastorius juga menyebut contoh tudingan yang dialamatkan Nazaruddin untuk merusak citra partainya. Misalnya saat Nazaruddin menuding Anas Urbaningrum dan beberapa politisi PD menerima dana Kemenpora.

"Nazar lagi stres lalu menuding dan memfitnah Anas. Tudingan itu tanpa bukti dan fakta," tuturnya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Muhammad Nazaruddin sebagai tersangka kasus suap wisma atlet. Nazaruddin yang dijerat empat pasal penerimaan suap, terancam hukuman maksimal 20 tahun penjara.

"MN ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan pasal 12 huruf (a) atau (b) subsidair pasal 5 ayat (2) subsidair pasal 11 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-undang 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi," ujar Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dalam konferensi pers di kantornya, Jl Rasuna Said, Jaksel, Kamis (30/6/2011) sore.

Setelah ditetapkan tersangka, Nazaruddin mengumbar tudingan. Melalui BlackBerry Messenger (BBM) dia menyebut Anas Urbaningrum ikut menerima setoran dana Kemenpora. Jumlahnya mencapai miliaran.



(Indra Subagja - detikNews)

Minggu, 26 Juni 2011

HAK ASASI YANG MASIH HARUS DIPERJUANGKAN

Oleh: Alfeus Jebabun

Petani di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, harus kehilangan mata pencaharian. Selama bertahun-tahun nasib mereka menggantung karena sekitar 1.000 hektar sawah miliknya diklaim oleh TNI AU. Selama tiga hari, penulis ikut merasakan bagaimana kehidupan petani di Sukamulya.
Masyarakat setempat berpendapat bahwa tanah yang mereka tempati adalah tanah ulayat, yang diwariskan secara turun temurun sejak sebelum Indonesia merdeka. Sengketa antara petani sukamulya dan TNI AU sudah terjadi sejak tahun 1955, dan sampai sekarang belum ada kejelasan soal kepemilikan tanah. Akan tetapi, ditengah ketidakjelasan itu, TNI AU telah menggusur sawah milik masyarakat untuk membangun water training. Lahan untuk membangun water training yang sudah digusur luasnya lebih dari 10 hektar. Akhibatnya, sebagian warga Desa Sukamulya kehilangan mata pencaharian dan tempat tinggal.
Pemerintah menutup mata terhadap kasus tersebut. Masyarakat dibiarkan berjuang sendiri. DPR yang sejatinya wakil rakyat, sudah tidak peduli, walapun masyarakat Desa Sukamulya hampir setiap Hari teriak di DPR. Masyarakat tidak tahu lagi, entah ke mana harus mengadu. Pemerintah sibuk dengan urus dirinya sendiri, dan sibuk mencuri uang rakyat. Masyarakat dibiarkan terlantar.
Berikut saya jelaskan kronologi sengketa Tanah di Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (hasil investigasi penulis)

A. RIWAYAT TANAH

1. Bahwa Desa Sukamulya merupakan penggabungan dari empat desa pada masa penjajahan Kolonial Belanda, yaitu desa Cikoleang, Desa Peusar, Desa Malapar, dan Desa Lembiranji. Atas penggabungan tersebut, maka secara keseluruhan luas Desa Sukamulya sampai saat ini sebesar 1.073 ha. Jumlah tersebut merupakan penjumlahan luas tanah bekas perkebunan karet PT. Cikoleang sebesar 572 ha dan 501 tanah milik warga dari empat desa tersebut. Tanah milik yang dimaksud berasal dari tanah warisan, yang diwariskan secara turun temurun sejak sebelum masa penjajahan. Pada masa penjajahan pun tanah-tanah tersebut tetap dikelola oleh warga setempat, walaupun dengan cara ditanami tanaman perdagangan untuk kepentingan penjajah.
2. Bahwa tanah seluas 1.073 ha tersebut oleh TNI Angkatan Udara mengklaim bahwa 1.000 ha tanah tersebut milik TNI Angkatan Udara. TNI AU mendasari pengklaiman dengan Surat Keputusan Kepala Staf Angkatan Perang Nomor: 023/P/KSAP/50 tanggal 25 Mei 1950 yang isinya antaralain:” lapangan-lapangan terbang serta bangunan-bangunan yang termasuk lapangan dan alat-alat yang berada di lapangan dan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan-lapangan tersebut menjadi milik Angkatan Udara RI”. Berdasarkan pengklaiman tersebut, TNI AU berusaha mengaktifkan kembali landasan pesawat dan membangun water training untuk kepentingan TNI AU.
3. Bahwa klaim TNI AU dan pembangunan water training oleh TNI AU ditolak oleh masyarakat Desa Sukamulya. Warga Desa Sukamulya menyatakan bahwa sejarah tanah di desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor berawal dari dua tanah, yaitu tanah partikelir yaitu tanah bekas milik PT. Cikoleang yang telah dinasionalisasikan dan tanah adat yang telah diwariskan secara turun temurun.
4. Bahwa berdasarkan data di Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, status tanah yang menjadi obyek permasalahan, semula adalah tanah Negara bekas Eigendom Verponding Nomor: 67 (sisa), nomor: 68(sisa), dan nomor 113(sisa) atas nama CULTUUR MAATSCHAPIJ TJIKOLEANG seluas 572,2000 ha, terletak di Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penegasan nasionalisasi CULTUUR MAATSCHAPIJ TJIKOLEANG menjadi tanah Negara dilakukan oleh Menteri Negara Agraria melalui Surat Keputusan Menteri Negara Agraria Nomor: SK.315/KA tanggal 20 Oktober 1958 berdasarkan UU No.1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
5. Bahwa tanah seluas 572,2000 tersebut, sejumlah 432,550 ha diberikan secara Cuma-Cuma oleh pemerintah sebagai ganti rugi untuk Hak Guna Usaha selama 35 tahun kepada PT. PERKEBUNAN CIKOLEANG, sedangkan sisanya yaitu sekitar 140 ha digunakan untuk jalan umum, Komplek Angkatan Udara Republik Indonesia dan Areal garapan rakyat, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agraria Nomor: SK.968/KA tanggal 28 Desember 1958. Akan tetapi dalam kenyataanya, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: SK.34/HGU/DA/84 tanggal 15 Oktober 1984 tanah seluas 432,250 ha yang sebenarnya digunakan sebagai ganti rugi untuk Hak Guna Usaha PT Perkebunan Cikoleang, yang digunakan hanya 324,250 ha, sedangkan sisanya sekitar 108,5250 dikeluarkan untuk digunakan bagi keperluan LAPAN, Pemerintah Kabupatten Bogor, dan Desa setempat.
6. Bahwa selanjutnya tanah seluas 108,5250 ha tersebut di atas, setelah diukur luasnya ternyata hanya 90 ha. Berdasarkan SK Bupati Bogor Nomor: 591/194/Kpts/Huk/2003 tanggal 12 Juni 2003, tanah seluas 90 ha tersebut dibagikan/dialokasikan untuk:
a. Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor seluas 16 ha, dan telah diterbitkan sertifikat hak pakai Nomor: 5/Sukamulya.
b. Lapan seluas 50 ha telah diterbitkan sertifikat hak pakai Nomor: 3/Sukamulya.
c. Pemerintah Desa Sukamulya dan para penggarap seluas 24 ha.

B. KRONOLOGIS SENGKETA/KONFLIK

1. Pihak masyarakat mengklaim tanah yang dijadikan rencana pembangunan Water Training TNI AU seluas 10 ha yang berlokasi di Blok Cibitung dan Blok Cikoleang termasuk kedalam kepemilikan tanah adat masyarakat seluas 5 ha, dan tanah asset desa yang diperuntukan kapling masyarakat seluas 5 ha, yang diperoleh berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bogor Nomor: 591/194/KPTS/Huk/2003 tanggal 12 Juni 2006.
2. Unjuk rasa masyarakat dipicu oleh adanya kegiatan TNI AU yang telah melaksanakan pembuatan water training dan diklaim oleh masyarakat dengan alasan sebagai berikut:
a. Tidak memiliki surat perizinan dari Pemerintah Kabupaten Bogor;
b. Tidak melakukan musyawara terlebih dahulu dengan masyarakat pemilik tanah, baik persetujuan untuk dijual maupun musyawarah harga ganti rugi;
c. Telah menurunkan pasukan TNI AU dan alat berat berupa escavator tanpa sepengetahuan aparat pemerintah setempat dan masyarakat;
d. Adanya dugaan kegiatan tersebut telah dibiayai oleh pengusaha penggalian pasir;
e. Adanya tanah adat milik masyarakat yang turut terkena proyek tersebut.
3. Masyarakat menuntut rencana pembuatan water training harus ditangguhkan dan pasukan TNI AU segera ditarik dari lokasi, sedangkan kepada pihak TNI AU agar dalam melaksanakan pembangunan water training dilakukan melalui prosedur peraturan yang berlaku, dan apabila TNI AU tetap melaksanakan kegiatan, maka masyarakat siap untuk melakukan perlawanan.
4. Akhibat tuntutan dari warga desa sukamulya tersebut, tidak diindahkan oleh TNI AU, maka warga Kecamatan Rumpin melakukan perlawanan sebagai berikut:
a. Bahwa pada tanggal 25 November 2006 bertempat dilokasi tanah masyarakat yang diklaim oleh TNI AU, telah terjadi unjuk rasa masyarakat Desa Sukamulya, Kecamatan Rumpin dan masyarakat Desa Suradita Kecamatan Cisauk, Kabupaten Tangerang sebanyak 400 (empat ratus) orang;
b. Bahwa pada tanggal 5 Desember 2006, ratusan warga desa sukamulya mendatangi gedung DPRD Kabupaten Bogor menuntut agar TNI AU ditarik mundur dari kampong mereka;
c. Bahwa pada tanggal 10 Desember 2006 warga Desa Sukamulya melakukan aksi unjuk rasa dengan mendatangi lokasi pembuatan water training, dan melakukan pemblokiran jalan menuju proyek water training;
d. Bahwa pada tanggal 14 Desember 2006, warga kecamatan Rumpin bersama anggota DPRD Kabupaten Bogor menemui Menteri Pertahanan dan diterima Kasi Inventarisasi asset Departemen Pertahanan Nasional;
e. Bahwa pada tanggal 23 Desember 2006, warga Desa Sukamulya melakukan aksi unjuk rasa di Kantor Desa Sukamulya dan memblokir jalan desa, menuntut pihak Kecamatan Rumpin dan Desa Sukamulya ikut bertanggungjawab atas konflik yang terjadi;
f. Bahwa pada tanggal 26 Desember 2006 warga Desa Sukamulya melakukan aksi unjuk rasa dengan mendatangi lokasi proyek Water Training TNI AU dan melakukan pengrusakan terhadap alat-alat berat berupa escavator. Dengan adanya kejadian tersebut pihak Lanud TNI AU Atang Sanjaya melaporkan kasus tersebut ke Polres Bogor;
g. Bahwa pada tanggal 27 Desember 2006 warga Kecamatan Rumpin mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan melaporkan kasus penyerobotan tanah tersebut, serta menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara;
h. Bahwa guna melindungi hak-hak masyarakat desa Sukamulya KOMNAS HAM melalui suratnya Nomor 269/SK-KHU/XII/2006 tanggal 28 Desember 2006, mohon bantuan kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor untuk mengklarifikasi atas kasus sengketa tanah warga Desa Sukamulya dengan TNU AU Bogor.
i. Bahwa pada tanggal 21 Januari 2007 telah terjadi unjuk rasa masyarakat Kampung Cibitung dan Kampung Cikoleang Desa Sukamulya di lokasi rencana pembangunan water training TNI AU. Sekitar 500 orang petani, dari bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak melakukan penghadangan terhadap pasukan TNI AU yang menggunakan seragam dengan dilengkapi senjata. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sempat terjadi negosiasi antara warga dengan pihak TNI AU. Dalam negosiasi tersebut disepakati 2 (dua) point penting yakni:
1) Bahwa TNI AU akan menarik pasukan dari lokasi;
2) Bahwa TNI AU akan menghentikan penggusuran terhadap lahan-lahan pertanian milik warga.
Setelah terjadi kesepakatan tersebut, warga berhasil memaksa pasukan TNI AU keluar dari lokasi pertanian pada sore hari, sekitar jam 17.00 WIB. Meskipun pasukan TNI telah ditarik, warga tetap berjaga-jaga di kampung, untuk memastikan bahwa pasukan TNI tidak datang lagi, dan menyepakati kesepakatan dari hasil negosiasi. Unjuk rasa dilakukan karena adanya kegiatan pengrusakan dengan penggusuran Tanah Sawah milik masyarakat oleh TNI AU untuk proyek water training.
j. Bahwa pada tanggal 22 Januari 2007 Pada jam 13.00 WIB, pasukan TNI AU yang terdiri dari TNI AU Atang Sanjaya Bogor dan Paskas TNI AU kembali mendatangi lokasi dengan menggunakan 4 buah truk atau kurang lebih sebanyak 100 orang, dengan menggunakan seragam dan dilengkapi dengan senjata, serta dikawal oleh kurang lebih 30 orang aparat Kepolisian. Kurang lebih 600 orang petani yang terdiri dari bapak-bapak, ibu-ibu dan anak-anak, kembali melakukan penghadangan terhadap pasukan TNI AU. Warga melakukan blokade penghadangan dengan menempatkan ibu-ibu berada di barisan terdepan dan berhadapan langsung dengan pasukan TNI AUu. Namun tanpa ada aba-aba atau peringatan, pasukan TNI AU langsung mendorong ibu-ibu hingga terjatuh, dan melihat kondisi tersebut, warga yang terpancing kemudian menjadi emosi dan melakukan perlawanan. Sekitar jam 14.00 WIB, tiba-tiba pasukan TNI AU melakukan penembakan ke arah warga dan mengakibatkan 1 orang terkena tembakan di bagian leher sebelah kiri. Setelah jauh korban, warga berhamburan ke arah pemukiman warga dan menyelamatkan korban ke RS terdekat. Penembakan TNI AU kemudian terhenti setelah melihat ada warga yang terkena tembakan. Berselang 2 (dua) jam kemudian, pasukan tambahan TNI AU yang terdiri dari 3 SSK yang berjumah kurang lebih 80 orang datang ke lokasi, dan langsung melakukan pengrusakan terhadap posko pertemuan petani, 2 (dua) buah motor milik warga dan merampas hand phone milik warga. Setelah itu, pasukan TNI AU melakukan penyisiran dan penyerangan terhadap warga, yang mengakibatkan 2 (dua) orang warga terluka akibat dipukul dengan popor senjata oleh TNI AU dan 1 (satu) orang remaja putri terkena tendangan sepatu laras di rusuk sebelah kanan, setelah sebelumnya pasukan TNI juga melakukan penjambretan terhadap kalung milik ibu korban. Setelah itu, sampai jam 19.00 WIB, pihak TNI AU terus melakukan sweeping dan penjagaan ke rumah-rumah warga sampai jam 02.30 dini hari.
Berikut ini keterangan jumlah korban:
Korban Luka Tembak, Penganiyaan dan Penyiksaan
• Acep (L, 50 tahun) warga Cibitung Desa Sukamulya, tertembak dibagian leher kiri.
• Usup (L, 50 tahun) warga Cibitung Desa Sukamulya, dianiaya pada bagian kepala bagian tengah dengan popor senjata.
• Acih (P, 40 tahun) warga Cibitung Desa Sukamulya, dianiaya dan mengakibatkan luka-luka.
• Hj. Neneng (P), pingsan terkena pukulan dan 5 gram kalung emas yang dipakainya, dijambret oleh TNI AU.
• Iyos (L, 40 tahun) pingsan terkena pukulan.
• Hahat (P, 40 tahun) pingsan terkena pukulan
• Rosita (remaja putrid) terkena tendangan sepatu laras di rusuk sebelah kanan
• Warga Perumnas yang kebetulan melintas di lokasi kejadian, ikut terkena pukulan
Warga yang Ditangkap:
• H. Amir (ditangkap oleh Polsek Rumpin)
• Uci (ditangkap oleh Polsek Rumpin)
• Dery (ditangkap oleh Polsek Rumpin)
• Sudaryanto, kondisinya wajah lebam ketika diserahkan ke Polsek
• Cece (AGRA), diidentifikasi oleh warga dibawa oleh pasukan TNI AU
Korban Kerusakan Benda
• Saung tempat pertemuan petani dirusak
• Motor milik warga dirusak, salah satunya milik Mukri
• Pengrusakan/ perampasan HP milik warga.

Kamis, 23 Juni 2011

MENJAWAB ANCAMAN KEGAGALAN KONSOLIDASI DEMOKRASI

By: Alfeus Jebabun

Konsolidasi demokrasi Indonesia berada dalam ancaman kegagalan. Hal ini bias dilihat dalam berbagai masalah yang bertumpuk-tumpuk tanpa penyelesaian akhir-akhir ini, yang menimbulkan keresahan hamper semua lapisan masyarakat. Radikalisasi agama kian menguat, terutama terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain, penggusuran rumah-rumah warga, angka kemiskinan yang tak kunjung turun, dan sejumlah persoalan kebangsaan yang lainnya. Situasi ini cukup berbahaya, sebab bias mengikis kesadaran kebangsaan di Indonesia yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Demikian benang merah diskusi dalam Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) pada 28 Maret – 1 April 2011 kemarin. Kegiatan ini akan berlanjut sampai dengan tanggal 6 Mei 2011. Kalabahu merupakan kegiatan rutin dari LBH Jakarta yang dilaksanakan setiap tahun. Kalabahu tahun 2011 merupakan yang ke- 32, dengan mengambil tema Regenerasi Pengabdi Bantuan Hukum, Mendorong Gerakan Bantuan Hukum Struktural, Menjawab Ancaman Kegagalan Konsolidasi Demokrasi.
Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat, mengatakan bahwa tema tersebut diambil berangkat dari keadaan “turbulensi konsolidasi demokrasi” yang merupakan tantangan yang terus menerus dihadapi oleh para pekerja bantuan hokum structural seiring dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Para pengabdi bantuan hukum structural dikepung oleh berbagai persoalan yang jauh lebih kompleks. Persoalan ketimpangan dan ketidakadilan structural tidak dengan sendirinya hilang setelah satu dekade reformasi berjalan. Kondisi hukum kita masih dicengkram oleh rantai impunitas, dan tentunya politik antipenegakan hukum. Keduanya seiring sejalan dengan terus meningkatnya represi kekuatan pasar yang menggerus semua tatanan hukum untuk menjadi hanya sekedar instrument pengakselerasinya. Hal ini diperparah oleh kondisi politik yang Cuma menjadi ajang transaksi kepentingan individu dan kelompok, maka terabaikanlah semua kepentingan dan kebutuhan rakyat, konstitusi tak lagi menjadi pedoman melainkan hanya diatas kertas.
Mahasiswa Universitas Katholik Atmajaya Jakarta, Moh. Fadrian Hadistianto, menyoroti pelarangan dan pengusiran jemaat Ahmadiah. Fadrian mengatakan bahwa tindakan pemerintah melarang jemaat Ahmadiah menyebarkan ajaran agamanya sangat mencederai prinsip Negara demokrasi, yaitu pengakuan terhadap hak dan kebebasan individu. Hal itu dipertegas oleh Markus dari Koalisi Masyarakat Adat Papua (Kampak). Markus mengatakan bahwa tindakan pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri adalah inkonstitusional. “Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi apabila tetap melarang, apalagi menyuruh membubarkan Ahmadiah, maka pemerintah melanggar UUD 1945”.
Melanggar UUD 1945 berarti melanggar hukum. Hal tersebut juga berarti mengurangi dan menghancurkan identitas Indonesia sebagai Negara hukum, sebab Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. Ciri Negara hukum adalah menjamin terselenggara kedudukan dalam hukum, yang antara lain ditandai dengan terciptanya suatu keadaaan dimana hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum serta jaminan kepada setiap kepada setiap orang yang berhak mendapat akses keadilan. Oleh karena itu, menurut Bosyro Muqoddas (yang hadir sebagai pembicara sesi I), jaminan Negara yang diberikan kepada warga Negara merupakan salah satu hak dasar yang mutlak tanpa dapat dikurangi sedikitpun juga. Selain itu, lanjut Busyro, dukungan, perlindungan maupun bantuan dari badan atau organisasi seperti LBH terhadap rakyat menjadi sangat penting. Kedudukan LBH menjadi sesuatu yang sentral dan strategis, bahkan independensi dan kenetralan lembaga terus diuji.
Melihat tantangan tersebut, ketua panitia KALABAHU LBH Jakarta 2011, Moh. Isnur, mengharapkan agar dengan KALABAHU, LBH Jakarta dapat menjemput dan melahirkan Human Right Defenders yang mempunyai empati dan tanggungjawab terhadap kaum miskin, marginal dan tertindas. Bahkan 50 peserta dari kurang lebih 20 kampus dari seluruh Indonesia itu semuanya menjadi Human Right Defenders, sehingga ancaman terhadap konsolidasi demokrasi Indonesia bias dihindari.