Senin, 14 Mei 2012

TARIK ULUR PENGGUNAAN UU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM KASUS KORUPSI


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) masih ragu menerapkan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian uang. Pada hal sudah ada contoh kasus yang bisa dijadikan referensi dan pendorong semangat KPK dalam menerapkan UU tersebut. Kasus Adriawan Woworuntu, dkk yang mebobol Bank BNI sebesar 1,3 triliun pada tahun 2003 dan 2004, Dicky iskandar Dinata, Adelin Lis, kasus dana pensiun, dan Bank Mandiri cabang Rawamangun, Agus Rahardjo, Melinda Dee dan Andika, Askrindo, adalah beberapa contoh referensi tersebut.

Penggunaan undang-undang tindak pidana pencucian uang (UUTPPU) dalam kasus korupsi memang dilematis, dan sangat sulit dalam pembuktian. Pengamat politik dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (UGM), Oce Madril, mengatakan ada dua kemungkinan mengapa KPK tak kunjung menggunakan TPPU pada kasus Wisma Atlet tersebut. Pertama, kalau bicara penegakan hukum, tergantung alat bukti, apakah alat buktinya ada atau tidak, dan kedua, soal komitmen.

Dalam diskusi pada 10 Mei kemarin, Pengajar Hukum Universitas Trisakti, Yenti Garnasih,  mengatakan bahwa pembuktian korupsi dan pencucian uang memang agak rumit. Namun, bukan berarti KPK tidak bisa menggunakan UU TPPU dalam menjerat koruptor. KPK bisa mempelajari pengalaman negara lain ataupun dari penegak hukum lain yang telah melakukan penyidikan terlebih dahulu.

Menurut Yenti Garnasih, agar bisa menjerat koruptor dengan UUTPPU, maka KPK harus fokus pada pelacakan bentuk transaksi atau pun bisnis yang mencurigakan, yang dilakukan tersangka. Seseorang yang telah korupsi akan memanfaatkan hasil korupsinya dengan cara apapun. Maka, ide “menggunakan uang hasil korupsi” dapat menginspirasi munculnya suatu pemikiran untuk menangkap seseorang yang telah melakukan kejahatan keuangan, tetapi sulit mencari bukti.

Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan yang bersifat mengikuti (follow up crimes), dimana predicate offence atau core crimesnya adalah berbagai kejahatan yang menghasilkan uang. Dari dimensi perbuatan, tidak mungkin ada pencucian uang tanpa ada predicate offence. Sedangkan dari dimensi pelaku, koruptor yang memanfaatkan uang hasil korupsi dan penerima atau orang lain yang membantu mentransfer meskipun tidak terlibat korupsi bisa dikategori sebagai pelaku pencucian uang.

Oleh karena itu, menurut Yenti, tidak ada alasan bagi KPK ragu menerapkan UU TPPU dalam menjerat koruptor. Anti pencucian uang, bukan saja sebagai bentuk terciptanya suatu kriminalisasi baru atau membentuk kejahatan baru, tetapi juga sebagai strategi baru untuk mengungkap kejahatan bukan dari hulu melainkan dari hilir.(AJ)

Catatan Terhadap Draft Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung


(disusun berdasarkan draft RUU Mahkamah Agung  versi Badan Legislasi
Dewan Perwakilan Rakyat, 11 April 2012)

 
Menanggapi Draft Rancangan Undang-Undang Mahkamah yang disusun atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) sebagai lembaga yang fokus dan terlibat aktif dalam kegiatan pembaruan peradilan mencatat sejumlah hal yang perlu dikritisi secara cermat dari draft tersebut, yaitu:

1.        Pengawasan DPR Terhadap Mahkamah Agung (MA)

Pasal 94 ayat (1) dan (2): “DPR RI melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Pengawasan terhadap lembaga peradilan sebagai pelaksana kekuasan kehakiman adalah hal yang amat sensitif dan menjadi pertarungan ketegangan antara prinsip independensi peradilan dengan prinsip akuntabilitas.[1]. Prinsip independensi peradilan berfungsi untuk memastikan peradilan terbebas dari tekanan berbagai pihak dengan cara apa pun dan menjadi prasyarat sekaligus jaminan terhadap jalannya peradilan yang adil.[2]

Dalam konteks Indonesia, Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meski demikian, prinsip independensi tidak menempatkan pengadilan dan hakim dalam posisi kebal hukum, melainkan ditempatkan dalam konteks akuntabilitas.[3] Hakim terikat pada tanggung jawab kepada hukum, negara, serta masyarakat, dan jika ia diduga melakukan pelanggaran perilaku, maka terhadapnya berlaku ketentuan disiplin.

Pengawasan terhadap lembaga peradilan di Indonesia dilakukan oleh MA, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) s/d ayat (3) UU 48 Tahun 2009. MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap: (a) penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah MA; (b) pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan; dan (c) mengawasi internal tingkah laku hakim. Sejalan dengan prinsip independensi, pengawasan yang dilakukan MA tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 39 ayat [4] UU Nomor 48 Tahun 2009).

DPR sebagai wakil rakyat memang memiliki fungsi pengawasan, yaitu pengawasan terhadap lembaga eksekutif.  Dalam artian, kalaupun DPR ingin  melaksanakan pengawasan terhadap lembaga peradilan (yudikatif), maka sejalan dengan prinsip independensi dan akuntabilitas di atas, maka pengawasan yang dilakukan DPR terhadap lembaga peradilan adalah pengawasan hanya terhadap fungsi non yudisial (seperti administrasi kepegawaian, keuangan, dst).

Konsep pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 adalah konsep yang sangat salah kaprah. Konsep tersebut telah menyentuh aspek fungsi yudisial karena memberi kewenangan bagi DPR untuk mengawasi apakah suatu putusan Mahkamah Agung telah melanggar undang-undang atau tidak. Konsep ini telah mengancam independensi peradilan dengan membuka peluang yang sangat besar terjadinya intervensi (partai) politik terhadap Mahkamah Agung dalam mengatur perkara.

2.        Subtansi Putusan MA

Pasal 97: “MA dalam tingkat kasasi dilarang: (a) membuat putusan yang melanggar Undang-Undang; (b) membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan dan huru hara; (c) dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan; (d) dilarang mengubah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.

Selain mencampur adukan antara dua hal yang subtansinya berbeda, yaitu putusan kasasi -sebagaimana kalimat awal dalam pasal- dengan Surat Keputusan Bersama, pasal ini mensiratkan bahwa DPR berwenang untuk mengatur isi putusan (kasasi) MA dan putusan tersebut harus sesuai dengan kehendak mayoritas. Meski pasal tersebut memang tidak secara langsung mengatur bahwa MA harus menuruti kehendak mayoritas, namun jika dikontekstualkan dengan praktik, bagaimana para hakim agung dapat memprediksi apakah putusan yang akan dibuatnya akan menimbulkan keonaran, kerusuhan atau huru-hara atau tidak?. [4] Padahal, tugas memastikan bahwa jika seseorang dinyatakan tidak bersalah tidak akan terjadi kerusuhan akibat masyarakat menolak putusan tersebut bukanlah tugas pengadilan, melainkan tugas pemerintah untuk menjaga keamanan dan ketertiban.

Perlu  digarisbawahi bahwa, hakim atas nama pengadilan berperan penting dalam menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip hukum yang terkadang tidak selalu merupakan putusan yang popular atau sejalan dengan dukungan pihak-pihak tertentu atau bahkan masyarakat umum. Dalam kondisi pengadilan harus mengalahkan kepentingan mayoritas dalam kasus-kasus individual prinsip independensi sangat penting untuk diterapkan. Karenanya, apa yang diatur dalam Pasal 97 ini tidak hanya melanggar indepensi peradilan, namun juga mengangkangi prinsip negara berdasarkan hukum, yaitu dengan menempatkan supremasi politik diatas supremasi hukum dan menempatkan supremasi hukum dibawah kehendak mayoritas.

3.        Pembatasan Perkara Kasasi

Pembatasan perkara kasasi merupakan langkah progresif untuk mengurangi arus beban perkara yang berlebihan ke MA hingga menyebabkan merosotnya ruang gerak MA untuk memeriksa kasus-kasus penting dan relevan dengan fungsi menjaga kesatuan penerapan hukum selama ini.[5]

Terkait dengan pemilihan perkara-perkara yang dikecualikan/tidak dapat diajukan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat (2) beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah sebagai berikut:

(1)   Terhadap perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun: perlu dikaji ulang apakah batasan 3 tahun sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan manusiawi untuk diterapkan. Pemenjaraan pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan oleh sebab itu penerapannya harus dilakukan secara cermat dan sangat hati-hati.  Batasan penerapan tersebut antara lain dilakukan dengan dengan membuka kesempatan upaya hukum ke pengadilan secara berjenjang (tidak hanya sampai dengan banding). 

(2)   Terhadap perkara perdata: apakah pembatasan tersebut berlaku untuk semua jenis perkara perdata, atau hanya berlaku terhadap jenis perkara perdata tertentu?. Selanjutnya, bagaimana cara menghitung besaran nilai objek gugatan materil tersebut diimplementasikan.[6] Apakah nilai objek tersebut dihitung berdasarkan nilai awal (harga asli) objek gugatan tersebut?, atau dihitung berdasarkan kenaikan/penyusutan nilai ekonomis dari objek gugatan tersebut?. Jika dihitung berdasarkan kenaikan/penyusutan nilai ekonomis, maka penghitungan mana yang akan dipakai? apakah penghitungan berdasarkan kenaikan/penyusutan nilai ekonomis pada saat tergugat melakukan wanprestasi (dalam hal wanprestasi misalnya) atau penghitungan berdasarkan kenaikan/penyusutan nilai ekonomis pada saat gugatan diajukan ke pengadilan?.

(3)   Terhadap putusan bebas pada pengadilan tingkat pertama: bagaimana menjembatani kondisi yang berlawanan antara peraturan perundang-undangan (larangan pembatasan kasasi putusan bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 67 dan 224 KUHAP) dengan (a) praktik (banyaknya putusan yang langsung dapat dikasasi atas dasar yurisprudensi[7]  dan; (b) dugaan cukup banyaknya putusan bebas di Pengadilan Negeri yang mengandung kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak.[8] Terobosan yang dapat ditempuh  bisa dengan mengefektifkan upaya hukum yang telah telah ada dalam peraturan perundang-undangan namun jarang dipakai (misalnya Kasasi Demi Kepentingan Hukum, Pasal 244 KUHAP).

Selain dari perkara-perkara yang telah disebutkan dalam Pasal 56 ayat (2), perlu dipertimbangkan  kembali perkara lain yang sebetulnya dapat dibatasi, namun belum termasuk dalam Pasal 56 ayat (2), misalnya  perkara kasasi yang tidak memenuhi syarat formal; atau perkara-perkara yang selama ini upaya hukumnya langsung kasasi tanpa banding (misalnya perkara sengketa hubungan industrial), sehingga membuat beban perkara di MA semakin bertambah. [9]

4.        Pembagian Kamar Perkara

Kamar tata negara dan kamar pajak merupakan kamar kamar baru yang diusulkan dalam Draft RUU ini yang. Sedangkan 5 (lima) kamar lainnya, yaitu kamar pidana, kamar perdata, kamar tata usaha negara, kamar tata negara, kamar agama, kamar militer dan kamar pajak telah diterapkan dalam sistem kamar[10] yang berjalan di MA saat ini.

Pasal 25 ayat (4): “Kamar tata negara memeriksa dan memutus permohonan: (a) pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan (b) pengujian pendapat DPRD bahwa gubernur/wakil gubernur atau bupati/wakil bupati atau walikota/wakil walikota telah melanggar sumpah/janji dan/atau tidak melaksanakan kewajiban.Kedua macam permohonan pengujian tersebut saat ini masuk diperiksa dalam kamar tata usaha negara.

Merujuk pada kecenderungan beban perkara dari tahun 2008 hingga 2011, beban perkara tata usaha negara rata-rata hanya 10% per tahun dari total keseluruhan beban perkara di MA.[11] Jumlah perkara permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang menurut Laporan Mahkamah Agung pada tahun 2010 adalah 61 perkara dan 50 perkara pada tahun 2011. Sedangkan jumlah rata-rata permohonan pengujian pendapat DPRD terhadap kepala daerah yang melanggar sumpah/janji dan/atau tidak melaksanakan kewajiban per tahunnya tidak pernah lebih dari 10 (sepuluh) permohonan. Beban tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan beban perkara pada kamar-kamar lainnya.

Dengan mempertimbangkan beban perkara yang akan masuk pada kamar yang baru dibentuk nantinya (dalam hal ini kamar tata negara), maka apakah patut dipertimbangkan beban perkara yang akan diemban oleh kamar tersebut nantinya untuk mencegah kesenjangan beban tugas yang amat jauh antara hakim tata negara (jika dibuat menjadi kamar tersendiri) dengan hakim-hakim pada kamar lainnya. Jika beban perkara pada kamar tersebut sedikit, maka dapat dipertimbangkan untuk menggabungkan kamar tersebut dengan kamar lainnya yang memiliki faktor korelasi subtansi hukum yang sama/serupa dengan kamar tersebut, agar sistem kamar dapat berjalan efektif.

5.        Sekretariat Mahkamah Agung

Berlakunya sistem satu atap sejak Agustus 2004 berimplikasi pada status MA yang tidak lagi hanya menjalankan peran sebagai lembaga peradilan, melainkan juga sebagai kementrian/lembaga.[12]   Status  ini lahir mengingat sistem satu atap telah mengalihkan kewenangan organisasi, administrasi, dan keuangan yang selama ini dimiliki departemen teknis kepada MA. Kondisi ini selayaknya diantisipasi dengan perubahan struktur organisasi yang baru di MA, menyesuaikan dengan tugas, fungsi dan kewenangan yang dimilikinya saat ini/pasca satu atap.

Meski hingga saat ini penyesuaian struktur organisasi untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi yang baru pasca penyatuan atap masih terus dilakukan, namun penyesuaian tersebut masih belum sempurna. Dalam hal pengelolaan organisasi dan administrasi badan-badan peradilan misalnya, terjadi penumpukan tugas di Sekretariat MA sebagai satuan kerja yang melaksanakan dua tugas dan fungsi pokok, yaitu: (1) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan MA; (2) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan. Meski sejatinya tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan dilakukan oleh masing-masing badan peradilan. Namun badan-badan peradilan ini tetap berinduk pada Sekretariat MA, dan menyebabkan penumpukan tugas, fungsi dan kewenangan yang amat besar pada Sekretariat MA.

Perlu dipertimbangkan pembagian tugas dan fungsi yang diemban Sekretariat MA saat ini kepada satuan kerja lainnya (kepada masing-masing badan peradilan misalnya)[13] agar lebih efektif, di mana satuan kerja ini nantinya juga akan setingkat dengan Sekretariat MA dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan MA. Dengan demikian, Sekretariat MA dapat lebih fokus menjalankan tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan di MA. 

6.        Batasan Usia Minimal Hakim Agung

Pasal 12 ayat (1) huruf a angka 4: “Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon hakim agung harus memenuhi syarat berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh lima) tahun.”

Merujuk pada usia pensiun hakim agung yang diatur dalam Pasal 17 Draft RUU, maka jika seorang calon hakim agung ditetapkan menjadi hakim agung pada usia 45 (empat puluh lima) tahun, maka ia akan berkarir sebagai hakim agung selama 25 (dua puluh lima) tahun hingga masa pensiunnya di usia 70 (tujuh puluh) tahun.

Persyaratan usia minimal hakim agung perlu dikaji ulang harus (dalam hal ini dinaikkan) untuk mengantisipasi terlalu panjangnya periode jabatan hakim agung yang harus dijalani seorang hakim agung yang direkrut pada usia 45 (empat puluh lima) tahun. Hal ini mengingat hakim agung adalah pejabat negara dan lazimnya periode jabatan pejabat negara tidak ada yang lebih dari 10 (sepuluh) tahun. 

7.        Hukum Acara Hak Uji Materiil

Pasal 90 ayat (8): “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.” Pengujian ini dikenal dengan istilah hak uji materiil.

Sesuai dengan maksud dibentuknya pranata hukum hak uji materiil ini, maka hak uji materiil dimaksudkan untuk menguji apakah materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan atau tidak terhadap perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, materi muatan peraturan yang terkait dengan uji materiil ini, termasuk mengenai tata caranya (hukum acara), merupakan materi muatan Undang-Undang, dan karenanya tidak tepat jika diatur dalam bentuk Perma.

Selama ini tata cara uji materiil diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Hal ini terjadi  disebabkan karena adanya kekosongan hukum terkait dengan tata cara pengajuan uji materiil.

Sebelum tahun 2011, tata cara uji materiil diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil. Namun, selama kurang lebih 7 (tujuh) tahun, apa yang diatur oleh Perma tersebut bertentangan dengan Undang-Undang, karena menentukan jangka waktu pengajuan uji materiil.[14] Ketentuan jangka waktu tersebut baru dihapus pada tahun 2011, yaitu dengan lahirnya Perma Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.[15]

Untuk menghindari terjadinya kesalahan yang sama sebagaimana disebutkan di atas, sesuai dengan materi muatannya, maka hukum acara hak uji materiil harus diatur dalam Undang-Undang. Selanjutnya, untuk menghindari kekosongan hukum, maka Undang-Undang tersebut harus dibuat sesegera mungkin.

8.        Jabatan Panitera Muda Perkara dan Tugas Panitera Muda Kamar  dan Panitera Pengganti

Implementasi sistem kamar di MA telah menyebabkan terjadinya penggemukan sumber daya manusia dalam tingkat dan dengan tugas dan fungsi yang sama di Kepaniteraan MA, yaitu Panitera Muda Kamar dan Panitera Muda Kamar. Seiring dengan pembelakuan sistem kamar secara utuh pada April 2014, maka perlu ditegaskan jabatan/nomenklatur yang akan dipertahankan ke depannya, apakah Panitera Muda Perkara atau Panitera Muda Kamar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan 27.


Jakarta, 23 April 2012
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan
Contact person: Arsil (arsil@leip.or.id/081310624634) atau Syarifah (nur.syarifah@leip.or.id/08161899179)





[1] Dian Rosita, “Menghakimi Para Hakim,” http://leip.or.id/artikel/195-menghakimi-para-hakim.html.
[2] Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002
[3] Prinsip akuntablitas dapat membawa kebaikan bagi masyarakat dan lembaga peradilan, namun jika digunakan secara sembrono, prinsip ini dapat melukai prinsip independensi (Miftahul Huda, “Judicial Accountability,” http://www.miftakhulhuda.com/2010/11/judicial-liability.html). Mengingat pentingnya kedua prinsip ini bagi tegaknya legitimasi atas kekuasaan kehakiman, maka kedua prinsip ini harus diperlakukan secara proporsional dan penuh penghargaan (Dian Rosita, op.cit.,)

[4] Dalam kondisi demikian pada akhirnya yang menjadi ukuran hanya ada atau tidaknya tekanan publik (mayoritas) yang menuntut agar isi putusan sesuai dengan kehendaknya, dan memang seperti itulah yang terjadi, sebagaimana dalam kasus GKI Yasmin, Cikeusik, dst (Arsil, “Pelecehan Kekuasaan Kehakiman (Lagi),” http://krupukulit.wordpress.com/2012/04/17/1067).
[5] Tingginya beban perkara menjadikan MA menjadi lebih berorientasi pada penuntasan tunggakan perkara dan menyebabkan menurunnya kualitas putusan. Inkonsistensi putusan tidak hanya terjadi di pengadilan tingkat bawah, bahkan MA sendiri kerap mengeluarkan putusan yang saling bertentangan untuk permasalahan yang serupa. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa mayoritas perkara yang masuk ke pengadilan tingkat banding hampir pasti dimintakan upaya hukum ke MA. Adanya pembatasan perkara secara tidak langsung dapat memperbaiki kualitas dan konsistensi putusan, serta mengefektifkan Pengadilan Tinggi. Lihat lebih lanjut dalam Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, “Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas,” Desember 2010 dan Dian Rosita, “Perlukah Pembatasan Perkara,” http://leip.or.id/artikel/100-pentingkah-pembatasan-perkara.html.
         [6] Pasal 56 ayat (2) menyebutkan bahwa patokan nilai objek gugatan materil yang dapat diajukan kasasi adalah kurang dari Rp200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah).
[7] Berdasarkan yurisprudensi tetap MA, putusan yang tidak dapat dikasasi adalah putusan “bebas murni,” sedangkan untuk putusan yang bersifat “bebas tidak murni” tetap dapat diajukan kasasi . Untuk mengetahui apakah suatu putusan tersebut “bebas murni” atau “bebas tidak murni” hanya dapat diketahui ketika putusan tersebut diajukan ke MA. Akibatnya, praktis pembatasan kasasi yang diatur dalam Pasal 67 dan 224 KUHAP tidak efektif dan membuat jumlah perkara yang masuk ke MA semakin membanjir.
[8] Op.cit., Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas, hal.46.
         [9] Pertimbangan yang terakhir juga dimaksudkan untuk mengefektifkan Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding.
[10] Sistem kamar adalah sistem pengelompokan para hakim agung berdasarkan keahlian di bidang hukum yang sama dimana para hakim agung tersebut hanya  akan mengadili perkara yang sesuai dengan bidang keahliannya.
[11] Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011. Secara berturut-turut kecenderungan beban perkara per tahun dari mulai yang tertinggi dan terendah adalah: (1) perkara perdata; (2) perkara pidana khusus; (3) perkara pidana; (4) perkara tata usaha negara; (5) perkara perdata khusus; (6) perkara agama; dan (7) perkara militer.
[12] Sistem satu atap resmi berlaku pada bulan Agustus 2004 melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sebelumnya, sistem dua atap berlaku dengan adanya Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, di mana pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan peradilan (peradilan umum, peradilan tata usaha negara, peradilan agama dan peradilan militer) menjadi wewenang departemen teknis.
[13] Dengan pertimbangan bahwa masing-masing badan peradilan ini lebih mengetahui kondisi dan kebutuhan organisasi, administrasi dan keuangan di lingkungannya  masing-masing sejak dari pengadilan tingkat pertama. 
[14] Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil: Permohonan keberatan diajukan dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan.
[15] Perma ini mencabut Perma Nomor 1 Tahun 2004.

Kamis, 10 Mei 2012

KUALITAS APBN BURUK


Kualitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun terakhir sangat buruk. Belanja pegawai dan belanja barang sangat besar dan selalu mengalami kenaikan tiap tahun anggaran sedangkan belanja publik sangat rendah dan cenderung statis.

Sebelum tahun 1997, porsi belanja pembangunan dan belanja rutin pemerintah pusat cenderung seimbang. Hal ini berbeda dengan setelah tahun 1997, porsi APBN justru lebih besar belanja rutin, sehingga porsi belanja pembangunan jauh lebih sedikit. Selain itu, anggaran untuk pendidikan, kesehatan, layanan sosial, dan layanan ekonomi hanya 3,9% dari GDP untuk tahun 2010. Nilai tersebut jauh dibawah hasil survei UNPAN untuk negara-negara berkembang lainnya sebesar 14,5% dan alokasi pada negara yang sudah maju yaitu 15,1%. Komposisi APBN yang belum optimal tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun dan belum terlihat perubahan yang signifikan.

Dalam peluncuran hasil penelitiannya, peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Tedy J. Sitepu, mengatakan bahwa ada beberapa permasalahan yang  menyebabkan APBN Indonesia buruk. Permasalahan yang paling krusial menurut Sitepu, yaitu substansi, sedangkan secara formal hampir tidak ada pelanggaran.

“Para narasumber kami mengatakan bahwa proses pembahasan dan pengesahan anggaran di DPR telah memenuhi ketentuan kerangka hukum yang mengaturnya. Sehingga, dalam hal formalitas, para narasumber umumnya menyatakan tidak ada pelanggaran atau penyimpangan pada proses pembahasan hingga pengesahan APBN”.

Namun demikian,lanjut Sitepu, ditemukan berbagai permasalahan pada proses pembahasan dan pengesahan APBN di DPR baik pada tahap input, proses, dan outputnya. Kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran program/kegiatan dari pemerintah yang belum memadai, terjadinya praktik pemasukan agenda non-prioritas atau agenda non-aspirasi oleh oknum tertentu, kesulitan sebagian anggota DPR mendalami dokumen yang diajukan pemerintah, adanya perubahan-perubahan keputusan sebagai akhibat kesepakatan yang terjadi di luar forum resmi, tidak adanya instrumen manajemen yang mendukung proses pembahasan, sulitnya membandingkan hasil akhir pembahasan dengan proses perubahannya, tidak segera dilengkapinya dokumen APBN dan lampiran-lampirannya saat pengesahan.

Selain itu. Ditemukan pula permasalahan yang mempengaruhi kualitas seperti tidak meratanya kompetensi para anggota dewan terkait keuangan negara, khususnya penganggaran, minimnya dukungan sistem informasi, dan kurangnya transparanasi terkait APBN.

Oleh karena itu, agar APBN kedepannya lebih berkualitas, PPPI merekomendasikan, untuk adanya revitalisasi dan percepatan implementasi permance based budgeting secara nasional, pengembangan sistem e-budgeting di DPR, penyediaan handbook (budgeting 101) untuk para anggota dewan, staf ahli, dan pihak-pihak terkait, mendorong transparansi plus.

Ekonom, M. Fadhil Hasan, mengatakan bahwa perlu adanya pembenahan dalam perumusan APBN. Pertama, di sisi eksekutif, Semua anggaran sekarang kebanyakan dilakukan oleh menteri keuangan. Proses penggaran ditubuh eksekutif, tidak sesuai dgn perencanaan yg dilakukan oleh bappenas. Oleh karena itu, harus ada revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, terutama soal kewenangan Menteri Keuangan

Kedua, peran DPR cukup kuat dalam penentuan anggaran?. Kalau di bandingkan dengan orde baru, pernyataan ini benar, tetapi kalau dibandingkan dengan negara lain, tidak juga. Budgeting, diajukan oleh pemerintah dan dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. Fungsi DPR ini pun tidak dijalankan sepenuhnya. Oki, ada beberapa hal yang perlu pembenahan antara lain merefisi undang-undang MD3 (UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD)

Selain itu, Rapat anggaran harus dilakukan terbuka untuk umum, dan pembahasan sebaiknya cukup sampai tahap dua saja. Lebih jauh, Hasan menganjurkan agar Badan anggaran berada di bawah badan sendiri atau mandiri. (AJ)