Kamis, 10 Mei 2012

KUALITAS APBN BURUK


Kualitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun terakhir sangat buruk. Belanja pegawai dan belanja barang sangat besar dan selalu mengalami kenaikan tiap tahun anggaran sedangkan belanja publik sangat rendah dan cenderung statis.

Sebelum tahun 1997, porsi belanja pembangunan dan belanja rutin pemerintah pusat cenderung seimbang. Hal ini berbeda dengan setelah tahun 1997, porsi APBN justru lebih besar belanja rutin, sehingga porsi belanja pembangunan jauh lebih sedikit. Selain itu, anggaran untuk pendidikan, kesehatan, layanan sosial, dan layanan ekonomi hanya 3,9% dari GDP untuk tahun 2010. Nilai tersebut jauh dibawah hasil survei UNPAN untuk negara-negara berkembang lainnya sebesar 14,5% dan alokasi pada negara yang sudah maju yaitu 15,1%. Komposisi APBN yang belum optimal tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun dan belum terlihat perubahan yang signifikan.

Dalam peluncuran hasil penelitiannya, peneliti Paramadina Public Policy Institute (PPPI), Tedy J. Sitepu, mengatakan bahwa ada beberapa permasalahan yang  menyebabkan APBN Indonesia buruk. Permasalahan yang paling krusial menurut Sitepu, yaitu substansi, sedangkan secara formal hampir tidak ada pelanggaran.

“Para narasumber kami mengatakan bahwa proses pembahasan dan pengesahan anggaran di DPR telah memenuhi ketentuan kerangka hukum yang mengaturnya. Sehingga, dalam hal formalitas, para narasumber umumnya menyatakan tidak ada pelanggaran atau penyimpangan pada proses pembahasan hingga pengesahan APBN”.

Namun demikian,lanjut Sitepu, ditemukan berbagai permasalahan pada proses pembahasan dan pengesahan APBN di DPR baik pada tahap input, proses, dan outputnya. Kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran program/kegiatan dari pemerintah yang belum memadai, terjadinya praktik pemasukan agenda non-prioritas atau agenda non-aspirasi oleh oknum tertentu, kesulitan sebagian anggota DPR mendalami dokumen yang diajukan pemerintah, adanya perubahan-perubahan keputusan sebagai akhibat kesepakatan yang terjadi di luar forum resmi, tidak adanya instrumen manajemen yang mendukung proses pembahasan, sulitnya membandingkan hasil akhir pembahasan dengan proses perubahannya, tidak segera dilengkapinya dokumen APBN dan lampiran-lampirannya saat pengesahan.

Selain itu. Ditemukan pula permasalahan yang mempengaruhi kualitas seperti tidak meratanya kompetensi para anggota dewan terkait keuangan negara, khususnya penganggaran, minimnya dukungan sistem informasi, dan kurangnya transparanasi terkait APBN.

Oleh karena itu, agar APBN kedepannya lebih berkualitas, PPPI merekomendasikan, untuk adanya revitalisasi dan percepatan implementasi permance based budgeting secara nasional, pengembangan sistem e-budgeting di DPR, penyediaan handbook (budgeting 101) untuk para anggota dewan, staf ahli, dan pihak-pihak terkait, mendorong transparansi plus.

Ekonom, M. Fadhil Hasan, mengatakan bahwa perlu adanya pembenahan dalam perumusan APBN. Pertama, di sisi eksekutif, Semua anggaran sekarang kebanyakan dilakukan oleh menteri keuangan. Proses penggaran ditubuh eksekutif, tidak sesuai dgn perencanaan yg dilakukan oleh bappenas. Oleh karena itu, harus ada revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, terutama soal kewenangan Menteri Keuangan

Kedua, peran DPR cukup kuat dalam penentuan anggaran?. Kalau di bandingkan dengan orde baru, pernyataan ini benar, tetapi kalau dibandingkan dengan negara lain, tidak juga. Budgeting, diajukan oleh pemerintah dan dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. Fungsi DPR ini pun tidak dijalankan sepenuhnya. Oki, ada beberapa hal yang perlu pembenahan antara lain merefisi undang-undang MD3 (UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD)

Selain itu, Rapat anggaran harus dilakukan terbuka untuk umum, dan pembahasan sebaiknya cukup sampai tahap dua saja. Lebih jauh, Hasan menganjurkan agar Badan anggaran berada di bawah badan sendiri atau mandiri. (AJ)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar