Pendahuluan
Diskusi mengenai fungsi Mahkamah
Agung (MA) dalam melaksanakan fungsi menjaga kesatuan hukum merupakan topik
diskusi yang sangat kontekstual dalam pembaruan fungsi teknis peradilan di
Indonesia. Dalam kunjungan delegasi Mahkamah Agung Indonesia ke negeri Belanda
pada tanggal 31 Oktober 2011, Ketua Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad – HR) Mr. Geert Corstens dan Hakim Agung bidang Pidana,
Mr. Marc Loth, menjelaskan mengenai organisasi
sistem kamar dan isu-isu teknis terkait dengan upaya Hoge Raad sebagai
pengadilan tertinggi untuk menjaga kesatuan hukum. Tukar pikiran yang muncul
dalam diskusi ini sangat penting bagi upaya menerapkan sistem kamar dan
mendorong kesatuan hukum di pengadilan Indonesia. Berbagai poin penting dalam
diskusi tersebut akan dijelaskan dalam artikel ini.
Organisasi Sistem Kamar pada Hoge
Raad
Mahkamah Agung atau Hoge Raad di Belanda menerapkan sistem
kamar, yaitu sistem pengelompokan hakim agung berdasarkan spesialisasi tertentu
untuk memutus jenis perkara tertentu. Sistem Kamar pada MA di Belanda terbagi
atas 3 (tiga) kamar yaitu Kamar Pidana, Kamar Perdata dan Kamar Pajak. Masing-masing
Hakim Agung ditunjuk pada satu Kamar
tertentu dan memiliki posisi tetap sehingga mereka tidak dapat memutus perkara
di kamar yang berbeda. Tujuan dari pengelompokan dan penempatan Hakim Agung
secara tetap adalah untuk memastikan pengambilan keputusan tetap dilakukan
dalam rangka menjaga kesatuan hukum. Tiap-tiap Kamar perkara di MA terdiri dari
kurang lebih 10 hingga 12 Hakim Agung.
Selain 3 (tiga) kamar teknis, HR juga
memiliki Kamar Keempat yaitu Kamar pengawasan. Kamar ini berfungsi memutuskan
perkara dalam hal terdapat pengaduan terhadap hakim. Misalnya salah satu pihak
merasa hakim telah berpihak maka ia dapat mengajukan permintaan ke MA untuk
memeriksa hakim tersebut di kamar ke 4. Hal ini dilakukan untuk menjaga
kepercayaan publik terhadap MA. Kamar ini juga punya kewenangan untuk memutus
jika ada ada permintaan untuk memecat Hakim Agung melalui majelis kehormatan
hakim. Namun demikian hal ini jarang terjadi karena jika bukti-bukti sudah sangat
kuat bahwa seorang hakim melakukan pelanggaran maka ketika bukti-bukti tersebut
disampaikan kepadanya, pada umumnya Hakim tersebut akan mengajukan pengunduran
diri.
Penempatan Hakim Agung pada Kamar Perkara
Dalam penempatan Hakim Agung pada
masing-masing kamar dipertimbangkan keberagaman keahlian dan latar belakang Hakim
Agung. Keberagaman keahlian dapat terbagi atas dua bagian yaitu keahlian khusus
(spesialis) dan keahlian umum (generalis). Hakim Agung dengan keahlian khusus
(spesialis) diperlukan untuk menangani perkara khusus tertentu, misalnya hakim dengan
keahlian perdata internasional pada kamar perdata. Namun pada kamar perdata juga
diperlukan hakim dengan keahlian generalis di bidang perdata sehingga kesatuan
hukum bisa dipertahankan.
Selain keberagaman keahlian juga
diperlukan keberagaman latar belakang. Di Belanda, hakim agung bukan hanya
berasal dari hakim karir tapi juga dari jalur lain (non hakim), misalnya Hakim
yang berasal dari jalur advokat atau praktisi lainnya. Misalnya Hakim Agung di
Kamar pajak bukan hanya seorang berasal dari Dinas Pajak saja, tapi juga dari
Konsultan pajak. Seorang profesor/akademisi dengan keahlian hukum tertentu juga
bisa menjadi seorang Hakim Agung.
Selain itu keseimbangan komposisi
Hakim Agung juga menjadi penting, misalnya dari segi gender. Pada saat ini
hakim agung perempuan pada HR jumlahnya sangat minimum, namun di masa mendatang
diharapkan akan semakin banyak. Pada Pengadilan Tingkat Pertama jumlah hakim
perempuan mencapai hampir 50%, di tingkat banding lebih sedikit dan di MA jumlahnya
paling sedikit.
Parquete General sebagai Instrumen Penting dalam Menjaga Kesatuan Hukum
Belanda mengikuti sistem Prancis
dimana lembaga yang disebut sebagai Parket General pada Hoge Raad (pada umumnya diterjemahkan
sebagai Jaksa Agung pada Mahkamah Agung). Parket General pada HR adalah lembaga
yang independen, bukan bagian dari Mahkamah Agung maupun Kejaksaan Agung. Parket
Generaal merupakan lembaga yang terdiri dari: Procure General sebagai pimpinan,
dengan anggota adalah para Advokat General dan Advokat General Pengganti.
Parket General meskipun salah satu
fungsinya adalah menyampaikan kasasi demi kepentingan hukum, namun jabatan Procure
General tidak sama dengan Jaksa Agung. Parket General menyampaikan kasasi demi
kepentingan hukum dalam hal terdapat suatu perkara yang dinggap perlu
mendapatkan pendapat dari HR namun perkara tersebut tidak sampai ke tingkat
kasasi, atau suatu perkara yang telah diputus HR di masa lalu namun dianggap
perlu ada pendapat berbeda dari HR. Fungsi kasasi demi kepentingan hukum
bukanlah untuk kepentingan para pihak namun lebih untuk kepentingan menjaga
kesatuan hukum.
Selain menyampaikan kasasi demi
kepentingan hukum tugas utama lainnya dari parket general adalah untuk
memberikan advis atau nasehat atau pertimbangan pada Hakim Agung dalam suatu
perkara. Dalam melaksanakan fungsi tersebut, seorang Advokat General memberikan
pertimbangan sebelum putusan diambil dalam bentuk konklusi yang merujuk pada UU
yang relevan, semua putusan yang relevan dan doktrin hukum serta mengacu pada
putusan sejenis di Negara lain. Meskipun Advokat General berfungsi memberikan
saran kepada Mahkamah Agung tentang suatu perkara. Tetapi ia tidak bertugas
untuk membuat putusan (memutus) suatu perkara.
Parket General terdiri dari Advokat
General yang masing-masing memberikan pendapat secara terpisah/individual.
Hampir tidak pernah terjadi para advokat general saling berdiskusi dengan
koleganya. Advokat Generaal bukan hanya memberikan pertimbangan tetapi juga
memberikan referensi perundangan dan doktrin kepada Hakim Agung.
Setiap perkara yang masuk ke MA akan
dimintakan pendapat dulu ke Parket General baru kemudian dikirimkan ke MA untuk
diperiksan dan diputus. Para Hakim Agung dapat saja menyetujui atau berbeda
pendapat dengan pertimbangan yang diberikan oleh Advokat General. Namun
meskipun mungkin terjadi perbedaan pendapat, yang terpenting dalam dinamika ini
adalah proses diskusi yang akademis dan substansial yang terjadi yang justru
memperkaya khasanah hukum dan mendorong perkembangan hukum. Pertimbangan para
Advokat Generaal ini dapat diakses oleh masyarakat, sehingga masyarakat juga
dapat mengetahui dan mengambil manfaat dari diskusi hukum yang terjadi.
Rapat Pleno sebagai Mekanisme dalam Menjaga Kesatuan Hukum
Pada Kamar perdata, tiap perkara di
perkara perdata ditangani oleh majelis Hakim Agung yang terdiri dari lima atau
tiga Hakim Agung. Setiap hari Kamis, para Hakim Agung pada Kamar Perdata melakukan
rapat pleno untuk membahas semua perkara yang sedang diperiksa oleh Majelis
Hakim Agung. Dengan demikian suara/pendapat semua Hakim Agung dalam Kamar
Perdata pada dasarnya akan menentukan bagaimana putusan dalam perkara tersebut.
Dalam diskusi pada rapat pleno
mungkin saja terjadi perbedaan pendapat, namun voting tidak pernah benar-benar
terjadi. Jika suatu perkara yang dibahas pada Rapat Pleno berhubungan dengan perkara
yang telah memiliki preseden (pernah diputus perkara serupa sebelumnya), maka
Hakim Agung yang pernah memutus perkara serupa akan ditanya pendapatnya
meskipun mereka bukan anggota majelis. Dalam pembahasan suatu perkara, maka
perkara tersebut akan diputar dan masing-masing Hakim Agung memberikan
pendapatnya. Saat itu bisa saja terjadi pendapat mayoritas Hakim Agung berbeda
dengan pendapat majelis. Dalam kasus demikian maka pada umumnya yang berlaku
adalah pendapat Kamar karena mengingat kembali fungsi Mahkamah Agung adalah
menjaga kesatuan hukum. Mahkamah Agung tidak menginginkan jika perkara sejenis
diputus oleh majelis yang berbeda maka putusannya akan berbeda. Karena itu
sedapat mungkin pendapat Kamar lah yang berlaku.
Di kamar pidana dimana perkara yang
ada sangat banyak, maka penyelesaian perkara dilakukan oleh majelis yang
terdiri dari 3 hakim atau 5 hakim. Untuk perkara-perkara sederhana akan dibahas
oleh majelis 3 hakim, sedangkan perkara-perkara yang lebih rumit atau kompleks
akan diperiksa oleh majelis yang terdiri dari 5 orang hakim. Sebelum rapat
pleno dilaksanakan pada setiap minggunya, maka akan dilaksanakan rapat terlebih
dahulu pada masing-masing majelis. Setelah para Hakim Agung dalam majelis
membaca perkara dan memberikan pendapatnya, maka perkara kemudian dimusyawarahkan,
dimana pertama-tama akan dipersilahkan kepada semua Hakim Agung untuk
memberikan pendapatnya. Setelah semua Hakim Agung memberikan pendapatnya maka
akan tampak suatu kecenderungan/trend
pendapat yang berkembang di Kamar tersebut.
Perbedaan pendapat mungkin saja
muncul namun dalam kenyataannya tidak pernah benar-benar terjadi voting di
antara para Hakim Agung. Memang secara prinsip majelis hakim adalah yang
berwenang memutus perkara, namun jika anggota Kamar memiliki pendapat lain maka
yang pertama kali ditanyakan adalah apakah mereka akan merubah pendapatnya
sehingga terjadi diskusi di antara para Hakim Agung untuk mencapai kesatuan
pendapat. Dengan demikian kamar diharapkan memiliki pendapat yang konsisten. Selain
itu Hakim Agung lain di Kamar Pidana yang bukan anggota majelis juga diberikan
kesempatan merubah pendapatnya karena pada dasarnya semua Hakim Agung
mempelajari semua perkara. Cara kerja seperti ini penting untuk menjaga
kesatuan hukum. Dan dapat menyelesaikan perkara sebanyak mungkin. Tetapi bisa
saja dalam suatu perkara yang rumit, konsepnya diselesaikan dalam satu minggu
tetapi kemudian dibahas lagi dalam pleno berikutnya.
Sedangkan pada Kamar Pajak, perkara
diperiksa oleh majelis Hakim yang terdiri dari 2 (dua) kelompok besar, yaitu
kelompok 5 Hakim Agung yang merupakan kelompok sebuah majelis. Dengan demikian
kalo ada perbedaan pendapat pada dasarnya akan dilihat pendapat mana yang
merupakan milik minoritas sehingga lebih mudah diselesaikan. Setelah diambil
pendapat majelis yang merupakan pendapat sementara kemudian konsep putusan akan
dibahas dengann Hakim Agung lain pada Kamar Pajak. Rapat Pleno dilaksanakan
setiap minggu. Dalam rapat tersebut kemudian diputus sikap HR dengan mekanisme
yang sama dengan Kamar lain.
Berbagai Pendekatan untuk Menjaga Konsistensi Putusan
Fungsi Mahkamah Agung pada sebagai pengadilan
tertinggi yang melakukan fungsi sebagai pengadilan kasasi pada dasarnya adalah
untuk menjaga kesatuan hukum. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari sebuah Negara
hukum (rechstaat) dimana pada dasarnya hukum harus diterapkan secara sama dan
berlaku umum pada setiap orang/warga Negara. Asas persamaaan di muka hukum ini dapat
ditemukan dalam Konstitusi Belanda. Dengan demikian semua masalah yang sejenis
harus ditangani dengan cara yang serupa. Suatu perkara dapat saja diputus
secara berbeda namun dalam hal demikian maka alasan atau argumentasi yang
diberikan harus sangat jelas dan tepat sehingga mematahkan argumentasi pada
kasus sejenis yang telah diputus sebelumnya.
Dalam kerangka tujuan menciptakan
kesatuan hukum, maka terdapat suatu piramida kekuasaan kehakiman dimana Mahkamah
Agung ada pada puncaknya. Ini menunjukkan adanya tanggung jawab yang khusus
bagi MA. Bila MA telah mengikuti suatu pendapat hukum tertentu maka pendapat
itu harus diikuti oleh pengadilan tingkat bawah. Ini merupakan inti dari upaya
menjaga kesatuan dan kepastian hukum. Apabila Hakim pada pengadilan tingkat
bawah memutus berbeda dengan pendapat MA pada putusan sebelumnya ini berarti
pihak-pihak yang terkait punya kecenderungan besar untuk mengajukan banding
atau kasasi hingga mereka mendapatkan haknya. Bagaimanapun juga tugas MA bukan
hanya menjaga kesatuan hukum tetapi juga melindungi pihak-pihak dalam rangka
perlindungan hak asasi warga Negara.
Dalam menjaga konsistensi putusan
& kesatuan hukum namun dengan tetap menjawab tantangan penyelesaian perkara
yang jumlahnya semakin besar maka Mahkamah Agung Belanda menggunakan berbagai
cara. Pertama dengan menerapkan sistem kamar sebagaimana dijelaskan di bagian
awal diskusi ini.
Kedua, menggunakan 1 (satu) alasan untuk memutus perkara
yang sederhana. Ketika MA bisa memutus perkara yang tidak memerlukan
pertimbangan hukum khusus maka, pertimbangan dapat diberikan dengan menggunakan
1 (satu) alasan saja untuk memutus perkara tersebut. Dengan demikian perkara
dapat diputus dengan cepat. Misalkan untuk perkara pidana, dimana tiap tahun
terdapat 3500 – 4000 perkara per tahun yang harus diputus dan sebagian besarnya
diajukan tanpa ada dasar kasasi yang jelas atau tidak memenuhi syarat kasasi. Untuk
perkara tanpa alasan kasasi yang jelas maka perkara dapat dengan cepat dinyatakan
tidak dapat diterima (NO). Dari titik ini hanya akan tersisa sekitar 700an
perkara saja. Kurang lebih setengah dari perkara tersebut hanya memerlukan
alasan/argumentasi hukum yang standar karena sudah pernah diputus perkara
serupa sebelumnya. Untuk perkara seperti ini maka diberikan alasan/argumentasi
mengacu pada alasan standar yang sudah pernah dibuat oleh MA dalam putusan
sebelumnya. Dengan demikian MA dapat berkonsentrasi pada perkara-perkara yang
penting saja yang jumlahnya kurang lebih sekitar 350 perkara dan memiliki lebih
banyak waktu untuk memikirkan perkara yang memiliki pertanyaan atau
permasalahan hukum yang mendasar.
Ketiga, untuk meningkatkan efisiensi
dan kualitas fungsi kasasi maka peran Parket General sangat penting. Lembaga
ini memberikan pertimbangan atas perkara segera setelah perkara didaftarkan dan
sebelum perkara tersebut diberikan kepada majelis Hakim. Dengan demikian tugas
Hakim Agung menjadi lebih ringan. Hal ini juga menimbulkan tradisi
debat/diskusi akademis yang baik karena sangat mungkin terjadi perbedaan
pendapat antara Hakim Agung dengan pertimbangan yang diberikan oleh para
Advokat General. Dinamika diskusi hukum ini dalam kenyataannya sangat menarik
dan bermanfaat bagi perkembangan hukum. Apalagi mengingat pertimbangan dari Parket
General juga dapat diakses oleh masyarakat umum sehingga masyarakat dapat
mengetahui dan mengikuti dinamika diskursus hukum yang terjadi.
Keempat, dengan menggunakan sistem
pre-seleksi dimana perkara sejak masuk ke MA telah dikurangi dengan sistem
seleksi karena dianggap memiliki kepentingan yang kecil atau tidak memenuhi
syarat formal untuk diperiksa di tingkat kasasi. Dengan sistem ini maka perkara
kasasi yang masuk akan berkurang secara signifikan. Belanda akan mulai
menggunakan sistem pre seleksi ini tahun depan dimana perkara-perkara sederhana
atau yang permasalahan hukumnya telah pernah dijawab MA akan dikesampingkan
sehingga MA bisa berkonsentrasi untuk menjawab permasalahan hukum yang penting.
Sistem pre-seleksi ini juga bertujuan agar MA dapat memfokuskan diri pada
perkara-perkara penting. Sistem ini memiliki setidaknya dua keuntungan yaitu:
1) Perkara dapat dibatasi; 2) Tersedia lebih banyak waktu untuk berkonsentrasi
pada perkara-perkara yang penting.
Dalam rangka efisiensi dan
konsistensi dalam pelaksanaan tugasnya, MA juga melakukan kategorisasi atau
klasifikasi beberapa perkara yang sejenis untuk kemudian diputus secara
bersama-sama sehingga pertimbangan hukum yang diberikan dapat dijaga
konsistensinya satu sama lain.
Selain berbagai cara di atas, juga argumentasi/pendapat
hukum yang diberikan oleh MA dalam putusannya juga memiliki dampak terhadap
upaya untuk menekan jumlah perkara kasasi sekaligus menjaga fungsi kesatuan
hukum. Putusan hakim di tingkat bawah dianggap berdasar atau tidak berdasar
dengan mengacu pada pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim Agung di MA.
Dengan demikian melalui putusannya MA telah mempengaruhi beban perkara yang
masuk ke tingkat kasasi. Ketika batasan penafsiran MA terhadap suatu pasal
diperketat maka perkara yang masuk akan semakin sedikit, dan sebaliknya ketika
MA memiliki penafsiran yang luas maka perkara yang naik ke tingkat kasasi akan
semakin banyak. Dengan demikian bagaimana cara MA menilai putusan pengadilan di
tingkat banding sangat mempengaruhi jumlah arus kasasi.
Sistem Preseden dan Upaya Menjaga Kesatuan Hukum
Jaminan kesatuan dan kepastian hukum
merupakan jaminan fungsional karena merupakan fungsi utama dari MA sebagai
pengadilan kasasi. Ketika putusan MA memberikan pertimbangan hukum yang jelas,
maka seharusnya putusan berikutnya untuk kasus yang serupa harus mengacu pada
pertimbangan (ratio decidendi) pada
putusan terdahulu tersebut. Di Negara common law yang menganut sistem preseden
maka putusan sebelumnya merupakan salah satu sumber hukum yang harus diacu oleh
Hakim untuk memutus perkara.
Meski secara formal di Belanda tidak
menganut sistem preseden tetapi secara praktek sistem ini dilaksanakan dalam
rangka menjaga konsistensi hukum dan kesatuan hukum yang merupakan fungsi utama
pengadilan tertinggi. Dalam konteks
inilah pemberian pendapat/pertimbangan hukum menjadi inti dari pelaksanaan
fungsi MA sebagai pengadilan kasasi sehingga terdapat panduan yang jelas bagi
pengadilan tingkat bawah dalam memutus perkara. Karena pentingnya pemberian
pertimbangan/pendapat hukum ini, maka pada saat sekarang ini pengadilan kasasi
berupaya memberikan pertimbangan hukum yang panjang. Hal ini berbeda dengan masa
lalu dimana pertimbangan hukum pengadilan kasasi hanya pendek-pendek saja,
sehingga kurang memberikan kejelasan dan panduan bagi pengadilan tingkat bawah.
Dengan demikian dalam rangka menjaga kesatuan hukum maka pendapat MA dalam
sebuah putusan tidak hanya berlaku individual tetapi juga berlaku umum karena
perlu diacu oleh Hakim dalam menyusun putusan serupa.
Apabila hakim tingkat bawah memutus
yang tidak sesuai dengan sikap/posisi MA di putusan sebelumnya yang serupa,
maka sangat besar kemungkinan putusan tersebut akan dibatalkan sebagai
konsekuensi dari kepastian hukum. Namun dalam kasus-kasus dimana Hakim tingkat
bawah memutuskan untuk berbeda pendapat dengan MA, maka ia harus memberikan
pertimbangan hukum yang sangat mendasar dan akurat. Hal ini sangat mungkin
terjadi mengingat Hakim juga harus merespon perkembangan hukum yang terjadi.
Apabila argumentasi/pertimbangan hukum yang diberikan oleh Hakim di tingkat
bawah sangat meyakinkan maka dalam beberapa kasus akhirnya MA merubah
posisi/pendapatnya dalam kasus tersebut. Perubahan pendapat MA ini tentunya
akan mempengaruhi putusan MA di kasus-kasus setelahnya yang akan mengacu pada
posisi MA yang baru tersebut. Atau dalam kasus dimana MA belum pernah menjawab
suatu permasalahan hukum yang diajukan dalam suatu perkara, maka MA akan
memberikan pendapatnya sehingga akan menjadi panduan bagi kasus serupa di
kemudian hari. Pertimbangan hukum ini merupakan suatu instrumen yang sangat
penting karena inilah kunci dari konsistensi putusan dan merupakan panduan untuk
hakim tingkat bawah atau untuk meyakinkan hakim tingkat bawah terhadap
permasalahan hukum tertentu.