Rabu, 21 Maret 2012

LSM Laporkan Dugaan Korupsi Pesawat Sukhoi


Rencana pemerintah menguatkan armada pertahanan udara mengudang tanya publik. Bahkan, dari hasil utak-atik hitungan publik akan kebijakan nasional itu, muncul dugaan upaya menikmati anggaran negara.
Diketahui, Pemerintah RI pada 29 Desember 2011 telah menandatangani kontrak pembelian enam unit Sukhoi seri SU 30MK2 dengan Pemerintah Federasi Rusia cq Rosoboronexport selaku produsen. Nah, koalisi publik yang terdiri dari ICW, Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, HRWG dan INFID menduga ada penggelembungan harga pembelian.
Karena itu, koalisi melaporkan temuan mereka pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (20/3) siang.

"Kami sudah melaporkan hal ini ke KPK, karena terdapat indikasi permainan dalam proses pengadaan khususnya terkait kemahalan, ketidakwajaran dan kejanggalan harga pesawat yang tidak kecil jumlahnya," ujar salah satu anggota koalisi, Poenky Indarti di depan gedung KPK di Jakarta.

Dugaan ini, lanjut Poenky, diawali adanya kecurigaan pada Kementerian Pertahanan yang mengajukan sumber pendanaan pembelian dari pinjaman dan hibah luar negeri/kredit ekspor (PHLN/KE). Perihal itu tertuang dalam surat R/96/M/III/2011 yang ditujukan kepada kepala Bappenas. Dalam surat itu disebutkan bahwa anggaran untuk pengadaan enam unit Sukhoi berjumlah AS$470 juta.
Pemerintah pun telah menandatangani pembelian pesawat dengan harga per unit Sukhoi senilai AS$54,8 juta. Alhasil, enam unit menjadi AS$328,8 juta. Lalu, ditambah AS$141,2 juta untuk membeli 12 mesin dan pelatihan pilot. Hingga total anggaran yang keluar seluruhnya berjumlah AS$470 juta.
Menurut koalisi, pemerintah yang membeli pesawat AS$54,8 juta tanpa berbagai macam perangkat termasuk avionic (instrumen digital pesawat) merupakan hal yang ganjil. Apalagi penambahan pembelian 12 mesin dan pelatihan 10 pilot koalisi menduga bisa terjadi penggelembungan harga.
Koalisi menghitung, harga umum dari 12 mesin dengan masing-masing mesin seharga AS$6 juta, akan menjadi AS$72 juta. Ditambah pelatihan 10 pilot yang anggarannya AS12,5 juta maka terjadi selisih harga sekitar AS$56,7 juta dari seluruh dana yang keluar sebesar AS$470 juta.
Sementara, jika dibandingkan dengan harga resmi yang dirilis JSC Rosoboronoexport, produsen Sukhoi asal Rusia, jet tempur tipe 30MK2 adalah sebesar AS$60-AS$70 juta per unit. Jika digunakan batas maksimal AS$70 juta, maka harga enam unit Sukhoi itu seluruhnya berjumlah AS$420 juta. Sedangkan, total anggaran yang dialokasikan untuk pembelian enam Sukhoi AS$470 juta. Maka ada kelebihan harga sebesar AS$50 juta.
Dugaan permainan dari pengadaan enam pesawat Sukhoi ini makin kuat kala JSC Rosoboronoexport Rusia diageni PT Trimarga Rekatama untuk mendaftar dan mengambil dokumen prakualifikasi. Padahal, Rosoboronoexport memiliki kantor perwakilan di Jakarta.

"Seharusnya Mabes Angkatan Udara tidak perlu mengundang agen karena produsen Sukhoi memiliki kantor perwakilannya di Jakarta,” ujar anggota koalisi yang lain, Adnan Topan Husodo.

Padahal, kata Adnan, hal ini bisa diminimalisir apabila Pemerintah Indonesia membeli enam pesawat Sukhoi menggunakan State Credit dari Pemerintah Rusia, bukan menggunakan PHLN/KE. Karena pada tahun 2005 lalu, Pemerintah Indonesia dan Rusia telah menyetujui adanya kerjasama bantuan teknis militer serta MoU asistensi implementasi bantuan teknis militer yang ditandatangani pada awal Desember 2006 lalu.
"Pada prinsipnya dalam perjanjian tersebut Pemerintah Rusia menyediakan fasilitas kredit untuk pembelian alutsista bagi Pemerintah Indonesia senilai AS$1 miliar," ujar Adnan.

Setidaknya ada lima peralatan militer yang pembeliannya menggunakan fasilitas kredit dari Rusia, yakni Helikopter Mi-17v-5, Helikopter Mi-35P dan pendukungnya, Diesel listrik untuk kapal selam, kendaraan BMP-3F dan Sukhoi Su 27 dan Su-30MK2 termasuk avionic.
Menurut koalisi, jika menggunakan fasilitas kredit dari Rusia, Pemerintah Indonesia lebih diuntungkan ketimbang menggunakan PHLN/KE. Dimulai dari lamanya pengembalian bisa mencapai 15 tahun dengan bunga pinjaman sekitar lima persen. Sedangkan anggaran menggunakan PHLN/KE jangka waktu pengembaliannya relatif pendek yakni dua sampai lima tahun serta dikenakan sejumlah biaya bank dan bunga pinjaman tinggi yang didasarkan dari bunga pasar.
Selain itu, keuntungan menggunakan fasilitas kredit dari Rusia skema kerjasamanya adalah G to G dan tak melibatkan pihak ketiga atau agen. Atas dasar itu, pihak koalisi berharap agar pemerintah Indonesia mau mengkaji ulang dan mengevaluasi kontrak sebelum proses pengadaan dilakukan. Koalisi juga berharap agar dilakukannya negosiasi ulang dalam pembelian Sukhoi ini dengan menggunakan kredit dari pemerintah Rusia daripada melalui PHLN/KE.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, laporan ini akan ditelaah terlebih dahulu di Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) lembaganya. Penelaahan dilakukan untuk mencari apakah laporan tersebut terdapat tindak pidana korupsinya atau tidak. "Ditelaah dahulu di Dumas," pungkasnya.
(Sumber: Hukumonline.com)

Senin, 05 Maret 2012

Fungsi Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi dalam Menjaga Kesatuan Hukum: Kajian Perbandingan dengan Hoge Raad di Belanda




Pendahuluan

Diskusi mengenai fungsi Mahkamah Agung (MA) dalam melaksanakan fungsi menjaga kesatuan hukum merupakan topik diskusi yang sangat kontekstual dalam pembaruan fungsi teknis peradilan di Indonesia. Dalam kunjungan delegasi Mahkamah Agung Indonesia ke negeri Belanda pada tanggal 31 Oktober 2011, Ketua Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad – HR) Mr. Geert Corstens dan Hakim Agung bidang Pidana, Mr. Marc Loth, menjelaskan mengenai organisasi sistem kamar dan isu-isu teknis terkait dengan upaya Hoge Raad sebagai pengadilan tertinggi untuk menjaga kesatuan hukum. Tukar pikiran yang muncul dalam diskusi ini sangat penting bagi upaya menerapkan sistem kamar dan mendorong kesatuan hukum di pengadilan Indonesia. Berbagai poin penting dalam diskusi tersebut akan dijelaskan dalam artikel ini.

Organisasi Sistem Kamar pada Hoge Raad

Mahkamah Agung atau Hoge Raad di Belanda menerapkan sistem kamar, yaitu sistem pengelompokan hakim agung berdasarkan spesialisasi tertentu untuk memutus jenis perkara tertentu. Sistem Kamar pada MA di Belanda terbagi atas 3 (tiga) kamar yaitu Kamar Pidana, Kamar Perdata dan Kamar Pajak. Masing-masing Hakim Agung ditunjuk  pada satu Kamar tertentu dan memiliki posisi tetap sehingga mereka tidak dapat memutus perkara di kamar yang berbeda. Tujuan dari pengelompokan dan penempatan Hakim Agung secara tetap adalah untuk memastikan pengambilan keputusan tetap dilakukan dalam rangka menjaga kesatuan hukum. Tiap-tiap Kamar perkara di MA terdiri dari kurang lebih 10 hingga 12 Hakim Agung.

Selain 3 (tiga) kamar teknis, HR juga memiliki Kamar Keempat yaitu Kamar pengawasan. Kamar ini berfungsi memutuskan perkara dalam hal terdapat pengaduan terhadap hakim. Misalnya salah satu pihak merasa hakim telah berpihak maka ia dapat mengajukan permintaan ke MA untuk memeriksa hakim tersebut di kamar ke 4. Hal ini dilakukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap MA. Kamar ini juga punya kewenangan untuk memutus jika ada ada permintaan untuk memecat Hakim Agung melalui majelis kehormatan hakim. Namun demikian hal ini jarang terjadi karena jika bukti-bukti sudah sangat kuat bahwa seorang hakim melakukan pelanggaran maka ketika bukti-bukti tersebut disampaikan kepadanya, pada umumnya Hakim tersebut akan mengajukan pengunduran diri.

Penempatan Hakim Agung pada Kamar Perkara

Dalam penempatan Hakim Agung pada masing-masing kamar dipertimbangkan keberagaman keahlian dan latar belakang Hakim Agung. Keberagaman keahlian dapat terbagi atas dua bagian yaitu keahlian khusus (spesialis) dan keahlian umum (generalis). Hakim Agung dengan keahlian khusus (spesialis) diperlukan untuk menangani perkara khusus tertentu, misalnya hakim dengan keahlian perdata internasional pada kamar perdata. Namun pada kamar perdata juga diperlukan hakim dengan keahlian generalis di bidang perdata sehingga kesatuan hukum bisa dipertahankan.

Selain keberagaman keahlian juga diperlukan keberagaman latar belakang. Di Belanda, hakim agung bukan hanya berasal dari hakim karir tapi juga dari jalur lain (non hakim), misalnya Hakim yang berasal dari jalur advokat atau praktisi lainnya. Misalnya Hakim Agung di Kamar pajak bukan hanya seorang berasal dari Dinas Pajak saja, tapi juga dari Konsultan pajak. Seorang profesor/akademisi dengan keahlian hukum tertentu juga bisa menjadi seorang Hakim Agung. 

Selain itu keseimbangan komposisi Hakim Agung juga menjadi penting, misalnya dari segi gender. Pada saat ini hakim agung perempuan pada HR jumlahnya sangat minimum, namun di masa mendatang diharapkan akan semakin banyak. Pada Pengadilan Tingkat Pertama jumlah hakim perempuan mencapai hampir 50%, di tingkat banding lebih sedikit dan di MA jumlahnya paling sedikit.

Parquete General sebagai Instrumen Penting dalam Menjaga Kesatuan Hukum

Belanda mengikuti sistem Prancis dimana lembaga yang disebut sebagai Parket General  pada Hoge Raad (pada umumnya diterjemahkan sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung). Parket General pada HR adalah lembaga yang independen, bukan bagian dari Mahkamah Agung maupun Kejaksaan Agung. Parket Generaal merupakan lembaga yang terdiri dari: Procure General sebagai pimpinan, dengan anggota adalah para Advokat General dan Advokat General Pengganti.

Parket General meskipun salah satu fungsinya adalah menyampaikan kasasi demi kepentingan hukum, namun jabatan Procure General tidak sama dengan Jaksa Agung. Parket General menyampaikan kasasi demi kepentingan hukum dalam hal terdapat suatu perkara yang dinggap perlu mendapatkan pendapat dari HR namun perkara tersebut tidak sampai ke tingkat kasasi, atau suatu perkara yang telah diputus HR di masa lalu namun dianggap perlu ada pendapat berbeda dari HR. Fungsi kasasi demi kepentingan hukum bukanlah untuk kepentingan para pihak namun lebih untuk kepentingan menjaga kesatuan hukum.

Selain menyampaikan kasasi demi kepentingan hukum tugas utama lainnya dari parket general adalah untuk memberikan advis atau nasehat atau pertimbangan pada Hakim Agung dalam suatu perkara. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, seorang Advokat General memberikan pertimbangan sebelum putusan diambil dalam bentuk konklusi yang merujuk pada UU yang relevan, semua putusan yang relevan dan doktrin hukum serta mengacu pada putusan sejenis di Negara lain. Meskipun Advokat General berfungsi memberikan saran kepada Mahkamah Agung tentang suatu perkara. Tetapi ia tidak bertugas untuk membuat putusan (memutus) suatu perkara.

Parket General terdiri dari Advokat General yang masing-masing memberikan pendapat secara terpisah/individual. Hampir tidak pernah terjadi para advokat general saling berdiskusi dengan koleganya. Advokat Generaal bukan hanya memberikan pertimbangan tetapi juga memberikan referensi perundangan dan doktrin kepada Hakim Agung.

Setiap perkara yang masuk ke MA akan dimintakan pendapat dulu ke Parket General baru kemudian dikirimkan ke MA untuk diperiksan dan diputus. Para Hakim Agung dapat saja menyetujui atau berbeda pendapat dengan pertimbangan yang diberikan oleh Advokat General. Namun meskipun mungkin terjadi perbedaan pendapat, yang terpenting dalam dinamika ini adalah proses diskusi yang akademis dan substansial yang terjadi yang justru memperkaya khasanah hukum dan mendorong perkembangan hukum. Pertimbangan para Advokat Generaal ini dapat diakses oleh masyarakat, sehingga masyarakat juga dapat mengetahui dan mengambil manfaat dari diskusi hukum yang terjadi.

Rapat Pleno sebagai Mekanisme dalam Menjaga Kesatuan Hukum

Pada Kamar perdata, tiap perkara di perkara perdata ditangani oleh majelis Hakim Agung yang terdiri dari lima atau tiga Hakim Agung. Setiap hari Kamis, para Hakim Agung pada Kamar Perdata melakukan rapat pleno untuk membahas semua perkara yang sedang diperiksa oleh Majelis Hakim Agung. Dengan demikian suara/pendapat semua Hakim Agung dalam Kamar Perdata pada dasarnya akan menentukan bagaimana putusan dalam perkara tersebut.

Dalam diskusi pada rapat pleno mungkin saja terjadi perbedaan pendapat, namun voting tidak pernah benar-benar terjadi. Jika suatu perkara yang dibahas pada Rapat Pleno berhubungan dengan perkara yang telah memiliki preseden (pernah diputus perkara serupa sebelumnya), maka Hakim Agung yang pernah memutus perkara serupa akan ditanya pendapatnya meskipun mereka bukan anggota majelis. Dalam pembahasan suatu perkara, maka perkara tersebut akan diputar dan masing-masing Hakim Agung memberikan pendapatnya. Saat itu bisa saja terjadi pendapat mayoritas Hakim Agung berbeda dengan pendapat majelis. Dalam kasus demikian maka pada umumnya yang berlaku adalah pendapat Kamar karena mengingat kembali fungsi Mahkamah Agung adalah menjaga kesatuan hukum. Mahkamah Agung tidak menginginkan jika perkara sejenis diputus oleh majelis yang berbeda maka putusannya akan berbeda. Karena itu sedapat mungkin pendapat Kamar lah yang berlaku.

Di kamar pidana dimana perkara yang ada sangat banyak, maka penyelesaian perkara dilakukan oleh majelis yang terdiri dari 3 hakim atau 5 hakim. Untuk perkara-perkara sederhana akan dibahas oleh majelis 3 hakim, sedangkan perkara-perkara yang lebih rumit atau kompleks akan diperiksa oleh majelis yang terdiri dari 5 orang hakim. Sebelum rapat pleno dilaksanakan pada setiap minggunya, maka akan dilaksanakan rapat terlebih dahulu pada masing-masing majelis. Setelah para Hakim Agung dalam majelis membaca perkara dan memberikan pendapatnya, maka perkara kemudian dimusyawarahkan, dimana pertama-tama akan dipersilahkan kepada semua Hakim Agung untuk memberikan pendapatnya. Setelah semua Hakim Agung memberikan pendapatnya maka akan tampak suatu kecenderungan/trend pendapat yang berkembang di Kamar tersebut.

Perbedaan pendapat mungkin saja muncul namun dalam kenyataannya tidak pernah benar-benar terjadi voting di antara para Hakim Agung. Memang secara prinsip majelis hakim adalah yang berwenang memutus perkara, namun jika anggota Kamar memiliki pendapat lain maka yang pertama kali ditanyakan adalah apakah mereka akan merubah pendapatnya sehingga terjadi diskusi di antara para Hakim Agung untuk mencapai kesatuan pendapat. Dengan demikian kamar diharapkan memiliki pendapat yang konsisten. Selain itu Hakim Agung lain di Kamar Pidana yang bukan anggota majelis juga diberikan kesempatan merubah pendapatnya karena pada dasarnya semua Hakim Agung mempelajari semua perkara. Cara kerja seperti ini penting untuk menjaga kesatuan hukum. Dan dapat menyelesaikan perkara sebanyak mungkin. Tetapi bisa saja dalam suatu perkara yang rumit, konsepnya diselesaikan dalam satu minggu tetapi kemudian dibahas lagi dalam pleno berikutnya.

Sedangkan pada Kamar Pajak, perkara diperiksa oleh majelis Hakim yang terdiri dari 2 (dua) kelompok besar, yaitu kelompok 5 Hakim Agung yang merupakan kelompok sebuah majelis. Dengan demikian kalo ada perbedaan pendapat pada dasarnya akan dilihat pendapat mana yang merupakan milik minoritas sehingga lebih mudah diselesaikan. Setelah diambil pendapat majelis yang merupakan pendapat sementara kemudian konsep putusan akan dibahas dengann Hakim Agung lain pada Kamar Pajak. Rapat Pleno dilaksanakan setiap minggu. Dalam rapat tersebut kemudian diputus sikap HR dengan mekanisme yang sama dengan Kamar lain.

Berbagai Pendekatan untuk Menjaga Konsistensi Putusan

Fungsi Mahkamah Agung pada sebagai pengadilan tertinggi yang melakukan fungsi sebagai pengadilan kasasi pada dasarnya adalah untuk menjaga kesatuan hukum. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari sebuah Negara hukum (rechstaat) dimana pada dasarnya hukum harus diterapkan secara sama dan berlaku umum pada setiap orang/warga Negara. Asas persamaaan di muka hukum ini dapat ditemukan dalam Konstitusi Belanda. Dengan demikian semua masalah yang sejenis harus ditangani dengan cara yang serupa. Suatu perkara dapat saja diputus secara berbeda namun dalam hal demikian maka alasan atau argumentasi yang diberikan harus sangat jelas dan tepat sehingga mematahkan argumentasi pada kasus sejenis yang telah diputus sebelumnya.

Dalam kerangka tujuan menciptakan kesatuan hukum, maka terdapat suatu piramida kekuasaan kehakiman dimana Mahkamah Agung ada pada puncaknya. Ini menunjukkan adanya tanggung jawab yang khusus bagi MA. Bila MA telah mengikuti suatu pendapat hukum tertentu maka pendapat itu harus diikuti oleh pengadilan tingkat bawah. Ini merupakan inti dari upaya menjaga kesatuan dan kepastian hukum. Apabila Hakim pada pengadilan tingkat bawah memutus berbeda dengan pendapat MA pada putusan sebelumnya ini berarti pihak-pihak yang terkait punya kecenderungan besar untuk mengajukan banding atau kasasi hingga mereka mendapatkan haknya. Bagaimanapun juga tugas MA bukan hanya menjaga kesatuan hukum tetapi juga melindungi pihak-pihak dalam rangka perlindungan hak asasi warga Negara.

Dalam menjaga konsistensi putusan & kesatuan hukum namun dengan tetap menjawab tantangan penyelesaian perkara yang jumlahnya semakin besar maka Mahkamah Agung Belanda menggunakan berbagai cara. Pertama dengan menerapkan sistem kamar sebagaimana dijelaskan di bagian awal diskusi ini.

Kedua,  menggunakan 1 (satu) alasan untuk memutus perkara yang sederhana. Ketika MA bisa memutus perkara yang tidak memerlukan pertimbangan hukum khusus maka, pertimbangan dapat diberikan dengan menggunakan 1 (satu) alasan saja untuk memutus perkara tersebut. Dengan demikian perkara dapat diputus dengan cepat. Misalkan untuk perkara pidana, dimana tiap tahun terdapat 3500 – 4000 perkara per tahun yang harus diputus dan sebagian besarnya diajukan tanpa ada dasar kasasi yang jelas atau tidak memenuhi syarat kasasi. Untuk perkara tanpa alasan kasasi yang jelas maka perkara dapat dengan cepat dinyatakan tidak dapat diterima (NO). Dari titik ini hanya akan tersisa sekitar 700an perkara saja. Kurang lebih setengah dari perkara tersebut hanya memerlukan alasan/argumentasi hukum yang standar karena sudah pernah diputus perkara serupa sebelumnya. Untuk perkara seperti ini maka diberikan alasan/argumentasi mengacu pada alasan standar yang sudah pernah dibuat oleh MA dalam putusan sebelumnya. Dengan demikian MA dapat berkonsentrasi pada perkara-perkara yang penting saja yang jumlahnya kurang lebih sekitar 350 perkara dan memiliki lebih banyak waktu untuk memikirkan perkara yang memiliki pertanyaan atau permasalahan hukum yang mendasar.

Ketiga, untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas fungsi kasasi maka peran Parket General sangat penting. Lembaga ini memberikan pertimbangan atas perkara segera setelah perkara didaftarkan dan sebelum perkara tersebut diberikan kepada majelis Hakim. Dengan demikian tugas Hakim Agung menjadi lebih ringan. Hal ini juga menimbulkan tradisi debat/diskusi akademis yang baik karena sangat mungkin terjadi perbedaan pendapat antara Hakim Agung dengan pertimbangan yang diberikan oleh para Advokat General. Dinamika diskusi hukum ini dalam kenyataannya sangat menarik dan bermanfaat bagi perkembangan hukum. Apalagi mengingat pertimbangan dari Parket General juga dapat diakses oleh masyarakat umum sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengikuti dinamika diskursus hukum yang terjadi.

Keempat, dengan menggunakan sistem pre-seleksi dimana perkara sejak masuk ke MA telah dikurangi dengan sistem seleksi karena dianggap memiliki kepentingan yang kecil atau tidak memenuhi syarat formal untuk diperiksa di tingkat kasasi. Dengan sistem ini maka perkara kasasi yang masuk akan berkurang secara signifikan. Belanda akan mulai menggunakan sistem pre seleksi ini tahun depan dimana perkara-perkara sederhana atau yang permasalahan hukumnya telah pernah dijawab MA akan dikesampingkan sehingga MA bisa berkonsentrasi untuk menjawab permasalahan hukum yang penting. Sistem pre-seleksi ini juga bertujuan agar MA dapat memfokuskan diri pada perkara-perkara penting. Sistem ini memiliki setidaknya dua keuntungan yaitu: 1) Perkara dapat dibatasi; 2) Tersedia lebih banyak waktu untuk berkonsentrasi pada perkara-perkara yang penting.

Dalam rangka efisiensi dan konsistensi dalam pelaksanaan tugasnya, MA juga melakukan kategorisasi atau klasifikasi beberapa perkara yang sejenis untuk kemudian diputus secara bersama-sama sehingga pertimbangan hukum yang diberikan dapat dijaga konsistensinya satu sama lain.

Selain berbagai cara di atas, juga argumentasi/pendapat hukum yang diberikan oleh MA dalam putusannya juga memiliki dampak terhadap upaya untuk menekan jumlah perkara kasasi sekaligus menjaga fungsi kesatuan hukum. Putusan hakim di tingkat bawah dianggap berdasar atau tidak berdasar dengan mengacu pada pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim Agung di MA. Dengan demikian melalui putusannya MA telah mempengaruhi beban perkara yang masuk ke tingkat kasasi. Ketika batasan penafsiran MA terhadap suatu pasal diperketat maka perkara yang masuk akan semakin sedikit, dan sebaliknya ketika MA memiliki penafsiran yang luas maka perkara yang naik ke tingkat kasasi akan semakin banyak. Dengan demikian bagaimana cara MA menilai putusan pengadilan di tingkat banding sangat mempengaruhi jumlah arus kasasi.

Sistem Preseden dan Upaya Menjaga Kesatuan Hukum

Jaminan kesatuan dan kepastian hukum merupakan jaminan fungsional karena merupakan fungsi utama dari MA sebagai pengadilan kasasi. Ketika putusan MA memberikan pertimbangan hukum yang jelas, maka seharusnya putusan berikutnya untuk kasus yang serupa harus mengacu pada pertimbangan (ratio decidendi) pada putusan terdahulu tersebut. Di Negara common law yang menganut sistem preseden maka putusan sebelumnya merupakan salah satu sumber hukum yang harus diacu oleh Hakim untuk memutus perkara.

Meski secara formal di Belanda tidak menganut sistem preseden tetapi secara praktek sistem ini dilaksanakan dalam rangka menjaga konsistensi hukum dan kesatuan hukum yang merupakan fungsi utama pengadilan tertinggi.  Dalam konteks inilah pemberian pendapat/pertimbangan hukum menjadi inti dari pelaksanaan fungsi MA sebagai pengadilan kasasi sehingga terdapat panduan yang jelas bagi pengadilan tingkat bawah dalam memutus perkara. Karena pentingnya pemberian pertimbangan/pendapat hukum ini, maka pada saat sekarang ini pengadilan kasasi berupaya memberikan pertimbangan hukum yang panjang. Hal ini berbeda dengan masa lalu dimana pertimbangan hukum pengadilan kasasi hanya pendek-pendek saja, sehingga kurang memberikan kejelasan dan panduan bagi pengadilan tingkat bawah. Dengan demikian dalam rangka menjaga kesatuan hukum maka pendapat MA dalam sebuah putusan tidak hanya berlaku individual tetapi juga berlaku umum karena perlu diacu oleh Hakim dalam menyusun putusan serupa.[1]

Apabila hakim tingkat bawah memutus yang tidak sesuai dengan sikap/posisi MA di putusan sebelumnya yang serupa, maka sangat besar kemungkinan putusan tersebut akan dibatalkan sebagai konsekuensi dari kepastian hukum. Namun dalam kasus-kasus dimana Hakim tingkat bawah memutuskan untuk berbeda pendapat dengan MA, maka ia harus memberikan pertimbangan hukum yang sangat mendasar dan akurat. Hal ini sangat mungkin terjadi mengingat Hakim juga harus merespon perkembangan hukum yang terjadi. Apabila argumentasi/pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim di tingkat bawah sangat meyakinkan maka dalam beberapa kasus akhirnya MA merubah posisi/pendapatnya dalam kasus tersebut. Perubahan pendapat MA ini tentunya akan mempengaruhi putusan MA di kasus-kasus setelahnya yang akan mengacu pada posisi MA yang baru tersebut. Atau dalam kasus dimana MA belum pernah menjawab suatu permasalahan hukum yang diajukan dalam suatu perkara, maka MA akan memberikan pendapatnya sehingga akan menjadi panduan bagi kasus serupa di kemudian hari. Pertimbangan hukum ini merupakan suatu instrumen yang sangat penting karena inilah kunci dari konsistensi putusan dan merupakan panduan untuk hakim tingkat bawah atau untuk meyakinkan hakim tingkat bawah terhadap permasalahan hukum tertentu.

Disusun oleh Dian Rosita[2]




[1] feds
[2] oki

PRAKTEK YURISPRUDENSI DI NEGARA CIVIL LAW

Pada zaman penjajahan Belanda sudah ada suatu usaha untuk mempublikasikan putusan-putusan hakim dan indexing putusan . Indeks putusan pengadilan dapat ditemukan dalam bentuk terbitan-terbitan dan catalog-katalog yang cukup banyak jumlahnya. Misalnya di bawah indeks hukum adat payakumbuh dan indeks apeldorn kita dapat temukan doktrin2 yang termuat dalam putusan yang mengutip pendapat apeldorn.

Kebanyakan orang salah mempersepsi hukum Belanda. Hukum Belanda dipersepsikan sama dengan hukum Perancis. Padahal hukum belanda dan prancis merupakan dua hal yang berbeda karena perbedaan konteks sejarah, politik, ekonomi, sosial, budaya. Sebastiaan Pompe mengatakan bahwa hal itu disebabkan karena banyak orang yang tidak dapat berbahasa Belanda. Kesalahan itu berdampak pula pada tidak dipahaminya akar dari hukum Indonesia.

Belanda dan Prancis memiliki karakter hukum yang berbeda. Sejarah Prancis dimana pemerintah sangat kuat dan masyarakat berlapis lapis maka parlemen dan peradilan menjadi perwakilan dan alat dari negara yang abusif. Sebaliknya di Belanda peradilan adalah alat masyarakat dalam mendukung ekonomi dan perdagangan.

Dalam pelaksanaan putusan di belanda dilakukan oleh juru sita yang bersifat otonom dan pengadilan tidak berhubungan sama sekali dengan pelaksanaan putusan. Sampai batas nilai 25ribu euro, juru sita bisa mengambil tindakan apapun atas pelaksanaan putusan. Namun setiap minggu juru sita harus melaporkan tentang harta kekayaan dan laporan2 lainnya. Termasuk harta kekayaan istri dan anaknya. Sementara di banyak negara pelaksanaan putusan dipegang oleh pengadilan. Jika pelaksanaan putusan tidak sesuai dengan panduan pengadilan maka juru sita harus selalu meminta petunjuk pada pengadilan.

Posisi hakim pun berbeda. Di prancis hakim sulit dipercaya atau dicurigai sebagai alat dari Negara. Sementara hakim di belanda dihormati dan dianggap perlu. Di belanda yang diutamakan adalah asas kepastian hukum.

Bagaimana hukum preseden diterapkan di belanda?

Belanda lebih mengutamakan kepastian hukum. Ada 3 contoh cukup penting yang ditemukan dalam putusan yang mendasari adanya kepastian hukum. Ketiga hal tersebut yaitu Perbuatan melawan hukum, Perbuatan melawan Hukum oleh penguasa, aborsi, hak mogok oleh pegawai negeri, euthanasia. Hal ini menunjukkan ada beberapa bidang yang entirely governed by case law. Di belanda kita bisa lihat bahwa banyak area-area yang didasari pelaksanaannya oleh putusan pengadilan. Di belanda putusan pengadilan bisa merujuk pada putusan lama, suatu hal yang tidak ditemukan di Prancis. Selain itu putusan didukung oleh argumentasi yang panjang. Suatu hal yang berbeda dengan di Indonesia yang hanya didasarkan saja pada fakta.

Ada 3 alasan yang sering dikemukakan yang mejelaskan bahwa putusan civil law tidak didasarkan pd yurisprudensi:
1.Civil law menganut deductive reasoning (di prancis), dimana hukum dilihat dulu baru lihat faktanya. Bukan inductive reasoning (di belanda dan inggris) dimana fakta dianalisis dulu dan yurisprudensi dibangun atas fakta dan hukum adalah kesimpulan yang dibangun atas fakta tsb.
2.Tdk ada keharusan mengikuti putusan sebelumnya. Tetapi bahkan di negara anglo saxon juga tidak ada kewajiban (legal obligation) mengikuti putusan terdahulu.
3.Fact based reasoning. Apakah yang merupakan dasar putusan adalah fakta perkara atau perundangan?

Penerapan yurisprudensi di belanda dan inggris yang adalah negara anglo saxon, adalah sama. Dan justru berbeda dari prancis yang merupakan sesama negara civil law. Dalam sebuah buku: .... Menjelaskan bahwa terdapat salah pengertian tentang bentuk putusan, bahwa putusan bukan hanya putusan majelis hakim agung tetapi juga termasuk konklusi dari advokat generaal yang memberi rekomendasi terhadap putusan. Pentingnya Lembaga Profesi Sistem preseden sulit dilakukan tanpa adanya organisasi profesi yang berjalan baik. Misalnya dalam kasus di prancis dimana sistem preseden semakin melemah karena korupsi di kalangan advokat yang kemudian merubah bunyi preseden dalam diskursus putusan untuk kepentingannya sendiri.

Diperlukan fleksibilitas untuk menerapkan sistem preseden. Hal ini dikarenakan sangat mungkin terjadi putusan terdahulu tidak dapat diikuti (bad law). Sistem preseden sulit dibuat secara kaku, misalnya dg mengklasifikasi mana putusan yang harus dianut dan mana yang tidak. Namun demikian, perlu ada ruang fleksibilitas dan disiplin profesi hukum. (AJ)

(Rangkuman catatan kuliah Sebastiaan Pompe)


PENGECUALIAN DALAM KETERBUKAAN INFORMASI

Keterbukaan informasi publik di Indonesia masih menyisakan masalah. Banyak badan publik yang mengalami kesulitan dalam menerapkan pengecualian dalam UU KIP. Sejak diberlakukannya UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) pada tahun 2010 sampai dengan sekarang, sudah ada kurang lebih 495 kasus yang diajukan ke Komisi Informasi Pusat. Dari jumlah itu, sebanyak 30% merupakan sengketa mengenai penafsiran pengecualian dalam keterbukaan iformasi, sedangkan 70% sisanya berkaitan dengan masalah prosedural.

Kesimpulan ini terungkap dalam diskusi seharian yang dilaksanakan oleh Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) dan Centre for Law and Democracy (CLD) di Jakarta, Senin (5/3). Diskusi untuk menyongsong 2 tahun keterbukaan informasi publik ini menghadirkan kurang lebih sepuluh narasumber. Peneliti ICEL, Dessy Eko Prayitno, mengatakan penafsiran mengenai pengecualian dalam keterbukaan informasi berfariasi. Selain itu, pengecualian itu diatur dalam banyak peraturan. Lebih lanjut Prayitno mengatakan bahwa tidak ada pengecualian yang mutlak dalam keterbukaan informasi selain kerahasiaan pribadi.

Michael Karanicolas dari CLD mengatakan, kemutlakan pengecualian dari kerahasian pribadi tergantung dari cara kita melihat dan tergantung karakter suatu negara. “Kerahasiaan pribadi tidak mutlak”, kata Michael. Hal ini misalnya, mengenai identitas seseorang, hobi, catatan keuangan. Di India, hal itu tidak dikecualaikan. “Jadi tidak ada kemutlakan dalam pengecualian dari sisi keterbukaan informasi”, katanya.

Hakim agung, Paulus L. Effendi, menegaskan perlu adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan.” Karena pengecualian keterbukaan informasi itu tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undagan, maka perlu adanya sinkronisasi”, kafa Paulus.

Perdebatan perdebatan itu mengkerucut pada suatu kesimpulan bahwa suatu informasi dapat dikecualikan apabila masih dalam proses dan belum mencapai final. Misalnya, dalam berita acara pemeriksaan (BAP) seorang saksi atau tersangka. Pejabat publik tidak bisa membongkar atau memublikasikan identitas dari tersangka. Kerahasiaan itu baru bisa dibongkar apabila seseorang yang diduga bersalah dinyatakan bersalah melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. (AJ)

Kamis, 01 Maret 2012

RUNTUHNYA INSTITUSI MAHKAMAH AGUNG

Kajian Sebastiaan Pompe tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia sebetulnya lebih dari sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Sebab pada saat menyajikan salah satu analisis paling cermat dan terperinci mengenai peradilan, studi ini juga menampilkan sejarah patologi yudisial dan legal di sebuah negara yang sangat rumit. Studi ini menempuh jalan panjang untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan paling mendasar tentang kegagalan sebuah sistem peradilan—bukan cuma Mahkamah Agung—dan segala konsekuensinya.

Karya ini sangat boleh jadi akan menjadi bacaan klasik atau, paling tidak, bacaan esensial bagi siapa saja yang berminat dengan sejarah Indonesia modern, kompleksitas distorsi dan kegagalan kelembagaan, dan studi komparatif badan-badan peradilan. Sekaligus ini adalah sejarah luar biasa mendalam tentang Mahkamah Agung dan upaya amat besar untuk mencari sebab-sebab kemerosotannya menuju korupsi dan ketergantungan, yang tak pelak melibatkan seluruh sistem peradilan sipil—dan tanpa banyak perlawanan. Bukan itu saja, dalam analisis Pompe kita bisa mulai memahami mengapa reformasi hukum berjalan sedemikian alot sejak 1998, bahkan kita bisa mengamati beberapa implikasi bagi strategi-strategi rasional reformasi itu.

Tak lama setelah disertasi orisinal penulis disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Leiden dan beberapa salinan sampai ke Indonesia, temuan-temuan tentang kesalahan Mahkamah Agung menggegerkan berbagai kelompok kepentingan di Jakarta. Setelah direvisi untuk keperluan penerbitan, studi ini nampaknya memancing perdebatan lebih mendalam tentang isu-isu sejarah hukum dan politik Indonesia dan beberapa diskusi penting tentang bagaimana, dan apa konsekuensinya, negara Indonesia berubah selama lima puluh tahun terakhir.

Sulit membayangkan orang dengan kualifikasi perbandingan hukum meyakinkan mengerjakan penelitian ini selain Sebastiaan Pompe. Memperoleh pendidikan hukum dari Universitas Leiden, dia menekuni kajian Indonesia dan Melayu di School of Oriental and African Studies di London, dan meraih gelar MA di bidang hukum di Cambridge. Berbekal cukup bahasa-bahasa berguna, termasuk bahasa Indonesia, dia juga sangat mahir dalam variasi-variasi civil law Kontinental dan derivasi common law turunan Inggris serta seluk-beluk evolusinya ketika semuanya itu menyebar ke seluruh dunia melalui pemberlakuan kolonial, peniruan, dan adaptasi.

Karya terdahulu Pompe yang diterbitkan meliputi daftar panjang artikel-artikel penting tentang beragam isu dalam hukum Indonesia dan survei paling komplet yang ada terhadap tulisan-tulisan tentang hukum Indonesia. Selama beberapa tahun, hingga akhir 2004, Dr. Pompe terlibat dalam sebuah program reformasi kehakiman di Jakarta.

Bagi yang ingin memiliki buku ini, hubungi:

Alfeus Jebabun (Researcher)

Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP)
Puri Imperium Office, Unit G 1A
Jalan Kuningan Madya Kav. 5-6
Jakarta, 12980
Mobile : 0812 3721 5638
Phone : (021) 83791616
Faximile : (021) 8302088
alfeus.jebabun@leip.or.id
www.leip.or.id