Kamis, 12 Juli 2012

Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung

(Tulisan ini di copy paste dari blog krupukkulit, dan sebelumnya telah dimuat di Majalah Tempo pertengahan tahun 2011 dengan judul “Sudah Saatnya Mahkamah Agung Menerapkan Sistem Kamar“. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana sistem kamar di MA, silahkan membaca di www.leip.or.id)


Sistem Kamar merupakan pengelompokan hakim-hakim yang memiliki keahlian di bidang hukum yang sama. Hakim-hakim tersebut hanya akan mengadili perkara yang sesuai dengan bidang keahlian di kelompoknya.
Salah satu penyebab rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan berkaitan erat dengan kualitas dan konsistensi putusan, sehingga membuka peluang bagi para pihak untuk terus melakukan upaya hukum karena sulitnya mencari standar putusan sejenis sebagai acuan. Kondisi ini membuka peluang bagi pihak yang berkepentingan untuk memenangkan perkara. Lebih runyam lagi bila praktek suap dan kolusi ikut ambil bagian.
Sejatinya, Mahkamah Agung (MA) memiliki fungsi kasasi yang bila dijabarkan akan mengarah pada pentingnya peran MA dalam menjaga kesatuan hukum. Putusan MA bukan hanya berpengaruh kepada para pihak yang berperkara, namun secara tidak langsung juga menimbulkan dampak yang luas, karena akan menjadi referensi bagi di pengadilan tingkat bawah maupun di MA sendiri, dalam menangani perkara serupa di masa mendatang. Dalam konteks inilah sistem kamar menjadi penting.
Sistem kamar merupakan pengelompokan hakim-hakim yang memiliki keahlian atau spesialisasi hukum yang sama atau sejenis, dan hakim-hakim tersebut hanya akan mengadili perkara yang sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam satu kamar bisa terdapat satu atau lebih majelis, disesuaikan dengan banyak perkara. Kamar-kamar ini bukan badan-badan peradilan yang terpisah, melainkan tetap dalam satu badan peradilan.

Secara singkat, tujuan penerapan sistem kamar adalah sebagai berikut:

Mengembangkan keahlian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, karena hakim hanya memutus perkara yang sesuai dengan kompetensi dan keahliannya;
Meningkatkan produktivitas pemeriksaan perkara. Spesialisasi dalam sistem kamar akan mengurangi variasi perkara yang diterima hakim, karena perkara telah terklasifikasi sesuai dengan kompetensi hakim. Dengan demikian, hakim akan memutus perkara yang sejenis sesuai keahliannya secara terus menerus, dan pada akhirnya menciptakan standardisasi;
Memudahkan pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum, karena putusan telah terklasifikasi sesuai keahlian dalam kamar. Sistem Kamar yang konsisten akan berdampak positif dalam jangka panjang terhadap upaya menjaga kesatuan hukum. Bila kepastian hukum dapat diwujudkan, maka pengajuan kasasi dapat menurun, dan arus permohonan kasasi yang tidak beralasan dapat ditekan.
Sejarah Sistem Kamar di Indonesia
Sistem Kamar pada umumnya diterapkan di negara-negara Civil Law, seperti Belanda, Jerman, dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Mahkamah Agung di negara-negara tersebut terdiri dari beberapa Kamar (Chamber), di mana setiap Kamar terdiri dari beberapa orang hakim agung yang hanya akan mengadili perkara sesuai keahlian di kamarnya masing-masing.
Hal ini berbeda dengan Mahkamah Agung di negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, serta negara-negara bekas jajahan Inggris. Mahkamah Agung di negara-negara tersebut hanya terdiri dari satu Kamar yang menangani semua jenis perkara.
Sistem Kamar sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia, mengingat sistem peradilan kita merupakan warisan dari Belanda yang sejak lama telah menerapkan sistem kamar. Namun, sejak kekuasaan Hooggerechtshof (Pengadilan Banding) diserahkan kepada MA di tahun 1950, sistem kamar yang ada dalam Hooggerechtshof tersebut dihapuskan untuk sementara waktu, mengingat sangat sedikitnya jumlah hakim agung yang ada pada saat itu, yaitu berjumlah lima orang.
Keinginan untuk kembali menerapkan sistem Kamar kembali menguat pada pertengahan tahun enampuluhan. Cikal bakal untuk kembali ke sistem Kamar terlihat dari munculnya jabatan Ketua Muda dalam Undang-Undang (UU) No. 13/ 1965 tentang Mahkamah Agung. UU ini mengusulkan revisi struktur formal MA, yang akarnya diwujudkan kembali ke dalam empat bidang peradilan (Peradilan Umum, Militer, Agama dan Tata Usaha Negara/TUN).
Meski tidak disebutkan secara eksplisit, namun bagian Penjelasan Umum UU tersebut menyebutkan dengan tegas salah satu ciri dari sistem kamar, yaitu setiap Ketua Muda memiliki beberapa hakim agung sebagai hakim anggota. Sayangnya, belum sempat dilaksanakan, UU No. 13/ 1965 ini dicabut di tahun 1969 melalui UU No. 6/1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Kebutuhan akan adanya spesialisasi melalui sistem Kamar kembali menguat pada awal tahun delapanpuluhan. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR tahun 1982, Ketua MA saat itu mengusulkan agar di MA dimunculkan jabatan Ketua Muda untuk bidang-bidang hukum tertentu. Usulan ini kemudian diterima oleh DPR dan dikongkritkan dalam UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Namun, berbeda dengan UU No.13/1965, dalam UU UU No. 14/1985 tidak dijelaskan lebih jauh mengenai jabatan Ketua Muda tersebut, baik penjelasan mengenai latar belakang lahirnya jabatan ‘baru’ itu, maupun peran dan fungsinya di MA.
Seiring perjalanan waktu, sistem pembagian perkara di MA ternyata justru semakin jauh dari sistem Kamar yang diharapkan. Hakim-hakim agung tidak dikelompokkan di bawah koordinasi Ketua Muda bidang perkara, namun dikelompokkan ke dalam tim-tim, dimana setiap tim akan terdiri dari beberapa orang hakim agung, dan majelis hakim agung dibentuk berdasarkan hakim agung yang ada dalam tim-tim tersebut.
Pembagian tim ini sekilas memang terkesan serupa dengan sistem Kamar, namun sebenarnya tidak demikian. Sebab, pembentukan tim tidak didasarkan pada pembagian bidang perkara yang dibawahi oleh Ketua Muda, melainkan didasarkan pada berapa banyak unsur pimpinan yang ada, yang kemudian akan menjadi Ketua Tim.
Masalahanya adalah, tidak semua unsur pimpinan, seperti Ketua MA, para Wakil Ketua MA, Ketua Muda Pengawasan dan Ketua Muda Pembinaan, adalah Ketua Muda yang membawahi bidang perkara. Masalah berikutnya, seorang hakim agung juga dapat menjadi anggota di dua tim sekaligus, dan pembagian tim tidak sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Celakanya lagi, perbedaan mendasar sistem pembagian perkara saat ini dengan sistem Kamar yang sesungguhnya adalah keseluruhan tim yang ada pada dasarnya dapat memeriksa semua jenis perkara yang diterima MA, mulai dari perdata, pidana, agama, tata usaha negara, maupun militer.
Sistem tersebut secara tidak langsung sebenarnya telah membuat fungsi dari Ketua Muda bidang perkara menjadi tidak jelas. Misalnya, apa fungsi Ketua Muda Pidana jika masih dimungkinkan perkara pidana diperiksa oleh majelis hakim yang tidak berada di bawah koordinasinya?
Hal ini juga berdampak langsung pada kemampuan MA dalam menjaga konsistensi putusan. Tentu sangat sulit menjaga konsistensi atas suatu penerapan hukum apabila suatu jenis perkara diperiksa oleh beberapa ‘Kamar’ sekaligus.
Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan ketiadaan yurisprudensi tetap yang berakibat peluang untuk saling berbeda pendapat diantara majelis hakim agung dalam perkara sejenis semakin terbuka. Lebih jauh lagi, masalah kualitas putusan juga menjadi isu serius, mengingat sangat mungkin suatu perkara diputus oleh majelis hakim agung yang tidak memiliki latar belakang kompetensi yang tepat.

Revitalisasi Sistem Kamar
Untuk mengoptimalkan sistem kamar, diperlukan restrukturisasi sistem maupun cara pandang di MA. Pertama adalah dengan merombak sistem pembagian hakim agung dan distribusi perkara berdasarkan tim menjadi pembagian hakim agung dan distribusi perkara berdasarkan bidang perkara.
Secara umum bidang perkara terdiri dari lima bidang, yaitu pidana, perdata, agama, TUN, dan militer. Khusus untuk pidana maupun perdata, mengingat jumlah perkara tersebut di MA sangat besar, yakni mencapai sekitar 80% dari total perkara yang masuk setiap tahunnya, masing-masing dapat dibagi menjadi beberapa sub Kamar sesuai dengan kebutuhan. Seluruh hakim agung yang ada, termasuk Ketua dan Wakil Ketua MA harus duduk dalam salah satu kamar sebagai anggota kamar sesuai dengan keahliannya. Jumlah hakim agung dalam setiap Kamar tentunya akan berbeda sesuai dengan komposisi jumlah perkara yang ada di MA. Dengan demikian, seluruh Hakim Agung akan ‘terbagi habis’ sesuai dengan keahliannya dalam kamar-kamar yang ada.
Di setiap Kamar, perkara tidak diperiksa oleh seluruh anggota Kamar, namun tetap diperiksa berdasarkan sistem majelis yang terdiri dari tiga hingga lima orang hakim agung sesuai ketentuan UU. Namun, untuk menjaga konsistensi pertimbangan hukum, ada baiknya MA mengikuti sistem yang berlaku di Belanda, dimana setiap majelis memaparkan pertimbangan hukum atas masing-masing putusannya dalam rapat Kamar yang dihadiri oleh seluruh anggota Kamar setiap minggunya.
Dengan demikian, setiap anggota Kamar dapat mengetahui bagaimana pertimbangan hukum atas suatu masalah hukum tertentu yang akan diputus oleh masing-masing majelis. Hal ini akan memudahkannya saat menghadapi perkara serupa serta menghindari terjadinya inkonsistensi putusan.
Hal lain yang cukup penting terkait dengan penerapan sistem Kamar ini adalah implikasinya terhadap rekrutmen hakim agung. Bila sistem ini diterapkan, rekrutmen dan seleksi calon hakim agung tidak hanya berdasarkan pada masalah karier atau non-karier semata, namun juga berdasarkan pada kebutuhan akan keahlian hukum tertentu sesuai dengan masing-masing Kamar.

Selasa, 03 Juli 2012

PENDAPAT MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PRAPERADILAN


Praperadilan merupakan salah satu sistem dalam peradilan pidana Indonesia. Praperadilan tidak dikenal dalam hukum acara pidana lama yang diatur dalam  Herziene Inlandsche Reglement (H.I.R). HIR menganut sistem inquisitoir, yaitu menempatkan tersangka atau  terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang memungkinkan terjadinya perlakuan  sewenang-wenang penyidik terhadap tersangka, sehingga sejak saat pemeriksaan pertama di hadapan penyidik, tersangka sudah  apriori dianggap bersalah.
KUHAP telah mengubah sistem yang dianut  oleh HIR tersebut. Dengan adanya KUHAP, tersangka atau terdakwa tidak lagi ditempatkan sebagai  objek melainkan sebagai subjek. Artinya, tersangka atau terdakwa ditempatkan sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Selain itu, kehadiran KUHAP untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. KUHAP juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum.
Pemeriksaan permohonan praperadilan dilakukan secara cepat. Paling lambat tiga hari setelah permohonan diajukan, hakim tunggal yang ditetapkan harus menetapkan hari sidang [vide Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP]. Dalam waktu paling lama tujuh hari, hakim sudah harus menjatuhkan putusan [vide Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP]. Keharusan mempercepat acara praperadilan disusul lagi dengan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang menentukan bahwa apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum selesai, maka praperadilan tersebut gugur. Dengan demikian, seharusnya praperadilan tidak boleh diajukan banding.
Dalam hal banding terhadap proses peradilan, KUHAP dinilai masih diskriminatif. Pasal 83 ayat 2 KUHAP memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut umum di pihak lain. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pasal 83 ayat (2) KUHAP menentukan, “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, menjelaskan Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut dikarenakan tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, melalui putusan tersebut maka Pasal 83 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan praperadilan tidak dapat diajukan banding.

Senin, 02 Juli 2012

KOMPLIKASI PERSOALAN LEGALITAS PENGANGKATAN WAKIL MENTERI


Menurut Mahkamah Konstitusi, persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil menteri, antara lain, adalah:
Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam bahasa teknis judicial review eksesifitas yang seperti itu sering disebut tidak sejalan dengan maksud semula pembentukan Undang-Undang dimaksud (original intent). Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional untuk membentuk Undang-Undang Kementerian Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara efektif dan efisien. Jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan, sekaligus tidak dapat sembarangan dibubarkan tanpa analisis yang mendalam bagi kepentingan negara dan bangsa seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Dengan pembentukan wakil menteri yang terjadi berdasar fakta hukum sekarang, yakni pembentukan yang tanpa job analysis dan job specification yang jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wakil menteri hanya dibentuk sebagai kamuflase politik dan membagi-bagi hadiah politik. Hal ini nyata-nyata tidak sesuai dengan filosofi dan latar belakang pembentukan UU 39/2008 yang dalam implementasinya menimbulkan persoalan legalitas sebagaimana akan diuraikan pula pada uraian selanjutnya.
Kedua, saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Apalagi seleksi jabatan wakil menteri dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara yang sama dengan seleksi dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat politis dan tidak sesuai dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku terutama jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo.
Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional. Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di persidangan tanggal 7 Februari 2012 jabatan karier bagi PNS itu ada dua yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional. Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal. Akan tetapi jika jabatan wakil menteri tersebut diperlakukan sebagai jabatan fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional. Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wakil menteri yang sangat beragam bidang tugas, keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional. Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke dalam jenis tertentu. Para wakil menteri yang berasal dari perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wakil menteri dianggap sebagai jabatan karier fungsional maka bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?
Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan. Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat sesuai dengan penempatan yang bersangkutan. Menurut fakta di persidangan, para wakil menteri diangkat tanpa melalui prosedur tersebut dan pelantikannya dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.
Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut. Perubahan-perubahan Perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.
Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya. Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wakil menteri berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah letak komplikasi legalitas tersebut.

PENDAPAT MAHKAMAH KONSTITUSI PERIHAL JABATAN WAKIL MENTERI


Beberapa waktu lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat putusan yang menarik perihal kedudukan wakil menteri. Hal ini berawal dari pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. Pasal tersebut menjelaskan, dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu. Sedangkan pada penjelasannya dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan bukan merupakan anggota kabinet.
Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK/Pemohon) keberatan dengan pasal tersebut. Mereka merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan, dan keberadaan pasal itu bertentangan dengan Undang_Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Pengangkatan wakil menteri oleh presiden tidak memiliki dasar hukum. Konstitusi hanya memberi wewenang ke pada presiden mengangkat menteri, bukan wakil menteri. Selain itu, dengan mengangkat wakil menteri dari pejabat karir, menutup hak-hak konstitusional dari anggota-anggota/Kader-kader Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam penyelenggaraan negara khususnya untuk menjadi Wakil Menteri.
Menurut pemohon, Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara menyalahi dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 juncto Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 17 UUD 195. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menyatakn Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Sedangkan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, menjelaskan segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 17 menyatakan (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri Negara; (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden; (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan; (4) Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Jadi, istilah wakil menteri, tidak dikenal dalam pasa ini.
Menurut MK, baik diatur atau tidak dalam UUD 1954, pengangkatan wakil menteri merupakan bagian dari kewenangan Presiden untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Apabila menteri dapat diangkat oleh Presiden, logikanya, presiden pun tentu dapat mengangkat wakil menteri. Dari sudut substansi, tidak terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini. UUD 1945 hanya mengatur hal-hal yang pokok sehingga untuk pelaksanaan lebih lanjut diatur dengan Undang-Undang. Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945 memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam UUD 1945.
MK menganalogikan pengangkatan wakil menteri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). UUD 1945 tidak menentukan adanya Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lebih dikenal dengan sebutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun dengan TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250) dibentuklah KPK, untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi tertentu. Padahal di dalam tata pemerintahan kita sudah ada kepolisian sebagai penyidik dan kejaksaan sebagai penuntut umum perkara pidana. Meskipun suatu lembaga negara tidak secara tegas dicantumkan dalam UUD 1945, hal tersebut dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Biaya yang dikeluarkan untuk suatu jabatan atau suatu lembaga, tidak boleh dinilai sebagai kerugian semata. Selain kerugian finansial ada juga keuntungan dan manfaatnya untuk bangsa dan negara. Sebagai salah satu contoh, biaya yang dikeluarkan untuk pegawai lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, biaya pembuatan gedung, biaya untuk para narapidana atau tahanan, semua itu tidak boleh dinilai dari pengeluaran yang dianggap kerugian negara sebab hal tersebut dilakukan dalam rangka penegakan salah satu aspek negara hukum, dalam hal ini penjatuhan pidana terhadap mereka yang melakukan tindak pidana. Apalagi bukan tidak mungkin adanya wakil menteri itu bisa turut mengawasi penggunaan anggaran agar tidak terjadi pemborosan dan berbagai korupsi.
Namun demikian, mengenai orang yang dapat diangkat sebagai wakil menteri menurut Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan warga negara biasa. Apabila wakil menteri ditetapkan sebagai pejabat karir, sudah tidak ada posisinya dalam susunan organisasi kementerian, sehingga hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil, yang berarti bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.