Kualitas
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) beberapa tahun terakhir sangat
buruk. Belanja pegawai dan belanja barang sangat besar dan selalu mengalami
kenaikan tiap tahun anggaran sedangkan belanja publik sangat rendah dan
cenderung statis.
Sebelum
tahun 1997, porsi belanja pembangunan dan belanja rutin pemerintah pusat cenderung seimbang. Hal ini berbeda dengan setelah tahun 1997, porsi APBN
justru lebih besar belanja rutin, sehingga porsi belanja pembangunan jauh lebih
sedikit. Selain itu, anggaran untuk pendidikan, kesehatan, layanan sosial, dan
layanan ekonomi hanya 3,9% dari GDP untuk tahun 2010. Nilai tersebut jauh
dibawah hasil survei UNPAN untuk negara-negara berkembang lainnya sebesar 14,5%
dan alokasi pada negara yang sudah maju yaitu 15,1%. Komposisi APBN yang belum
optimal tersebut telah terjadi selama bertahun-tahun dan belum terlihat
perubahan yang signifikan.
Dalam
peluncuran hasil penelitiannya, peneliti Paramadina Public Policy Institute
(PPPI), Tedy J. Sitepu, mengatakan bahwa ada beberapa permasalahan yang menyebabkan APBN Indonesia buruk.
Permasalahan yang paling krusial menurut Sitepu, yaitu substansi, sedangkan
secara formal hampir tidak ada pelanggaran.
“Para
narasumber kami mengatakan bahwa proses pembahasan dan pengesahan anggaran di
DPR telah memenuhi ketentuan kerangka hukum yang mengaturnya. Sehingga, dalam
hal formalitas, para narasumber umumnya menyatakan tidak ada pelanggaran atau
penyimpangan pada proses pembahasan hingga pengesahan APBN”.
Namun
demikian,lanjut Sitepu, ditemukan berbagai permasalahan pada proses pembahasan
dan pengesahan APBN di DPR baik pada tahap input, proses, dan outputnya.
Kualitas dokumen perencanaan dan penganggaran program/kegiatan dari pemerintah
yang belum memadai, terjadinya praktik pemasukan agenda non-prioritas atau
agenda non-aspirasi oleh oknum tertentu, kesulitan sebagian anggota DPR
mendalami dokumen yang diajukan pemerintah, adanya perubahan-perubahan
keputusan sebagai akhibat kesepakatan yang terjadi di luar forum resmi, tidak adanya
instrumen manajemen yang mendukung proses pembahasan, sulitnya membandingkan
hasil akhir pembahasan dengan proses perubahannya, tidak segera dilengkapinya dokumen
APBN dan lampiran-lampirannya saat pengesahan.
Selain
itu. Ditemukan pula permasalahan yang mempengaruhi kualitas seperti tidak
meratanya kompetensi para anggota dewan terkait keuangan negara, khususnya
penganggaran, minimnya dukungan sistem informasi, dan kurangnya transparanasi
terkait APBN.
Oleh
karena itu, agar APBN kedepannya lebih berkualitas, PPPI merekomendasikan,
untuk adanya revitalisasi dan percepatan implementasi permance based budgeting
secara nasional, pengembangan sistem e-budgeting di DPR, penyediaan handbook
(budgeting 101) untuk para anggota dewan, staf ahli, dan pihak-pihak terkait,
mendorong transparansi plus.
Ekonom,
M. Fadhil Hasan, mengatakan bahwa perlu adanya pembenahan dalam perumusan APBN.
Pertama, di sisi eksekutif, Semua anggaran sekarang kebanyakan dilakukan oleh
menteri keuangan. Proses penggaran ditubuh eksekutif, tidak sesuai dgn
perencanaan yg dilakukan oleh bappenas. Oleh karena itu, harus ada revisi UU
No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, terutama soal kewenangan Menteri Keuangan
Kedua,
peran DPR cukup kuat dalam penentuan anggaran?. Kalau di bandingkan dengan orde
baru, pernyataan ini benar, tetapi kalau dibandingkan dengan negara lain, tidak
juga. Budgeting, diajukan oleh pemerintah dan dibahas bersama antara DPR dan
pemerintah. Fungsi DPR ini pun tidak dijalankan sepenuhnya. Oki, ada beberapa
hal yang perlu pembenahan antara lain merefisi undang-undang MD3 (UU No. 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD)
Selain
itu, Rapat anggaran harus dilakukan terbuka untuk umum, dan pembahasan
sebaiknya cukup sampai tahap dua saja. Lebih jauh, Hasan menganjurkan agar Badan
anggaran berada di bawah badan sendiri atau mandiri. (AJ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar