Tim Pengawas (Timwas) kasus Bank Century kembali menggelar rapat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rabu (15/2). Dalam kesempatan ini, KPK mengaku telah meminta keterangan dari para ahli dan pakar dalam rangka penyelidikan. Namun, KPK menolak membeberkan siapa saja nama pakar dan ahli tersebut kepada Timwas.
Anggota Timwas Century, Achsanul Qosasi, meminta agar KPK menyerahkan nama-nama saksi dan ahli yang telah dimintai keterangannya dalam upaya penuntasan kasus Century. Mereka diantaranya, 33 saksi dari Bank Indonesia, lima orang ahli perbankan, dan 30 pihak-pihak lainnya.
Menurut Achsanul, hal ini penting agar Timwas bisa menilai apakah pakar atau ahli yang memberikan keterangan kepada KPK betul-betul independen. “Kita juga ingin tahu apakah para saksi dan pakar yang diperiksa KPK itu independen, terjaga dalam memberikan kesaksian dan pandangannya,” kata politisi Partai Demokrat ini.
Anggota Timwas dari fraksi PKS Andi Rahmat mengatakan hal yang sama. Dia khawatir pakar dan ahli yang dihadirkan KPK tidak memiliki intregritas tinggi dalam keahliannya dan cenderung melemahkan penegakan hukum.
Menurutnya, Timwas pernah mengundang beberapa pakar dan ahli ketika kasus Century ini sedang hangat-hangatnya. Ketika itu, ada pandangan pakar dan ahli yang justru mendukung pandangan pemerintah soal keputusan memberikan dana talangan pada Bank Century untuk menyelamatkan ekononi nasional saat itu. Sebab, dikhawatirkan jika Bank Century itu ditutup memberi dampak sistemik.
Namun permintaan itu ditolak KPK.
Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan, pihaknya tidak akan menyerahkan dan mengumumkan para saksi dan ahli yang telah dimintai keterangan dalam upaya penuntasan kasus Bank Century. Menurutnya, hal itu dapat mengganggu proses penyelidikan yang sedang berjalan.
Selain mengganggu proses penyelidikan, mengumbar nama pakar dan ahli kepada Timwas merupakan perbuatan melanggar hukum karena menyangkut sebuah kesaksian seseorang yang diatur dalam UU.
“Jika kami umumkan, kami khawatir dapat mengganggu proses penyelidikan kasus ini dan melanggar hukum,” kata Busyro.
Ketua KPK Abraham Samad menambahkan, KPK tidak ingin Timwas meragukan integritas dan kinerja dari lembaga ini. Dia malah menawarkan Timwas turut menyerahkan nama-nama pakar atau ahli yang dianggap independen dan profesional untuk kepentingan pendalaman penyelidikan kasus ini oleh KPK.
“Jika pakar dan ahli yang kami mintai pandangannya diragukan DPR, kami minta Timwas ikut mengajukan nama-nama ahli,” ujarnya.
Lepas dari perdebatan itu, Timwas meminta agar KPK menuntaskan penanganan kasus Century pada akhir 2012. Pimpinan rapat yang merupakan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan berharap KPK segera menindaklanjuti sembilan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Tahap I dan 13 temuan, serta dua informasi lainnya yang terdapat dalam LHP Tahap II dari BPK.
Menurutnya, hal itu sesuai pasal 8 ayat (4) UU 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menyatakan bahwa laporan BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, Taufik menyetujui usulan Abraham Samad untuk menyampaikan nama-nama pakar dan ahli untuk mendapatkan informasi atau penjelasan yang akurat mengenai kasus Bank Century.
“Timwas Century menyepakati usulan KPK untuk menyampaikan nama-nama ahli dimaksud sesegera mungkin,” katanya.
Namun, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, bahwa komitmen KPK untuk menyelesaikan penanganan kasus Century oleh KPK hingga pada akhir tahun 2012 ini, dalam konteks penyelesaian penyidikannya.Belum sampai tuntas hingga proses penuntutannya.
“Karena kalau sampai proses pemberkasannya hingga pelimpahan ke pengadilan hingga tuntas pada 2012 ini, sepertinya sangat berat,” tandas Bambang. (hukumonline.com)
Rabu, 15 Februari 2012
Kamis, 09 Februari 2012
TURUN GUNUNG SELAMATKAN “WAJAH” HUKUM
By: Alfeus Jebabun
Lonceng kematian penegakan hukum
seakan hendak dibunyikan. Hukum tajam ke bawah (kaum marjinal) tumpul ke atas
(penguasa), menjadi aba-aba.Terdakwa dalam kasus Sandal Jepit, Kasus Kakao dan
lain-lain diperlakukan terbalik dibandingkan dengan perlakuan yang diterima
Gayus Tambunan, Artalita Suryani atau (mantan) Gubernur Kutai Kertanegara
Syaukani.
Kondisi penegakan hukum itu rupanya
membuat gerah para sesepuh dunia hukum. Mereka merasa Penegakan hukum dinilai
sedang sakit karena tak bisa memberikan keadilan kepada masyarakat. Lantas,
karena tidak tega melihat ‘wajah’ hukum Indonesia seperti itu, para pendekar
itu pun menyampaikan rasa keprihatinannya.
“Pernyataan keprihatinan atas
sakitnya penegakan hukum di Indonesia,” ujar mereka yang tergabung dalam
Kelompok Lintas Hukum untuk Perubahan di Jakarta, Selasa (7/2). Para pendekar
itu adalah Adi Andojo (mantan Hakim Agung), Benyamin Mangkudilaga (mantan Hakim
Agung), Bismar Siregar (mantan Hakim Agung), Chaerul Umam (mantan jaksa),
Bambang Widodo Umar (mantan polisi), Frans Hendra Winata (advokat), dan
Humphrey Djemat (advokat). Turut mendampingi para senior, hadir pula Jhonson
Pandjaitan (advokat) dan Yenti Ganarsih (akademisi Fakultas Hukum Universitas
Trisakti). Acara ini digelar di Rumah Sakit Jakarta sebagai bentuk simbolik
sakitnya hukum di Indonesia.
Dalam rasa keprihatinannya, tujuh
rekomendasi pun mereka tawarkan bagi penegakan hukum di negeri ini. (1) Kembali
pada komitmen bersama bahwa hukum sebagai panglima; (2) Pemerintah menjamin
penegakan hukum secara lebih mandiri, terlebih pada kasus korupsi dan kasus
yang melibat pejabat negara; (3) Memperbaiki pola rekrutmen calon aparat
penegak hukum agar menghasilkan aparat yang profesional dan berintegritas; (4)
Mewujudkan aparat penegak hukum yang lebih mengedepankan rasa keadilan
masyarakat; (5) Segera mengsahkan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang telah
disempurnakan menjadi undang-undang dengan memperhatikan masukan dari para
pakar yang kompeten; (6) Mensinkronkan fungsi dan wewenang antara Komisi
Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan lembaga pengawas
profesi advokat guna menjamin adanya kerja sama dan koordinasi secara aktif
untuk menghilangkan praktek mafia hukum; dan (7) Merevisi dan melakukan
harmonisasi aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum.
Yenti Ganarsih mengatakan pernyataan
sikap dan rekomendasi yang akan ditandatangani para sesepuh ini akan diserahkan
ke lembaga-lembaga penegak hukum. “Kami akan serahkan pernyataan dan
rekomendasi ini ke Polri, Kejagung, KPK, MA dan Komisi III DPR,” katanya.
Selasa, 07 Februari 2012
Perlindungan hak-hak anak yang bermasalah dengan hukum
By: Alfeus Jebabun & Aura
Perlindungan hak-hak anak yang
terjerat masalah hukum tidak
dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hak anak secara umum. Jaminan
perlindungan hak-hak anak sudah diatur dalam berbagai instrumen internasional
antara lain : Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924, Universal
Declararion of Human Rights of 1948, International Covenant On Civil And Political
Right (Pasal 23 dan 24)(UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
On Civil And Political Right), International Covenant Economic, Social, and
Culture Rights (UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Pasal 10).
Perlindungan khusus terhadap anak
yang bermasalah dengan hukum, secara eksplisit, bisa ditemukan dalam
Declaration of the Rights of the Child of 1959 Convention on the Rights of the
Child tahun 1989 (Konvensi tentang Hak-hak Anak/KHA) yang telah diratifikasi
melalui Kepres No. 36 tahun 1990.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar
sistem peradilan pidana juga berlaku untuk anak dengan penambahan dan
penyesuain. SPPA (sistem peradilan pada anak) juga harus didasarkan pada
beberapa asas dasar peradilan pidana yaitu:
- equality before the law (Pasal 1 KHA);
- due process of law,
- simplicity and expediency,
- accountability,
- legality principle presumption of innocent (Pasal 37 dan 40 KHA).
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan terhadap anak merupakan jalan
lain terakhir (Pasal 3 huruf b). Menurut Haskell & Yablonsky (1974),
penanganan terhadap anak nakal lebih bersifat terapi dari pada penghukuman, dan
cenderung kurang menitikberatkan pada aspek hukumnya, prosedur peradilan
bersifat informal.
Di Indonesia SPPA mengacu pada
ketentuan UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Aturan lain yang tidak dapat
dipisahkan dalam masalah ini adalah UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU
No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan meski UU Pengadilan Anak disahkan
pada tahun 1997, tapi hingga kini, SPP anak belum terwujud. Setidaknya terdapat
dua hal prinsip yang dapat dijadikan indicator belum terwujudnya SPPA. Pertama,
belum adanya polisi, dan hakim yang khusus anak. Kedua, belum adanya tahanan
khusus anak.
Pasal 1 dengan jelas menentukan
adanya polisi, jaksa, dan hakim anak. Dalam Penjelasan umum disebutkan proses
peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan
pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar
memahami masalah anak. Dari ketentuan-ketentuan tersebut maka anak yang masuk
dalam SPPA berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa, dan hakim
khusus anak (dengan pengecualian dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 53 ayat (3)
dengan melibatkan petugas kemasyarakatan. Dalam hal penahanan, seorang anak
hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap
mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu kepentingan anak (Pasal 45 UU No.
3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa.
Permasalahnya adalah hingga saat ini
belum ada tahanan anak. Keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi
aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercampur
dengan orang dewasa. Kebijakan tersebut merupakan pelanggaran mendasar.
Kegagalan manajerial sistem
peradilan pidana seharusnya tidak dibebankan pada anak. Tidak ada alasan
pembenar apapun untuk mengorbankan hak, pertumbuhan dan perkembangan serta masa
depan anak hanya karena keterbatasan biaya.
Kepastian hukum dan kelancaran
persidangan tidak dapat mengalahkan prinsip perlindungan hak tersangka (anak).
Anak harus dibebaskan dari segala ketidak mampuan dan kegagalan menejemen
sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, selama belum ada tahanan untuk anak,
maka alasan penangkapan dan penahanan yang diatur dalam KUHAP (UU N0.8 Tahun
1981) harus dikesampingkan karena alasan yang mengancam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Kepastian hukum dan kelancaran peradilan anak hanya dapat terlaksana
dengan membangun sistem peradilan pidana anak. Oleh kerena itu, MA sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman harus segera merealisasikan sistem peradilan
pidana yang kondusif bagi anak di Indonesia. Pasal 1 dengan jelas menentukan
adanya polisi, jaksa, dan hakim anak. Dalam Penjelasan umum disebutkan proses
peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan
pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar
memahami masalah anak. Dari ketentuan-ketentuan tersebut maka anak yang masuk
dalam SPPA berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa, dan hakim
khusus anak (dengan pengecualian dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 53 ayat (3)
dengan melibatkan petugas kemasyarakatan.
Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu untuk kepentingan anak Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (Pasal 45 UU No. 3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa. Permasalahnya adalah hingga saat ini belum ada tahanan anak. Pemasalahan keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercapur dengan orang dewasa.
Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu untuk kepentingan anak Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (Pasal 45 UU No. 3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa. Permasalahnya adalah hingga saat ini belum ada tahanan anak. Pemasalahan keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercapur dengan orang dewasa.
Kebijakan tersebut merupakan
pelanggaran mendasar. Kegagalan manajerial Sistem peradilan pidana seharusnya
tidak dibebankan pada anak. Tidak ada alasan pembenar apapun untuk mengorbankan
hak, pertumbuhan dan perkembangan serta masa depan anak hanya karena
keterbatasan biaya. Kepastian hukum dan kelancaran persidangan tidak dapat
mengalahkan prinsip perlindungan hak tersangka (anak). Anak harus dibebaskan
dari segala ketidak mampuan dan kegagalan menejemen sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu, selama belum ada tahanan untuk anak, maka alasan penangkapan
dan penahanan yang diatur dalam KUHAP (UU No. 8/1981) harus dikesampingkan
karena alasan yang mengancam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepastian hukum
dan kelancaran peradilan anak hanya dapat terlaksana dengan membangun sistem
peradilan pidana anak. Oleh kerena itu, MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman
harus segera merealisasikan sistem peradilan pidana yang kondusif bagi anak di
Indonesia.
Kamis, 02 Februari 2012
JALAN TERJAL PEMBAHARUAN KUHAP
By: Alfeus Jebabun
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tidak tahu di mana rimbanya. Pemerintah dan DPR hampir setiap tahun memasukan RUU KUHAP di dalam prolegnas. Namun, kenyataannya, KUHAP yang baru belum juga lahir. Pada hal, kehadiran KUHAP baru dalam lalu lintas acara pidana sudah sangat mendesak. Di mana RUU KUHAP itu berada?
Dalam rapat Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP) diketahui bahwa, RUU KUHAP saat ini masih berada dan dibahas di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti sampai dengan saat ini. Permasalahannya masih seputar ketidaksetujuan POLRI terhadap beberapa pasal yang ada dalam RUU tersebut.
Pada 3 Januari 2011 Menteri Hukum dan HAM dan Kepolisian Negara RI mengadakan rapat internal. POLRI memberikan beberapa masukan terkait RKUHAP, antara lain :
1. Dalam RUU KUHAP ini agar tidak dilakukan perubahan tetapi bagaimana mengatur masalah prilaku penegak hukum yang lebih baik.
2. Agar RUU KUHAP bersifat rivisi beberapa pasal saja yang sifatnya menguatkan undang-undang yang lama, sedangkan Prof. Alihamyah menghendaki perubahan total yang didasrkan hasil dari studi bandingnya.
3. Bahwa dalam membuat undang-undang tidak ada keharusan untuk mengatur secara full dengan ratifikasi, dan kenyataannya bahwa konsep hakim komisaris ini mengantikan praperadilan.
4. Bahwa konsep hakim komisaris ini belum dapat menampung aspirasi dari polri dan kami dari Polri menganggap tidak efektif.
5. Dalam perbaikan hukumnya sebenarnya bukan tertuju pada sistemnya akan tetapi lebih baik jika dititikberatkan pada individunya.
6. Apabila hakim komisaris ini diterapkan maka Polri akan keberatan karena bertentangan dengan sistem Polri.
7. Apakah mungkin 2 orang hakim komisaris ini bisa menyelesaikan permasalahan satu kabupaten kota?
8. Penyidik dalam waktu 5 hari harus didampingi oleh kuasa hukum dan penyidik harus menghadap langsung kepada hakim komisaris.
9. Agar dalam konsep RUU ini juga memikirkan bagaiman penyelesainya jika terjadi bola-balik perkara.
10. Diusulkan dalam rumusan penyidikan agar penyidikan berkordinasi sejak dari awal pelaksanaan penyidikan.
11. Diusulkan agar pemberkasan dapat terjadi sekali saja jangan sampai berkali-kali sehingga jaksa tidak dapat main-main dengan suatu kasus.
12. Agar diadakan geler perkara dapat dibuka dan jika terbukti tidak cukup bukti penyidikan dapat dihentikan.
13. Agar masalah saksi bagi penyidik, jaksa dan Hakim dalam mempermainkan perkara untuk dirivisi dan saksinya diperberat.
14. Masalah asas efektifitas dalam penyidikan selama ini sebagian dilakukan oleh penyidik pembantu dan kenyataanya penyidik pembantu ini ada 50% sedangkan dalam RUU ini penyidik pembantu dihilangkan.
15. Untuk PPNS juga masih belum efektif hal ini dikarenakan kurang baiknya SDM yang ada.
Pada 27 Juni 2011, DPR mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan RKUHAP. Hal ini pun terjadi karena ada desakan dari beberapa LSM yang giat dan konsen dengan isu KUHAP. Berikut kesimpulan rapat :
a. Komisi III DPR RI mendesak Menteri Hukum dan HAM segera menyelesaikan penyusunan Draf Revisi RUU KUHP dan Tipikor selambat-lambatnya akhir September 2011 dan Draf Revisi RUU KUHAP pada Desember 2011.
b. Komisi III DPR RI mendesak Menteri Hukum dan HAM sesuai tugas pokok dan fungsinya bersinergi dengan instansi terkait memberikan perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap TKI yang bermasalah di luar negeri.
c. Komisi III DPR RI mendesak Menteri Hukum dan HAM untuk meningkatkan kerjasama internasional yang menguntungkan kepentingan nasional di bidang hukum dan HAM.
d. Komisi III DPR RI mendesak Kementerian Hukum dan HAM untuk meningkatkan pembenahan, pengawasan dan kerjasama dengan penegak hukum dan instansi terkait dalam pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkoba dalam Rutan dan Lapas serta menjaga keselamatan warga binaan di dalamnya
Tahun 2012, DPR kembali memasukan RUU KUHAP ke dalam daftar Prolegnas. Namun, draf rancangan UU dan naskah akademk masih berada di tangan pemerintah. Apakah RKUHAP akan selesai dibahas dibahas tahun ini? Hanya DPR dan pemerintah yang tahu.
Langganan:
Postingan (Atom)