Kamis, 23 Juni 2011

MENJAWAB ANCAMAN KEGAGALAN KONSOLIDASI DEMOKRASI

By: Alfeus Jebabun

Konsolidasi demokrasi Indonesia berada dalam ancaman kegagalan. Hal ini bias dilihat dalam berbagai masalah yang bertumpuk-tumpuk tanpa penyelesaian akhir-akhir ini, yang menimbulkan keresahan hamper semua lapisan masyarakat. Radikalisasi agama kian menguat, terutama terlihat dari merosotnya toleransi terhadap kelompok atau agama lain, penggusuran rumah-rumah warga, angka kemiskinan yang tak kunjung turun, dan sejumlah persoalan kebangsaan yang lainnya. Situasi ini cukup berbahaya, sebab bias mengikis kesadaran kebangsaan di Indonesia yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Demikian benang merah diskusi dalam Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) pada 28 Maret – 1 April 2011 kemarin. Kegiatan ini akan berlanjut sampai dengan tanggal 6 Mei 2011. Kalabahu merupakan kegiatan rutin dari LBH Jakarta yang dilaksanakan setiap tahun. Kalabahu tahun 2011 merupakan yang ke- 32, dengan mengambil tema Regenerasi Pengabdi Bantuan Hukum, Mendorong Gerakan Bantuan Hukum Struktural, Menjawab Ancaman Kegagalan Konsolidasi Demokrasi.
Direktur LBH Jakarta, Nurkholis Hidayat, mengatakan bahwa tema tersebut diambil berangkat dari keadaan “turbulensi konsolidasi demokrasi” yang merupakan tantangan yang terus menerus dihadapi oleh para pekerja bantuan hokum structural seiring dengan perkembangan masyarakat yang dinamis. Para pengabdi bantuan hukum structural dikepung oleh berbagai persoalan yang jauh lebih kompleks. Persoalan ketimpangan dan ketidakadilan structural tidak dengan sendirinya hilang setelah satu dekade reformasi berjalan. Kondisi hukum kita masih dicengkram oleh rantai impunitas, dan tentunya politik antipenegakan hukum. Keduanya seiring sejalan dengan terus meningkatnya represi kekuatan pasar yang menggerus semua tatanan hukum untuk menjadi hanya sekedar instrument pengakselerasinya. Hal ini diperparah oleh kondisi politik yang Cuma menjadi ajang transaksi kepentingan individu dan kelompok, maka terabaikanlah semua kepentingan dan kebutuhan rakyat, konstitusi tak lagi menjadi pedoman melainkan hanya diatas kertas.
Mahasiswa Universitas Katholik Atmajaya Jakarta, Moh. Fadrian Hadistianto, menyoroti pelarangan dan pengusiran jemaat Ahmadiah. Fadrian mengatakan bahwa tindakan pemerintah melarang jemaat Ahmadiah menyebarkan ajaran agamanya sangat mencederai prinsip Negara demokrasi, yaitu pengakuan terhadap hak dan kebebasan individu. Hal itu dipertegas oleh Markus dari Koalisi Masyarakat Adat Papua (Kampak). Markus mengatakan bahwa tindakan pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri adalah inkonstitusional. “Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 mengatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi apabila tetap melarang, apalagi menyuruh membubarkan Ahmadiah, maka pemerintah melanggar UUD 1945”.
Melanggar UUD 1945 berarti melanggar hukum. Hal tersebut juga berarti mengurangi dan menghancurkan identitas Indonesia sebagai Negara hukum, sebab Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 mengatakan Negara Indonesia adalah Negara hukum. Ciri Negara hukum adalah menjamin terselenggara kedudukan dalam hukum, yang antara lain ditandai dengan terciptanya suatu keadaaan dimana hak setiap orang untuk mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum serta jaminan kepada setiap kepada setiap orang yang berhak mendapat akses keadilan. Oleh karena itu, menurut Bosyro Muqoddas (yang hadir sebagai pembicara sesi I), jaminan Negara yang diberikan kepada warga Negara merupakan salah satu hak dasar yang mutlak tanpa dapat dikurangi sedikitpun juga. Selain itu, lanjut Busyro, dukungan, perlindungan maupun bantuan dari badan atau organisasi seperti LBH terhadap rakyat menjadi sangat penting. Kedudukan LBH menjadi sesuatu yang sentral dan strategis, bahkan independensi dan kenetralan lembaga terus diuji.
Melihat tantangan tersebut, ketua panitia KALABAHU LBH Jakarta 2011, Moh. Isnur, mengharapkan agar dengan KALABAHU, LBH Jakarta dapat menjemput dan melahirkan Human Right Defenders yang mempunyai empati dan tanggungjawab terhadap kaum miskin, marginal dan tertindas. Bahkan 50 peserta dari kurang lebih 20 kampus dari seluruh Indonesia itu semuanya menjadi Human Right Defenders, sehingga ancaman terhadap konsolidasi demokrasi Indonesia bias dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar