Kamis, 06 Oktober 2011

Penyadapan, Komisi Yudisial dan Carut-Marut Hukum Kita



Oleh Alfeus Jebabun[1]

            Pilihan Panitia Kerja RUU Komisi Yudisial memberikan kewenangan penyadapan kepada lembaga pengawas etik hakim sangat mengejutkan. Pilihan itu tidak terlepas dari sikap beberapa anggota DPR yang reaktif terhadap isu mafia hukum yang melibat oknum hakim akhir-akhir ini. Isu mafia hukum mengemuka sejak diperdengarkannya rekaman rencana kriminalisasi dua Komisioner komisi Pemberantasan Korupsi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi tahun lalu. Hal itu dipertegas saat KPK menangkap salah seorang Hakim Tinggi Tata Usaha Negara dan seorang pengacara di Jakarta karena terlibat suap. Memang, saat ini, Komisi Yudisial tengah mendapatkan sorotan. Terutama sejak Komisi Yudisial mulai menguak pengaduan-pengaduan “kelas kakap” seperti pengaduan terhadap hakim perkara pembunuhan dengan terdakwa mantan ketua KPK, Antasari Azhar dan beberapa pengaduan terhadap hakim yang menangani perkara korupsi yang melibatkan anggota DPR.

Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, seluruh kegiatan penyadapan pada dasarnya dilarang. Hal ini disebabkan karena tindakan penyadapan melanggar hak konstitusional warga Negara. UUD 1945 menjamin hak privasi setiap orang untuk berkomunikasi dengan siapa pun. Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana, seperti halnya penyitaan dan pengeledahan.

Lantas, dalam tindak pidana manakah Komisi Yudisial berperan sebagai penyidik? Prosedur yang manakah yang berlaku apabila Komisi Yudisial memiliki kewenangan penyadapan? Sebelum menjawabnya, perlu kiranya kita mencari esensi dari penyadapan sebagai salah satu upaya dan prosedur dalam rangka penyidikan. Pada dasarnya, merekam atau mendengarkan suatu pembicaraan atau komunikasi seseorang atau institusi adalah pelanggaran hak konstitusional. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan hal tersebut. Salah satu hak konstitusional warga negara adalah berkomunikasi dan memperoleh, menyimpan, mengolah serta menyampaikan informasi tanpa adanya intervensi dari negara. Namun, pada dasarnya,  demi kepentingan yang lebih luas, kepentingan publik, negara berhak mengesampingkan hak konstitusional ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Kepentingan publik seperti apa yang dimaksud disini?
           
Perlu kiranya kita menengok kembali pengaturan mengenai penyadapan dalam peraturan perundang-undangan yang ada saat ini. Pasal 42 Undang-Undang No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mengatur bahwa penyadapan dapat dilakukan atas dasar adanya permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan atau Kapolri untuk tidak pidana tertentu dan oleh penyidik untuk tindak pidana tertentu menurut undang-undang. Prosedur untuk melakukan penyadapan  berbeda bagi masing-masing tindak pidana. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi jo Penjelasan Pasal 26 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  mengatur bahwa KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan (wiretaping). Pasal 31 UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang mengatur kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan dengan syarat bukti permulaan yang cukup, adanya izin Ketua Pengadilan dan paling lama 1 tahun. Pasal 31 UU No.21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur hal yang serupa dengan Undang-Undang terorisme yakni penyidik berwenang untuk melakukan penyadapan dengan syarat bukti permulaan yang cukup, adanya izin Ketua Pengadilan dan paling lama 1 tahun. Dalam Pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menyatakan penyidik berwenang untuk melakukan penyadapan tidak lebih dari 30 hari. Dalam Pasal 75 dan 77 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika  diatur bahwa penyidik berwenang melakukan penyadapan engan syarat -syarat; adanya bukti permulaan yang cukup, paling lama 3 (tiga) bulan, izin tertulis dari Ketua Pengadilan dan dapat diperpanjang satu kali.

            Dari informasi tersebut, dapat dipastikan satu kesimpulan. Penyidik berwenang melakukan penyadapan dalam rangka penyidikan perkara tindak pidana. Dari informasi tersebut pula, kita dapat mengetahui bahwa prosedur penyadapan belum satu nafas untuk masing-masing tindak pidana.

            Dalam sistem hukum yang dianut oleh sistem hukum nasional kita dikenal dua ranah hukum yakni hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang berkelindan dengan kepentingan semua pihak baik negara maupun warga negaranya. Dalam ranah hukum publik ada hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum tata negara. Diantara ranah-ranah hukum publik, manakah yang berhak membatasi hak konstitusional warga negara? Sebagaimana kita pahami, dalam prakteknya sistem peradilan pidana adalah sistem yang penuh dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara, antara lain dengan kewenangan menangkap, menahan, menggeledah, menyita dan termasuk menyadap. Hal ini diperlukan dalam rangka penegakan hukum pidana (pro justicia) dan mengembalikan kondisi hubungan antar warga negara yang rusak akibat adanya tindak pidana (pelanggaran hak konstitusional oleh sesama warga negara) menjadi normal dan tertib kembali.

            Jika telah ditemukan kesepahaman mengenai posisi penyadapan sebagai salah satu upaya atau prosedur dalam rangka penyidikan dalam sistem peradilan pidana, mari kita kembali kepada pertanyaan sebelumnya, dimanakah peran penyidikan Komisi Yudisial dalam sistem hukum pidana nasional kita? Berdasarkan pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, serta perilaku hakim. Saat ini, pembuat undang-undang menerjemahkan bahwa “wewenang lain” tersebut sebagai penegakkan etik dan perilaku hakim. Dalam prakteknya pun, Komisi Yudisial menjalankan fungsi sebagai penegak kode etik dan perilaku bagi profesi hakim. Bahkan, usulan penyadapan pun muncul dalam rangka penegakkan kode etik dan perilaku profesi hakim, misalnya untuk pemeriksaan hakim yang terlibat suap, pemerasan dan tindakan lain yang menjadi modus mafia peradilan.Jika kita cermati, semua tindakan yang menjadi modus mafia peradilan diatas adalah tindak pidana. Eksekutor (penyidik) dari adanya pelanggaran tindak pidana tersebut  telah ditunjuk oleh undang-undang, yakni, KPK, Kepolisian RI atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

            Dalam posisi sebagai penegak etika profesi hakim, Komisi Yudisial tidak berada dalam jalur sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, Komisi Yudisial  tidak dapat memiliki upaya represif, salah satunya wewenang penyadapan. Kemudian, kurang tepat kiranya, apabila “wewenang lain” dalam Pasal 24B UUD 1945 diterjemahkan sebagai penegakkan hukum atas pelanggaran pidana. Karena akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga penegak hukum lain, contohnya, siapa yang akan menangani hakim yang memeras? Komisi Yudisial atau KPK? Siapa yang menangani hakim yang terlibat narkotika? Komisi Yudisial atau Kepolisian RI?
           
            Namun, tidak berarti posisi Komisi Yudisial harus selalu terjebak dalam posisi hanya sebagai penjaga etika dan perilaku hakim dengan kewenangan yang terkesan minim seperti sekarang. Komisi Yudisial dapat mengembangkan upaya lain seperti penyusunan nota kesepahaman dengan lembaga penegak hukum lain yang memiliki perkara yang melibatkan hakim-hakim pada lembaga peradilan, misalnya kesepakatan bahwa lembaga penegak hukum akan selalu memberikan informasi perkara kepada Komisi Yudisial apabila melibatkan hakim sebagai pintu masuk pemeriksaan etik di Komisi Yudisial. Kemudian, Komisi Yudisial harus menegaskan posisinya kembali sebagai lembaga penjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim (baca: lembaga peradilan). Artinya Komisi Yudisial perlu menggagas kembali arti dari “wewenang lain” yang diharapkan dari suatu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dapat mendorong pembuat undang-undang untuk menjadikan Komisi Yudisial sebagai lembaga pendorong pembaruan sistem peradilan, misalnya memberikan rekomendasi dalam permasalahan-permasalahan peradilan yang aktual, seperti inkonsistensi putusan dan penumpukkan perkara. Upaya ini akan lebih masuk akal bagi Komisi Yudisial ketimbang menghabiskan energi untuk mendorong hal-hal yang nyata-nyata akan berpotensi diperkarakan di Mahkamah Konstitusi seperti meminta wewenang penyadapan.






[1]   Peneliti Hukum pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Jakarta, Indonesia

Rabu, 05 Oktober 2011

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

DPR dan Pemerintah akhir bulan ini telah mensahkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut  menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undanga. Alasan DPR dan Pemerintah mengganti undang-undang itu bahwa UU No. 10 Tahun 2004 terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Salah satu kekurangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 adalah tidak dimasukannya Ketetapan MPR  (TAP MPR) dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, DPR dan Presiden  menyempurnakan nya dengan memasukan TAP MPR.

Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
  1. UUD 1945
  2. Ketetapam MPR
  3. UU/Perppu
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Propinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bunyi Pasal ini berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, yang dalam pasal yang sama menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundan-undangan adalah sebagai berikut:
  1. UUD 1945
  2. UU/Perppu
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah
Masuknya TAP MPR ke dalam hierarki peraturan peundang-undangan, menimbulkan banyak permasalahan.
  1. Perihan TAP MPR, tidak diatur materi apa yang harus dimuat. Hal ini berbeda dengan UU/Perppu, PP,Perpres, Perda Propinsi, dan perda Kabupaten yang secara jelas diatur dalam UU tersebut.
  2. Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011 mengisyaratkan bahwa apabila UU bertentangan dengan UUD 1945, lembaga yang berwenang menguji adalah Mahkamah Konstitusi, sedangkan apabila peraturan dibawah UU bertentangan dengan UU, yang berwenang menguji adalan Mahkamah Agung. pertanyaannya, apabila TAP MPR bertentangan dengan peraturan di atasnya (UUD 1945) siapa yang berhak menguji? dan apabila suatu UU bertentangan dengan TAP MPR, siapa yang berhak menguji?.













Sabtu, 20 Agustus 2011

PBHI Jakarta Siap Bangkit Membela HAM

Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) Pusat nyaris tak terdengar bunyinya akhir-akhir ini. Lembaga ini seakan tidak eksis lagi dalam membela HAM, dan rakyat jarang mendengar lagi kiprahnya. Namun dalam situasi seperti itu, secercah harapan bangkit. walaupun PBHI Pusat stagnan, PBHI Jakarta mulai bangkit dan berjanji akan terus bangkit melawan ketidakadilan, dan menegakkan Hak Asasi Manusia. PBHI Jakarta tak pernah bosan membela HAM, dan saatnya PBHI bangkit kembali. Demikian Pernyataan sikap seluruh anggota PBHI Jakarta yang hadir dalam Musyawarah Wilayah (MusWil) IV PBHI Jakarta, di Jakarta, Sabtu (20/08).

Muswil ini dilaksanakan dalam rangka suksesi kepengurusan, dan mempersatukan kembali seluruh anggota PBHI Jakarta. Poltak Agustinus Sinaga terpilih secara aklamasi dalam muswil tersebut. Dalam kata sambutannya, poltak menegaskan, akan melanjutkan Perjuangan pengurus PBHI Jakarta sebelum.

"Tugas PBHI Jakarta ke depan semakin berat. Pengurus sebelumnya telah melakukan hal yang terbaik, dan saya akan tetap melanjutkan kerjaan yang belum tuntas dari masa kepengurusan sebelumnya. oleh karena itu, pengurus yang akandatang mohon tetap kompak. Kedepan, yang terpenting bukan omongan, melainkan aksi" ujar Poltak. (Fausto - anggota PBHI Jakarta)



Selasa, 09 Agustus 2011

DIBALIK TERTANGKAPNYA NAZARUDIN


Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Bambang Soesatyo mengkhawatirkan adanya `skenario` untuk menyelamatkan orang-orang tertentu, terkait dengan tertangkapnya tersangka kasus dugaan suap Wisma Atlet, M Nazarudin.
"Saya khawatir, kalau tidak diawasi publik, nyanyian Nazar yang semula merdu bagi pegiat antikorupsi menjadi sumbang untuk menyelamatkan pihak-pihak yang pernah dituding Nazar," katanya di Jakarta, Selasa.
Menurut Bambang, bukan tidak mungkin ada skenario baru, bahwa Nazaruddin dijanjikan keringanan hukuman, dengan seolah-olah dianggap peniup terompet dan mendapatkan perlindungan dari lembaga perlindungan saksi, namun diarahkan kesaksiannya pada figur tertentu saja yang memang akan dikorbankan untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar bagi pihak-pihak yang selama ini dituding Nazar.
"Tertangkapnya Nazaruddin membuat panas dingin sejumlah pihak yang namanya sempat disebut Nazar," katanya.
Bambang memprediksikan, pihak-pihak yang selama ini disebut-sebut oleh Nazarudin pasti tidak akan tinggal diam. Suka atau tidak suka, tambahnya kerusakan yangg dibuat Nazarudin lewat tudingannya selama dalam pelarian sangat luar biasa bagi Partai Demokrat dan beberapa elitnya. Sehingga, mau tidak mau, pasti ada pihak yang menginginkan Nazar memperbaiki atau paling tidak memperkecil kerusakan itu.
Jika hal itu terjadi, ujar Bambang, maka harapan publik dengan tertangkapnya Nazar akan mampu membuka kotak pandora kejahatan korupsi yang merupakan puncak gunung es akan pupus, dan akan menjadi antiklimaks seperti kasus Susno Duadji.
Untuk menghindari hal itu, kata Bambang, maka menjadi penting KPK dengan pengawasan dari publik langsung mengamankan Nazarudin menjadi tahanan KPK. Pada saat bersamaan, dia mengharapkan Komisi Etik KPK pada kesempatan pertama masuk memeriksa Nazaruddin.
"Agar informasi yang diperoleh benar-benar memiliki kualitas hukum yang memadai sebelum sempat ada pihak-pihak yang mencoba mengkondisikannya," kata Bambang.
Nazaruddin tertangkap di Kolumbia pada Minggu, setelah tiga bulan kabur ke luar negeri, namun pada paspornya tertera nama Syarifuddin. Dia dilaporkan pernah bersembunyi di Singapura, Vietnam, Malaysia, Argentina, dan terakhir di Kolumbia.

Kamis, 04 Agustus 2011

PROSEDUR SELEKSI HAKIM AGUNG


Komisi Yudisial (KY) memiliki peran yang sangat penting dalam menjamin penegakan hukum di Indonesia umumnya dan pembangunan serta kemajuan MA khususnya. Hal ini disebabkan karena KY memiliki wewenang untuk menyeleksi calon hakim agung pada tingkat pertama. Dengan perkataan lain, berhasil tidaknya penegakan hukum di Indonesia salah satu faktornya adalah tergantung kemampuan KY untuk memilih calon hakim agung yang berkualitas, baik moral maupun intelektual.

A.    Proses Seleksi secara Yuridis
Calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh presiden[1]. Artinya, Hakim agung diangkat oleh presiden dari nama calon yang diajukan oleh DPR. Calon hakim agung dipilih oleh DPR dari nama calon yang diusulkan oleh komisi yudisial. DPR memilih calon hakim agung tersebut dilakukan paling lama 14 hari sidang sejak nama calon diterima DPR.
Pendaftaran calon hakim agung kepada KY dilakukan oleh MA, pemerintah dan masyarakat dalam jangka waktu paling lama 15 hari sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon hakim agung oleh KY[2]. Untuk dapat menjadi hakim agung, seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a)     Warga Negara Indonesia
b)     Bertagwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
c)     Berijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang hukum;
d)     Berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun
e)     Sehat jasmani dan rohani
f)      Berpengalaman sekurang-kurangnya 20 tahun menjadi hakim, termasuk sekurang-kurangnya 3 tahun menjadi hakim tinggi[3].
Calon hakim agung tidak harus berasal dari hakim karir. Apabila dibutuhkan hakim agung bisa berasal dari hakim non-karir dengan syarat:
a)     Memenuhi syarat ayat (1) huruf a, b, d, dan e;
b)     Berpengalaman dalam profesi hukum atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 tahun
c)     Berijazah magister dalam ilmu hukum dengan dasar sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian dibidang hukum
d)     Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih[4].
Berdasarkan peraturan Komisi Yudisial tahun 2011, KY memiliki waktu paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya masa pendaftaran calon hakim agung, untuk melakukan seleksi persyaratan administrasi calon hakim agung. Perlengkapan administrasi yang akan diseleksi meliputi:
a)     Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan dan pengalaman organisasi;
b)     Copy KTP yang masih berlaku
c)     Pas photo terbaru sebanyak tiga lembar dengan ukuran 4x6 cm (berwarna)
d)     Copy ijazah yang telah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
e)     Surat pernyataan berpengalaman dibidang hukum paling sedikit 20 tahun, baik bagi karier maupun nonkarier
f)      Surat keterangan sehat jasmani maupun rohani dari rumah sakit pemerintah
g)     Daftar harta kekayaan dan sumber penghasilan calon beserta penjelasannya (Format LHKPN, Form A dan Form versi Komisi Pemberantasan Korupsi)
h)     Copy NPWP
i)      Surat keterangan dari pengadilan negeri setempat bahwa calon tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara lima tahun atau lebih, bagi calon hakim agung yang berasal dari nonkarier
j)      Surat keterangan tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akhibat melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, bagi calon hakim agung yang berasal dari hakim karier
k)     Surat pernyataan tidak akan merangkap sebagai pejabat Negara, advokat, notaries, Pejabat Pembuat Akte Tanah, pengusaha, karyawan BUMN/BUMD atau badan usaha milik swasta, pimpinan atau pengurus partai politik atau organisasi massa yang merupakan onderbouw partai politik, atau jabatan lainnya yang dapat menimbulkan benturan kepentingan, jika diterima menjadi hakim agung
l)      Surat pernyataan kesediaan mengikuti proses seleksi calon hakim agung[5].
Calon yang dinyatakan lulus seleksi administrasi ditetapkan dalam rapat pleno Komisi Yudisial dan diumumkan paling lama 15 hari[6]. Masyarakat berhak memberikan informasi atau pendapat terhadap calon hakim agung tersebut dalam jangka waktu 30 hari sejak pengumuman kelulusan seleksi administrasi[7]. Disamping itu, KY juga melakukan penelitian atas informasi dan pendapat masyarakat tersebut, selama 30 hari sejak pemberian informasi berakhir. Hasil penelitian tersebut akan dijadikan bahan pertimbangan bagi KY untuk menentukan dapat atau tidaknya calon mengikuti seleksi tahap berikutnya[8].
Tahap seleksi berikutnya berupa seleksi hasil karya yang meliputi penyusunan karya ilmiah yang topiknya ditentukan oleh Komisi Yudisial dan karya profesi dua tahu terakhir[9]. Apabila tahap pembuatan makalah ini selesai, maka calon yang lulus seleksi administrasi mengikuti tahap selanjutnya yaitu seleksi kualitas, kepribadian dan kesehatan. Tahap ini bertujuan untuk mengetahui dan menilai kecakapan, kemampuan, integritas, moral, dan kesehatan dalam melaksanakan tugasnya dibidang peradilan[10]. Seleksi tahap ini dilakukan dengan cara menilai kualitas putusan-putusan pengadilan bagi calon dari karier, menilai tuntutan-tuntutan jaksa, pembelaan-pembelaan advokat, hasil karya, dan publikasi ilmian akademisi dari calon hakim agung, menilai kualitas karya ilmiah, kualitas pendapat hukum dari suatu kasus yang ditentukan oleh KY, kepribadian, dan hasil pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani[11]. Semua hasil penilaian tersebut diserahkan kepada Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial untuk dijadikan bahan pertimbangan kelulusan. Calon yang lulus tahap ini berhak lanjut ketahap berikutnya, dan menyerahkan surat rekomendasi dari minimal 3 orang yang mengetahui dengan baik kualitas dan kepribadian calon hakim agung yang bersangkutan[12].
Seleksi tahap berikutnya berupa verifikasi, pembekalan dan wawancara. Verifikasi dimaksudkan untuk mengetahui perilaku dilingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, dan lingkungan kerja; keadaan keluarga, rumah tangga, hobi, dan kebiasaan; asal-usul harta kekayaan serta keluarga inti; rekam jejak; kepatuhan membayar pajak. Pelaksanaan verifikasi dilakukan dengan mengunjungi tempat tinggal, tempat kerja, dan tempat lain yang dianggap perlu, serta bertatap muka langsung dengan calon hakim agung, keluarga, kerabat, teman kerja, tetangga, dll. Sedangkan pembekalan dilakukan melalui pemahan kode etik, hukum acara, dan teori hukum. Setelah tahap pembekalan selesai, calon akan diwawancara secara terbuka oleh Panel ahli dan Komisi Yudisial[13]. Hasil verifikasi dan wawancara dijadikan bahan pertimbangan dalam rapat pleno panel ahli dan KY. Calon yang lulus dalam seleksi wawancara ini selanjutnya akan diserahkan ke DPR dengan tembusan disampaikan ke presiden, dan KY mengumum calon yang lulus tahap wawancara kepada masyarakat[14].





B.    Tahapan Seleksi Calon Hakim Agung 2011
Pada tahun 2011 ini seleksi hakim agung di Komisi Yudisial (KY) dimulai sejak 07 Maret s.d. 23 Maret 2011. Menurut Ketua Komisi Yudisial, Eman Suparman, total yang ikut mendaftar sebanyak 107 calon. Dari jumlah itu, 50 di antaranya adalah hakim karier dan 57 lainnya non-karier. Komisi Yudisial melakukan seleksi administrasi (seleksi tahap I) terhadap 107 calon hakim agung selama 15 hari. Berdasarkan data dari KY, ada 83 calon yang lolos seleksi tahap I, yang terdiri dari 46 orang hakim karier, dan 37 orang nonkarier.
Seleksi Tahap II dilaksanakan 9 s.d. 14 Mei 2011. Pada tahap ini, yang diseleksi adalah karya tulis, penyelesaian kasus hukum, asesment kepribadian, dan wawancara pendalaman terhadap karya ilmiah dari hasil kasus hukum. Berdasarkan data yang diperoleh dari KY, Komisi Yudisial (KY) menetapkan 45 nama calon hakim agung 2011 lolos dalam seleksi tahap II yang telah dilaksanakan pada 5-12 April 2011,  di Bogor, Jawa Barat. Dari 45 nama tersebut, 23 orang calon hakim agung karier dan 22 lainnya hakim agung nonkarier. Peserta yang lulus seleksi tahap II akan diinvestigasi secara mendalam oleh KY selama kurang lebih 30 hari, yaitu tanggal 8 Juni hingga 12 Juli.
Seleksi Tahap ketiga dilaksanakan pada 20 Juli sampai 29 Juli 2011. Dalam seleksi tahap III ini, calon akan diuji mengenai kesehatan melalui tes kesehatan, dan setelahnya mengikuti seleksi terakhir yaitu wawancara. Seleksi tahap III awalnya diikuti oleh 45 calon. Namun, pada tahap wawancara, dua orang calon mengundurkan diri yaitu Elang Prakoso Wibowo dan Elisabeth Sundari. Mundurnya dua orang calon ini berdampak pada majunya jadwal tes hari akhir. Sebelumnya seleksi dijadwal selesai pada Jumat, 29 Juli 2011 dimajukan menjadi Kamis, 28 Juli 2011.


[1] Pasal 24A ayat 3 UUD 1945
[2] Pasal 2 ayat (2) Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[3] Pasal 7 ayat (1) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
[4] Pasal 7 ayat (2) UU No 5 Tahun 2004 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
[5] Pasal 3 ayat (3) Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[6] Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[7] Pasal 5 ayat (1) Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[8] Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[9] Pasal 6 Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[10] Pasal 7 ayat (1) Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[11] Pasal 7 ayat (2) Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[12] Pasal 9 Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung

[13] Pasal 10 Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung
[14] Pasal 12  Peraturan Komisi Yudisial RI No. 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara Seleksi Calon Hakim Agung

Rabu, 27 Juli 2011

NEGARA HUKUM YANG TIDAK TAAT HUKUM

Pada bulan Februari 2008 masyarakat Indonesia dikejutkan dengan adanya informasi mengenai penelitian dari Dr. Sri Estuningsih (Peneliti dari IPB) yang dilakukan sejak tahun 2003-2006 yang mengungkapkan 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) telah tercemar bakteri Enterobacter Sakazakii. Informasi tersebut telah mengakibatkan keresahan di masyarakat pada umumnya, khususnya keluarga-keluarga yang memberikan susu formula kepada anak-anaknya.

Atas hasil penelitian tersebut, David M Tobing, seorang ayah yang memiliki anak balita dan memberikan susu formula bagi anak-anaknya mengajukan gugatan Perbuatan Melawan Hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Perkara No.87/Pdt.G/2008/PN.JKT.PST), dimana yang digugat adalah IPB (Tergugat I), BPOM RI (Tergugat II), dan Menteri Kesehatan RI (Tergugat III).

Gugatan ini didasari oleh keresahan dari David M Tobing terhadap hasil penelitian yang dipublikasikan oleh IPB, dimana hasil penelitian tersebut hanya menyatakan susu-susu formula yang beredar di masyakarakat telah tercemar Enterobacter Sakazakii, tetapi tidak mempublikasikan merek-merek susu apa saja yang telah terkontaminasi Enterobacter Sakazakii, sehingga David M Tobing merasa resah karena anak-anaknya sejak umur 6 bulan telah mengkonsumsi susu formula.
Selanjutnya pada tanggal 20 Agustus 2008, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan David M Tobing dan memerintahkan adalah IPB, BPOM RI dan Menteri Kesehatan RI untuk mempublikasikan Hasil Penelitian yang dilakukan oleh IPB, termasuk namun tidak terbatas pada nama-nama dan jenis produk susu formula yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii secara transparan dan detail di media massa baik cetak maupun elektronik. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini kemudian dikuatkan Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung yang di dalam Putusannya menyatakan bahwa hasil penelitian yang menyangkut hajat hidup orang banyak wajib dipublikasikan.

Namun, sampai saat ini Pihak IPB, BPOM RI dan Menteri Kesehatan RI tidak mau mentaati putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut (in kracht van gewijsde). Sehingga, masyarakat konsumen Indonesia belum mendapatkan informasi yang utuh dan menyeluruh mengenai nama-nama dan jenis susu formula yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii. Bahkan IPB mengajukan Peninjauan Kembali terhadap Putusan tersebut pada 18 Mei 2011.

Sikap IPB, BPOM RI dan Menteri Kesehatan RI ini didukung pula oleh beberapa Perguruan Tinggi Negeri, antara lain: Universitas Indonesia, Universitas Andalas, Universitas Hasanuddin, dan Universitas Sumatera Utara, yang mengajukan bantahan terhadap Eksekusi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berturut-turut pada 9 dan 19 Mei 2011, dengan alasan kode etik penelitian.
Dengan adanya sikap IPB, BPOM RI, dan Menteri Kesehatan RI, yang didukung oleh empat Perguruan Tinggi Negeri, yang menolak perintah Pengadilan untuk mempublikasikan jenis-jenis susu formula yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii maka masyarakat konsumen Indonesia tidak dapat mengetahui ekses negatif pemakaian susu formula yang dikonsumsinya, terutama yang berkaitan dengan hasil-hasil penelitian IPB. Sehingga, hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang seperti yang dijamin UU No. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN telah dilanggar oleh Pihak IPB, BPOM RI dan Menteri Kesehatan RI.

Sikap IPB, BPOM RI dan Menteri Kesehatan RI yang menolak melaksanakan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung ini secara nyata juga merupakan bentuk pengingkaran dan pelanggaran terhadap kewajiban Badan Publik untuk menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik serta menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan sebagaimana diperintahkan UU Nomor 14 tahun 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK. Tindakan Badan Publik yang dengan sengaja tidak menyediakan, tidak memberikan, dan/atau tidak menerbitkan Informasi Publik berupa Informasi Publik ini secara hukum dapat dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 52 UU Nomor 14 tahun 2008 TENTANG KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK.
Sikap IPB, BPOM RI dan Menteri Kesehatan RI yang menolak mempublikasikan nama-nama dan jenis susu formula yang terkontaminasi Enterobacter Sakazakii sebagaimana diperintahkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi Jakarta dan Mahkamah Agung ini secara jelas merupakan pelecehan terhadap pengadilan (contempt of court) dan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip Negara hukum Indonesia.

Senin, 04 Juli 2011

Anggota DPR Meninggal di Tengah Seminar

SURABAYA, KOMPAS.com - Diduga terkena serangan jantung, anggota komisi VII DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Ahmad Fauzi tiba-tiba terjatuh ke lantai dan meninggal dunia, dalam forum Seminar Kebangsaan pada Acara Muspimwil dan Pelantikan Ormas Nasional Demokrat Jawa Timur di Surabaya, Senin (4/7/2011).

Puluhan panitia kemudian membopongnya ke luar gedung untuk dilarikan ke RS Husada Utama Surabaya. Kabar meninggalnya Ahmad Fauzi diterima panitia beberapa menit setelah dibawa ke rumah sakit.

Ahmad Fauzi terjatuh saat berbicara tentang carut marut partainya saat ini. Saat itu dia tengah menyampaikan kekecewaannya pada Partai Demokrat terkait kasus Nazarudin. Dalam orasinya, bahkan dia sempat berkata 'Saya keluar dari Demokrat'.

'Mungkin karena dia sangat antusias, kemudian jantungnya terpacu, dan roboh ke lantai,' kata salah seorang peserta seminar, Ahmad Syamsul Hadi.

Ahmad Fauzi adalah legislator Partai Demokrat dari daerah pemilihan Jember, Banyuwangi, Lumajang, dan Situbondo. Sebelum di Komisi VII, dia juga sempat berada di Komisi III DPR RI.

Ahmad Fauzi yang diundang sebagai salah satu panelis dalam seminar itu juga masuk dalam struktur anggota dewan Pertimbangan Wilayah Ormas Nasional Demokrat Jawa Timur.

Ketua Ormas Nasional Demokrat Jatim, Hasan Aminudin menyampaikan bela sungkawa atas meninggalnya Ahmad Fauzi. 'Beberapa hari sebelum acara ini Almarhum beserta istri sudah berada di sini, ini menunjukkan bahwa almarhum sangat antusias mengikuti seminar kebangsaan ini,' katanya.

OC Kaligis: Sekarang Nazar Urusan Pengacara Singapura

JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum Muhammad Nazaruddin, tersangka kasus dugaan suap pembangunan wisma atlet Sea Games di Palembang, OC Kaligis, saat ini enggan berkomentar lagi mengenai perkembangan kasus kliennya. Menurut dia, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu sekarang sudah mempunyai pengacara tambahan untuk membantu proses hukum kasusnya di Singapura.
"Kemarin malam kita sudah rapat untuk menambah pengacara di sana (Singapura) dan melakukan pembagian tugas. Jadi saya sekarang no-comment untuk kasus ini," ujar Kaligis ketika dihubungi Kompas.com, di Jakarta, Senin (4/7/2011).
Oleh karena itu, lanjut Kaligis, saat ini yang berhak memberikan komentar soal Nazaruddin adalah pengacaranya yang berada di Singapura. Namun, ia tidak menjelaskan secara rinci apa alasan dari pembagian tugas tersebut.
"Kemarin saya sudah ngomong faktanya apa yang dikatakan Nazar, tetapi malah saya dituduh macam-macam. Jadi, saya sekarang ini tidak mau berpolemik lagi, tinggal kita lihat nanti bagaimana kelanjutannya, biar pengacaranya di sana (Singapura) yang memberikan komentar," jelasnya.
Sebelumnya, setelah ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Nazaruddin melalui kuasa hukumnya, OC Kaligis, mengungkapkan aliran dana kasus tersebut mengalir ke sejumlah anggota Dewan. Selain itu, Nazar juga menuding Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng ikut terlibat karena menerima aliran dana itu.
Namun, secara terpisah, Andi Malarangeng dengan tegas membantah tudingan tersebut. Ia menilai, tudingan-tudingan yang dilontarkan Nazaruddin dari jauh hanya akan menjadi polemik dan tidak akan berpengaruh terhadap proses hukum yang berjalan di Indonesia. Andi pun menantang agar anggota Komisi VII DPR tersebut untuk membuktikan tudingannya di Indonesia.
"Yang paling baik Saudara Nazaruddin pulang dulu ke tanah air dan menyampaikan langsung ke Komisi Pemberantasan Korupsi dengan bukti-buktinya," kata Andi.
Dalam kasus ini, Nazaruddin disangka melanggar tiga pasal penerimaan suap, yaitu Pasal 5 Ayat 2 dan atau Pasal 12 huruf a dan b, dan Pasal 11 Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi. Selain Nazaruddin, kasus ini juga melibatkan tiga tersangka lainnya yakni Sekretaris Menteri Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, Direktur Pemasaran PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manulang, dan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Indah, Mohamad El Idris.