Rabu, 15 Februari 2012

KPK Tolak Beberkan Nama Ahli Kepada Timwas

Tim Pengawas (Timwas) kasus Bank Century kembali menggelar rapat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Rabu (15/2). Dalam kesempatan ini, KPK mengaku telah meminta keterangan dari para ahli dan pakar dalam rangka penyelidikan. Namun, KPK menolak membeberkan siapa saja nama pakar dan ahli tersebut kepada Timwas.

Anggota Timwas Century, Achsanul Qosasi, meminta agar KPK menyerahkan nama-nama saksi dan ahli yang telah dimintai keterangannya dalam upaya penuntasan kasus Century. Mereka diantaranya, 33 saksi dari Bank Indonesia, lima orang ahli perbankan, dan 30 pihak-pihak lainnya. Menurut Achsanul, hal ini penting agar Timwas bisa menilai apakah pakar atau ahli yang memberikan keterangan kepada KPK betul-betul independen. “Kita juga ingin tahu apakah para saksi dan pakar yang diperiksa KPK itu independen, terjaga dalam memberikan kesaksian dan pandangannya,” kata politisi Partai Demokrat ini.

Anggota Timwas dari fraksi PKS Andi Rahmat mengatakan hal yang sama. Dia khawatir pakar dan ahli yang dihadirkan KPK tidak memiliki intregritas tinggi dalam keahliannya dan cenderung melemahkan penegakan hukum. Menurutnya, Timwas pernah mengundang beberapa pakar dan ahli ketika kasus Century ini sedang hangat-hangatnya. Ketika itu, ada pandangan pakar dan ahli yang justru mendukung pandangan pemerintah soal keputusan memberikan dana talangan pada Bank Century untuk menyelamatkan ekononi nasional saat itu. Sebab, dikhawatirkan jika Bank Century itu ditutup memberi dampak sistemik. Namun permintaan itu ditolak KPK.

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas menegaskan, pihaknya tidak akan menyerahkan dan mengumumkan para saksi dan ahli yang telah dimintai keterangan dalam upaya penuntasan kasus Bank Century. Menurutnya, hal itu dapat mengganggu proses penyelidikan yang sedang berjalan. Selain mengganggu proses penyelidikan, mengumbar nama pakar dan ahli kepada Timwas merupakan perbuatan melanggar hukum karena menyangkut sebuah kesaksian seseorang yang diatur dalam UU.

“Jika kami umumkan, kami khawatir dapat mengganggu proses penyelidikan kasus ini dan melanggar hukum,” kata Busyro.

 Ketua KPK Abraham Samad menambahkan, KPK tidak ingin Timwas meragukan integritas dan kinerja dari lembaga ini. Dia malah menawarkan Timwas turut menyerahkan nama-nama pakar atau ahli yang dianggap independen dan profesional untuk kepentingan pendalaman penyelidikan kasus ini oleh KPK.

“Jika pakar dan ahli yang kami mintai pandangannya diragukan DPR, kami minta Timwas ikut mengajukan nama-nama ahli,” ujarnya.

Lepas dari perdebatan itu, Timwas meminta agar KPK menuntaskan penanganan kasus Century pada akhir 2012. Pimpinan rapat yang merupakan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan berharap KPK segera menindaklanjuti sembilan laporan hasil pemeriksaan (LHP) Tahap I dan 13 temuan, serta dua informasi lainnya yang terdapat dalam LHP Tahap II dari BPK. Menurutnya, hal itu sesuai pasal 8 ayat (4) UU 15 Tahun 2006 tentang BPK yang menyatakan bahwa laporan BPK dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Taufik menyetujui usulan Abraham Samad untuk menyampaikan nama-nama pakar dan ahli untuk mendapatkan informasi atau penjelasan yang akurat mengenai kasus Bank Century.

“Timwas Century menyepakati usulan KPK untuk menyampaikan nama-nama ahli dimaksud sesegera mungkin,” katanya.

Namun, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengatakan, bahwa komitmen KPK untuk menyelesaikan penanganan kasus Century oleh KPK hingga pada akhir tahun 2012 ini, dalam konteks penyelesaian penyidikannya.Belum sampai tuntas hingga proses penuntutannya. “Karena kalau sampai proses pemberkasannya hingga pelimpahan ke pengadilan hingga tuntas pada 2012 ini, sepertinya sangat berat,” tandas Bambang. (hukumonline.com)

Kamis, 09 Februari 2012

TURUN GUNUNG SELAMATKAN “WAJAH” HUKUM



By: Alfeus Jebabun

Lonceng kematian penegakan hukum seakan hendak dibunyikan. Hukum tajam ke bawah (kaum marjinal) tumpul ke atas (penguasa), menjadi aba-aba.Terdakwa dalam kasus Sandal Jepit, Kasus Kakao dan lain-lain diperlakukan terbalik dibandingkan dengan perlakuan yang diterima Gayus Tambunan, Artalita Suryani atau (mantan) Gubernur Kutai Kertanegara Syaukani.
Kondisi penegakan hukum itu rupanya membuat gerah para sesepuh dunia hukum. Mereka merasa Penegakan hukum dinilai sedang sakit karena tak bisa memberikan keadilan kepada masyarakat. Lantas, karena tidak tega melihat ‘wajah’ hukum Indonesia seperti itu, para pendekar itu pun menyampaikan rasa keprihatinannya.
“Pernyataan keprihatinan atas sakitnya penegakan hukum di Indonesia,” ujar mereka yang tergabung dalam Kelompok Lintas Hukum untuk Perubahan di Jakarta, Selasa (7/2). Para pendekar itu adalah Adi Andojo (mantan Hakim Agung), Benyamin Mangkudilaga (mantan Hakim Agung), Bismar Siregar (mantan Hakim Agung), Chaerul Umam (mantan jaksa), Bambang Widodo Umar (mantan polisi), Frans Hendra Winata (advokat), dan Humphrey Djemat (advokat). Turut mendampingi para senior, hadir pula Jhonson Pandjaitan (advokat) dan Yenti Ganarsih (akademisi Fakultas Hukum Universitas Trisakti). Acara ini digelar di Rumah Sakit Jakarta sebagai bentuk simbolik sakitnya hukum di Indonesia.
Dalam rasa keprihatinannya, tujuh rekomendasi pun mereka tawarkan bagi penegakan hukum di negeri ini. (1) Kembali pada komitmen bersama bahwa hukum sebagai panglima; (2) Pemerintah menjamin penegakan hukum secara lebih mandiri, terlebih pada kasus korupsi dan kasus yang melibat pejabat negara; (3) Memperbaiki pola rekrutmen calon aparat penegak hukum agar menghasilkan aparat yang profesional dan berintegritas; (4) Mewujudkan aparat penegak hukum yang lebih mengedepankan rasa keadilan masyarakat; (5) Segera mengsahkan RUU KUHAP dan RUU KUHP yang telah disempurnakan menjadi undang-undang dengan memperhatikan masukan dari para pakar yang kompeten; (6) Mensinkronkan fungsi dan wewenang antara Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Komisi Yudisial dan lembaga pengawas profesi advokat guna menjamin adanya kerja sama dan koordinasi secara aktif untuk menghilangkan praktek mafia hukum; dan (7) Merevisi dan melakukan harmonisasi aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum.
Yenti Ganarsih mengatakan pernyataan sikap dan rekomendasi yang akan ditandatangani para sesepuh ini akan diserahkan ke lembaga-lembaga penegak hukum. “Kami akan serahkan pernyataan dan rekomendasi ini ke Polri, Kejagung, KPK, MA dan Komisi III DPR,” katanya. 

Selasa, 07 Februari 2012

Perlindungan hak-hak anak yang bermasalah dengan hukum

By: Alfeus Jebabun & Aura

Perlindungan hak-hak anak yang terjerat masalah hukum  tidak dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hak anak secara umum. Jaminan perlindungan hak-hak anak sudah diatur dalam berbagai instrumen internasional antara lain : Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924, Universal Declararion of Human Rights of 1948, International Covenant On Civil And Political Right (Pasal 23 dan 24)(UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Right), International Covenant Economic, Social, and Culture Rights (UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Pasal 10).
Perlindungan khusus terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, secara eksplisit, bisa ditemukan dalam Declaration of the Rights of the Child of 1959 Convention on the Rights of the Child tahun 1989 (Konvensi tentang Hak-hak Anak/KHA) yang telah diratifikasi melalui Kepres No. 36 tahun 1990.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar sistem peradilan pidana juga berlaku untuk anak dengan penambahan dan penyesuain. SPPA (sistem peradilan pada anak) juga harus didasarkan pada beberapa asas dasar peradilan pidana yaitu:
  1. equality before the law (Pasal 1 KHA);
  2. due process of law, 
  3.   simplicity and expediency, 
  4.   accountability, 
  5.    legality principle presumption of innocent (Pasal 37 dan 40 KHA).
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan terhadap anak merupakan jalan lain terakhir (Pasal 3 huruf b). Menurut Haskell & Yablonsky (1974), penanganan terhadap anak nakal lebih bersifat terapi dari pada penghukuman, dan cenderung kurang menitikberatkan pada aspek hukumnya, prosedur peradilan bersifat informal.
Di Indonesia SPPA mengacu pada ketentuan UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Aturan lain yang tidak dapat dipisahkan dalam masalah ini adalah UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan meski UU Pengadilan Anak disahkan pada tahun 1997, tapi hingga kini, SPP anak belum terwujud. Setidaknya terdapat dua hal prinsip yang dapat dijadikan indicator belum terwujudnya SPPA. Pertama, belum adanya polisi, dan hakim yang khusus anak. Kedua, belum adanya tahanan khusus anak.
Pasal 1 dengan jelas menentukan adanya polisi, jaksa, dan hakim anak. Dalam Penjelasan umum disebutkan proses peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. Dari ketentuan-ketentuan tersebut maka anak yang masuk dalam SPPA berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa, dan hakim khusus anak (dengan pengecualian dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 53 ayat (3) dengan melibatkan petugas kemasyarakatan. Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu kepentingan anak (Pasal 45 UU No. 3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa.
Permasalahnya adalah hingga saat ini belum ada tahanan anak. Keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercampur dengan orang dewasa. Kebijakan tersebut merupakan pelanggaran mendasar.
Kegagalan manajerial sistem peradilan pidana seharusnya tidak dibebankan pada anak. Tidak ada alasan pembenar apapun untuk mengorbankan hak, pertumbuhan dan perkembangan serta masa depan anak hanya karena keterbatasan biaya.
Kepastian hukum dan kelancaran persidangan tidak dapat mengalahkan prinsip perlindungan hak tersangka (anak). Anak harus dibebaskan dari segala ketidak mampuan dan kegagalan menejemen sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, selama belum ada tahanan untuk anak, maka alasan penangkapan dan penahanan yang diatur dalam KUHAP (UU N0.8 Tahun 1981) harus dikesampingkan karena alasan yang mengancam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepastian hukum dan kelancaran peradilan anak hanya dapat terlaksana dengan membangun sistem peradilan pidana anak. Oleh kerena itu, MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman harus segera merealisasikan sistem peradilan pidana yang kondusif bagi anak di Indonesia. Pasal 1 dengan jelas menentukan adanya polisi, jaksa, dan hakim anak. Dalam Penjelasan umum disebutkan proses peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar memahami masalah anak. Dari ketentuan-ketentuan tersebut maka anak yang masuk dalam SPPA berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa, dan hakim khusus anak (dengan pengecualian dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 53 ayat (3) dengan melibatkan petugas kemasyarakatan.

Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu untuk kepentingan anak Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (Pasal 45 UU No. 3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa. Permasalahnya adalah hingga saat ini belum ada tahanan anak. Pemasalahan keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercapur dengan orang dewasa.
Kebijakan tersebut merupakan pelanggaran mendasar. Kegagalan manajerial Sistem peradilan pidana seharusnya tidak dibebankan pada anak. Tidak ada alasan pembenar apapun untuk mengorbankan hak, pertumbuhan dan perkembangan serta masa depan anak hanya karena keterbatasan biaya. Kepastian hukum dan kelancaran persidangan tidak dapat mengalahkan prinsip perlindungan hak tersangka (anak). Anak harus dibebaskan dari segala ketidak mampuan dan kegagalan menejemen sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, selama belum ada tahanan untuk anak, maka alasan penangkapan dan penahanan yang diatur dalam KUHAP (UU No. 8/1981) harus dikesampingkan karena alasan yang mengancam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepastian hukum dan kelancaran peradilan anak hanya dapat terlaksana dengan membangun sistem peradilan pidana anak. Oleh kerena itu, MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman harus segera merealisasikan sistem peradilan pidana yang kondusif bagi anak di Indonesia.

Kamis, 02 Februari 2012

JALAN TERJAL PEMBAHARUAN KUHAP

By: Alfeus Jebabun

Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) tidak tahu di mana rimbanya. Pemerintah dan DPR  hampir setiap tahun memasukan RUU KUHAP di dalam prolegnas. Namun, kenyataannya, KUHAP yang baru belum juga lahir. Pada hal, kehadiran KUHAP baru dalam lalu lintas acara pidana sudah sangat mendesak. Di mana RUU KUHAP itu berada?

Dalam rapat Komite untuk Pembaharuan Hukum Acara Pidana (KuHAP) diketahui bahwa, RUU KUHAP saat ini masih berada dan dibahas di Kementerian Hukum dan HAM. Namun, tidak ada perkembangan yang berarti sampai dengan saat ini. Permasalahannya masih seputar ketidaksetujuan POLRI terhadap beberapa pasal yang ada dalam RUU tersebut.
Pada 3 Januari 2011 Menteri Hukum dan HAM dan Kepolisian Negara RI mengadakan rapat internal. POLRI memberikan beberapa masukan terkait RKUHAP, antara lain :
1.     Dalam RUU KUHAP ini agar tidak dilakukan perubahan tetapi bagaimana  mengatur masalah prilaku penegak hukum yang lebih baik.
2.     Agar RUU KUHAP bersifat rivisi beberapa pasal saja yang sifatnya menguatkan undang-undang yang lama, sedangkan Prof. Alihamyah menghendaki perubahan total yang didasrkan hasil dari studi bandingnya.
3.     Bahwa dalam membuat undang-undang tidak ada keharusan untuk  mengatur secara full dengan ratifikasi, dan kenyataannya bahwa  konsep hakim komisaris ini mengantikan praperadilan.
4.     Bahwa konsep hakim komisaris ini belum dapat menampung aspirasi dari polri dan kami dari Polri menganggap tidak efektif.
5.      Dalam perbaikan hukumnya sebenarnya bukan tertuju pada sistemnya akan tetapi lebih baik jika dititikberatkan pada individunya.
6.     Apabila hakim komisaris ini diterapkan maka Polri akan keberatan karena bertentangan dengan sistem Polri.
7.      Apakah mungkin 2 orang hakim komisaris ini bisa menyelesaikan permasalahan satu kabupaten kota?
8.     Penyidik dalam waktu 5 hari harus didampingi oleh kuasa hukum dan penyidik harus menghadap langsung  kepada hakim komisaris.
9.     Agar dalam konsep RUU ini juga memikirkan bagaiman penyelesainya jika terjadi bola-balik perkara.
10.  Diusulkan dalam rumusan penyidikan agar penyidikan berkordinasi sejak dari awal pelaksanaan penyidikan.
11.  Diusulkan agar pemberkasan dapat terjadi sekali saja jangan sampai berkali-kali sehingga jaksa tidak dapat main-main dengan suatu kasus.
12.  Agar diadakan geler perkara dapat dibuka dan jika terbukti tidak cukup bukti  penyidikan dapat dihentikan.
13.  Agar masalah saksi bagi penyidik, jaksa dan Hakim dalam mempermainkan perkara untuk  dirivisi dan saksinya diperberat.
14.  Masalah asas efektifitas dalam penyidikan selama ini sebagian dilakukan oleh penyidik pembantu dan kenyataanya penyidik pembantu ini ada  50%  sedangkan dalam RUU ini penyidik pembantu dihilangkan.
15.  Untuk PPNS juga masih belum efektif hal ini dikarenakan kurang baiknya SDM yang ada.

Pada 27 Juni 2011, DPR mendesak Pemerintah untuk menyelesaikan RKUHAP. Hal ini pun terjadi karena ada desakan dari beberapa LSM yang giat dan konsen dengan isu KUHAP. Berikut kesimpulan rapat :
a.      Komisi III DPR RI mendesak Menteri Hukum dan HAM segera menyelesaikan penyusunan    Draf Revisi RUU KUHP dan Tipikor selambat-lambatnya akhir September 2011 dan Draf Revisi RUU KUHAP pada Desember 2011.
b.     Komisi III DPR RI mendesak Menteri Hukum dan HAM sesuai tugas pokok dan fungsinya bersinergi dengan instansi terkait memberikan perlindungan hukum dan Hak Asasi Manusia terhadap TKI yang bermasalah di luar negeri.
c.      Komisi III DPR RI mendesak Menteri Hukum dan HAM untuk meningkatkan kerjasama internasional yang menguntungkan kepentingan nasional di bidang hukum dan HAM.
d.     Komisi III DPR RI mendesak Kementerian Hukum dan HAM untuk meningkatkan pembenahan, pengawasan dan kerjasama dengan penegak hukum dan instansi terkait dalam pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkoba dalam Rutan dan Lapas serta menjaga keselamatan warga binaan di dalamnya

Tahun 2012, DPR kembali memasukan RUU KUHAP ke dalam daftar Prolegnas. Namun, draf rancangan UU dan naskah akademk masih berada di tangan pemerintah. Apakah RKUHAP akan selesai dibahas dibahas tahun ini? Hanya DPR dan pemerintah yang tahu.