(disusun berdasarkan draft RUU Mahkamah Agung versi Badan Legislasi
Dewan
Perwakilan Rakyat, 11 April 2012)
Menanggapi Draft Rancangan Undang-Undang Mahkamah yang
disusun atas usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) sebagai lembaga yang fokus dan
terlibat aktif dalam kegiatan pembaruan peradilan mencatat sejumlah hal yang
perlu dikritisi secara cermat dari draft tersebut, yaitu:
1.
Pengawasan DPR Terhadap Mahkamah Agung (MA)
Pasal 94 ayat (1) dan (2): “DPR RI melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang dan
pengawasan terhadap penyimpangan-penyimpangan terhadap undang-undang yang
dilakukan oleh Mahkamah Agung.”
Pengawasan terhadap lembaga peradilan sebagai pelaksana
kekuasan kehakiman
adalah hal yang amat sensitif dan menjadi pertarungan ketegangan antara prinsip independensi peradilan dengan prinsip akuntabilitas.[1]. Prinsip independensi peradilan berfungsi untuk memastikan
peradilan terbebas dari tekanan berbagai pihak dengan cara apa pun dan menjadi prasyarat sekaligus
jaminan terhadap jalannya peradilan yang adil.[2]
Dalam
konteks Indonesia, Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Meski demikian, prinsip
independensi tidak menempatkan pengadilan dan hakim dalam posisi kebal
hukum, melainkan ditempatkan dalam konteks akuntabilitas.[3] Hakim terikat
pada tanggung jawab kepada hukum, negara, serta masyarakat, dan jika ia diduga
melakukan pelanggaran perilaku, maka terhadapnya berlaku ketentuan disiplin.
Pengawasan
terhadap lembaga peradilan di Indonesia dilakukan oleh MA, sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 39 ayat
(1) s/d ayat (3) UU 48
Tahun 2009.
MA melakukan pengawasan tertinggi terhadap: (a) penyelenggaraan peradilan
pada semua badan peradilan yang berada di bawah MA; (b) pelaksanaan tugas
administrasi dan keuangan; dan (c) mengawasi internal tingkah laku hakim. Sejalan
dengan prinsip independensi, pengawasan yang dilakukan MA tersebut tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 39 ayat
[4] UU Nomor 48 Tahun 2009).
DPR
sebagai wakil rakyat
memang memiliki fungsi pengawasan,
yaitu pengawasan terhadap lembaga eksekutif. Dalam artian, kalaupun DPR ingin melaksanakan pengawasan terhadap lembaga
peradilan (yudikatif), maka sejalan dengan prinsip independensi dan
akuntabilitas di atas, maka pengawasan yang dilakukan DPR terhadap lembaga
peradilan adalah pengawasan hanya
terhadap fungsi non
yudisial (seperti administrasi kepegawaian, keuangan, dst).
Konsep pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 adalah konsep
yang sangat salah kaprah. Konsep tersebut telah menyentuh aspek fungsi yudisial
karena memberi kewenangan bagi DPR untuk mengawasi apakah suatu putusan Mahkamah Agung telah melanggar undang-undang atau
tidak.
Konsep ini telah mengancam independensi peradilan dengan membuka peluang yang sangat besar terjadinya intervensi (partai) politik
terhadap Mahkamah Agung dalam mengatur perkara.
2.
Subtansi Putusan MA
Pasal 97: “MA dalam
tingkat kasasi dilarang: (a) membuat putusan yang melanggar Undang-Undang; (b)
membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan
kerusuhan dan huru hara; (c) dilarang membuat putusan yang tidak mungkin
dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah-tengah masyarakat,
adat istiadat dan kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan
pertikaian dan keributan; (d) dilarang mengubah Keputusan Bersama Ketua
Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan
Bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.”
Selain mencampur adukan antara
dua hal yang subtansinya berbeda,
yaitu putusan kasasi -sebagaimana
kalimat awal dalam pasal- dengan Surat Keputusan Bersama, pasal ini mensiratkan
bahwa DPR berwenang untuk mengatur isi putusan (kasasi) MA dan putusan
tersebut harus sesuai dengan kehendak mayoritas. Meski pasal tersebut memang
tidak secara langsung mengatur bahwa MA harus menuruti kehendak mayoritas,
namun jika dikontekstualkan dengan praktik, bagaimana para hakim agung dapat
memprediksi apakah putusan yang akan dibuatnya akan menimbulkan keonaran,
kerusuhan atau huru-hara atau tidak?. [4]
Padahal, tugas memastikan bahwa jika seseorang dinyatakan tidak bersalah tidak
akan terjadi kerusuhan akibat masyarakat menolak putusan tersebut bukanlah
tugas pengadilan, melainkan tugas pemerintah untuk menjaga keamanan dan
ketertiban.
Perlu digarisbawahi bahwa, hakim atas nama
pengadilan berperan penting dalam menerapkan dan menegakkan prinsip-prinsip
hukum yang terkadang tidak selalu merupakan putusan yang popular atau sejalan
dengan dukungan pihak-pihak tertentu atau bahkan masyarakat umum. Dalam kondisi
pengadilan harus mengalahkan kepentingan mayoritas dalam kasus-kasus individual
prinsip independensi sangat penting untuk diterapkan. Karenanya, apa yang
diatur dalam Pasal 97 ini tidak hanya melanggar indepensi peradilan, namun juga
mengangkangi prinsip negara berdasarkan hukum, yaitu dengan menempatkan supremasi
politik diatas supremasi hukum dan menempatkan supremasi hukum dibawah kehendak
mayoritas.
3.
Pembatasan Perkara Kasasi
Pembatasan perkara kasasi merupakan langkah progresif
untuk mengurangi arus beban perkara yang berlebihan ke MA hingga menyebabkan
merosotnya ruang gerak MA untuk memeriksa kasus-kasus penting dan relevan
dengan fungsi menjaga kesatuan penerapan hukum selama ini.[5]
Terkait dengan pemilihan perkara-perkara yang
dikecualikan/tidak dapat diajukan kasasi sebagaimana diatur dalam Pasal 56 ayat
(2) beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah sebagai berikut:
(1)
Terhadap perkara pidana yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 3 tahun: perlu dikaji ulang apakah batasan 3 tahun
sudah sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan manusiawi untuk diterapkan.
Pemenjaraan pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap hak asasi manusia, dan
oleh sebab itu penerapannya harus dilakukan secara cermat dan sangat hati-hati.
Batasan penerapan tersebut antara lain
dilakukan dengan dengan membuka kesempatan upaya hukum ke pengadilan secara
berjenjang (tidak hanya sampai dengan banding).
(2)
Terhadap
perkara perdata: apakah pembatasan tersebut berlaku untuk semua jenis perkara perdata,
atau hanya berlaku terhadap jenis perkara perdata tertentu?. Selanjutnya, bagaimana cara
menghitung besaran nilai objek gugatan materil tersebut diimplementasikan.[6]
Apakah nilai
objek tersebut dihitung berdasarkan
nilai awal (harga asli) objek gugatan tersebut?,
atau dihitung berdasarkan kenaikan/penyusutan nilai ekonomis dari objek gugatan
tersebut?. Jika dihitung berdasarkan
kenaikan/penyusutan nilai ekonomis, maka penghitungan mana yang akan dipakai?
apakah penghitungan berdasarkan kenaikan/penyusutan nilai ekonomis pada saat
tergugat melakukan wanprestasi (dalam hal wanprestasi misalnya) atau
penghitungan berdasarkan kenaikan/penyusutan nilai ekonomis pada saat gugatan
diajukan ke pengadilan?.
(3) Terhadap putusan bebas pada pengadilan tingkat
pertama: bagaimana menjembatani kondisi yang berlawanan antara peraturan
perundang-undangan (larangan pembatasan kasasi putusan bebas sebagaimana diatur
dalam Pasal 67 dan 224 KUHAP) dengan (a) praktik (banyaknya putusan yang langsung dapat dikasasi atas dasar yurisprudensi[7] dan; (b) dugaan
cukup banyaknya putusan bebas di
Pengadilan Negeri yang mengandung kesalahan, baik yang disengaja maupun tidak.[8] Terobosan yang dapat
ditempuh bisa dengan mengefektifkan
upaya hukum yang telah telah ada dalam peraturan perundang-undangan namun
jarang dipakai (misalnya Kasasi Demi Kepentingan Hukum, Pasal 244 KUHAP).
Selain dari perkara-perkara yang
telah disebutkan dalam Pasal 56 ayat (2), perlu dipertimbangkan kembali perkara lain yang sebetulnya dapat
dibatasi, namun belum termasuk dalam Pasal 56 ayat (2), misalnya perkara kasasi yang tidak memenuhi syarat
formal; atau perkara-perkara yang selama ini upaya hukumnya langsung kasasi
tanpa banding (misalnya perkara sengketa hubungan industrial), sehingga membuat
beban perkara di MA semakin bertambah. [9]
4.
Pembagian Kamar Perkara
Kamar
tata negara dan kamar pajak merupakan kamar kamar baru
yang diusulkan dalam Draft RUU ini
yang. Sedangkan 5 (lima) kamar lainnya, yaitu kamar
pidana, kamar perdata, kamar tata usaha negara, kamar tata negara, kamar agama,
kamar militer dan kamar pajak
telah diterapkan dalam sistem kamar[10]
yang berjalan di MA saat ini.
Pasal 25 ayat (4): “Kamar tata
negara memeriksa dan memutus permohonan: (a) pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan (b)
pengujian pendapat DPRD bahwa gubernur/wakil gubernur atau bupati/wakil bupati
atau walikota/wakil walikota telah melanggar sumpah/janji dan/atau tidak
melaksanakan kewajiban.”
Kedua macam permohonan pengujian
tersebut saat ini masuk diperiksa dalam kamar tata usaha negara.
Merujuk
pada kecenderungan beban perkara dari tahun 2008 hingga 2011, beban perkara
tata usaha negara rata-rata hanya 10% per tahun dari total keseluruhan beban
perkara di MA.[11] Jumlah
perkara permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang menurut Laporan Mahkamah Agung pada tahun
2010 adalah 61 perkara dan 50 perkara pada tahun 2011. Sedangkan jumlah
rata-rata permohonan pengujian pendapat DPRD terhadap kepala daerah yang
melanggar sumpah/janji dan/atau tidak melaksanakan kewajiban per tahunnya tidak
pernah lebih dari 10 (sepuluh) permohonan. Beban tersebut lebih sedikit
dibandingkan dengan beban perkara pada kamar-kamar lainnya.
Dengan
mempertimbangkan beban perkara yang akan masuk pada kamar yang baru dibentuk nantinya
(dalam hal ini kamar tata negara), maka apakah patut
dipertimbangkan beban
perkara yang akan diemban oleh kamar tersebut nantinya untuk mencegah kesenjangan beban
tugas yang amat jauh antara hakim tata negara (jika dibuat
menjadi kamar tersendiri) dengan hakim-hakim pada kamar lainnya. Jika beban perkara pada kamar
tersebut sedikit, maka dapat dipertimbangkan untuk menggabungkan kamar tersebut
dengan kamar lainnya yang memiliki faktor korelasi
subtansi hukum yang
sama/serupa dengan kamar tersebut, agar sistem kamar dapat berjalan efektif.
5.
Sekretariat Mahkamah Agung
Berlakunya
sistem satu atap sejak Agustus 2004 berimplikasi pada status MA yang tidak lagi
hanya menjalankan peran sebagai lembaga peradilan, melainkan juga sebagai
kementrian/lembaga.[12]
Status
ini lahir mengingat sistem satu atap telah mengalihkan kewenangan
organisasi, administrasi, dan keuangan yang selama ini dimiliki departemen
teknis kepada MA. Kondisi ini selayaknya diantisipasi dengan perubahan struktur
organisasi yang baru di MA, menyesuaikan dengan tugas, fungsi dan kewenangan
yang dimilikinya saat ini/pasca satu atap.
Meski
hingga saat ini penyesuaian struktur organisasi untuk mendukung pelaksanaan
tugas dan fungsi yang baru pasca penyatuan atap masih terus dilakukan, namun
penyesuaian tersebut masih belum sempurna. Dalam hal pengelolaan organisasi dan
administrasi badan-badan peradilan misalnya, terjadi penumpukan tugas di
Sekretariat MA sebagai satuan kerja yang melaksanakan dua tugas dan fungsi
pokok, yaitu: (1) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan MA;
(2) tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan keuangan badan-badan
peradilan. Meski sejatinya tugas dan fungsi organisasi, administrasi dan
keuangan badan-badan peradilan dilakukan oleh masing-masing badan peradilan. Namun
badan-badan peradilan ini tetap berinduk pada Sekretariat MA, dan menyebabkan
penumpukan tugas, fungsi dan kewenangan yang amat besar pada Sekretariat MA.
Perlu
dipertimbangkan pembagian tugas dan fungsi yang diemban Sekretariat MA saat ini
kepada satuan kerja lainnya (kepada masing-masing badan peradilan misalnya)[13]
agar lebih efektif, di mana satuan kerja ini nantinya juga akan setingkat
dengan Sekretariat MA dan bertanggung jawab langsung kepada Pimpinan MA. Dengan
demikian, Sekretariat MA dapat lebih fokus menjalankan tugas dan fungsi
organisasi, administrasi dan keuangan di MA.
6.
Batasan Usia Minimal Hakim Agung
Pasal
12 ayat (1) huruf a angka 4: “Untuk dapat diangkat menjadi hakim agung, calon
hakim agung harus memenuhi syarat berusia sekurang-kurangnya 45 (empat puluh
lima) tahun.”
Merujuk
pada usia pensiun hakim agung yang diatur dalam Pasal 17 Draft RUU, maka jika
seorang calon hakim agung ditetapkan menjadi hakim agung pada usia 45 (empat
puluh lima) tahun, maka ia akan berkarir sebagai hakim agung selama 25 (dua
puluh lima) tahun hingga masa pensiunnya di usia 70 (tujuh puluh) tahun.
Persyaratan
usia minimal hakim
agung perlu dikaji ulang harus (dalam
hal ini dinaikkan) untuk mengantisipasi terlalu panjangnya periode jabatan
hakim agung yang harus dijalani seorang hakim agung yang direkrut pada usia 45
(empat puluh lima) tahun. Hal ini mengingat hakim agung
adalah pejabat negara dan lazimnya periode jabatan pejabat negara tidak ada
yang lebih dari 10 (sepuluh) tahun.
7.
Hukum Acara Hak Uji
Materiil
Pasal
90 ayat (8): “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung.” Pengujian ini dikenal dengan istilah hak uji
materiil.
Sesuai
dengan maksud dibentuknya pranata hukum hak uji materiil ini, maka hak uji
materiil dimaksudkan untuk menguji apakah materi muatan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan atau tidak terhadap
perundang-undangan tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, materi muatan
peraturan yang terkait dengan uji materiil ini, termasuk mengenai tata caranya
(hukum acara), merupakan materi muatan Undang-Undang, dan karenanya tidak tepat
jika diatur dalam bentuk Perma.
Selama
ini tata cara uji materiil diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Hal
ini terjadi disebabkan karena adanya kekosongan
hukum terkait dengan tata cara pengajuan uji materiil.
Sebelum
tahun 2011, tata cara uji materiil diatur dalam Perma Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Hak Uji Materiil. Namun, selama kurang lebih 7 (tujuh) tahun, apa yang diatur
oleh Perma tersebut bertentangan dengan Undang-Undang, karena menentukan jangka
waktu pengajuan uji materiil.[14]
Ketentuan jangka waktu tersebut baru dihapus pada tahun 2011, yaitu dengan
lahirnya Perma Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.[15]
Untuk
menghindari terjadinya kesalahan yang sama sebagaimana disebutkan di atas, sesuai
dengan materi muatannya, maka hukum acara hak uji materiil harus diatur dalam
Undang-Undang. Selanjutnya, untuk menghindari kekosongan hukum, maka
Undang-Undang tersebut harus dibuat sesegera mungkin.
8.
Jabatan Panitera Muda Perkara dan Tugas Panitera Muda Kamar dan Panitera Pengganti
Implementasi
sistem kamar di MA telah menyebabkan terjadinya penggemukan sumber daya manusia
dalam tingkat dan dengan tugas dan fungsi yang sama di Kepaniteraan MA, yaitu
Panitera Muda Kamar dan Panitera Muda Kamar. Seiring dengan pembelakuan sistem
kamar secara utuh pada April 2014, maka perlu ditegaskan jabatan/nomenklatur yang
akan dipertahankan ke depannya, apakah Panitera Muda Perkara atau Panitera Muda
Kamar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan 27.
Jakarta, 23 April 2012
Lembaga Kajian dan Advokasi untuk
Independensi Peradilan
Contact
person: Arsil (arsil@leip.or.id/081310624634)
atau Syarifah (nur.syarifah@leip.or.id/08161899179)
[1] Dian Rosita, “Menghakimi Para
Hakim,” http://leip.or.id/artikel/195-menghakimi-para-hakim.html.
[2] Bangalore Principles of Judicial Conduct, 2002
[3] Prinsip akuntablitas dapat
membawa kebaikan bagi masyarakat dan lembaga peradilan, namun jika digunakan
secara sembrono, prinsip ini dapat melukai prinsip independensi (Miftahul Huda,
“Judicial Accountability,” http://www.miftakhulhuda.com/2010/11/judicial-liability.html).
Mengingat pentingnya kedua prinsip ini bagi tegaknya legitimasi atas
kekuasaan kehakiman,
maka kedua prinsip ini harus diperlakukan secara proporsional dan penuh
penghargaan (Dian
Rosita, op.cit.,)
[4] Dalam kondisi demikian pada
akhirnya yang menjadi ukuran hanya ada atau tidaknya tekanan publik (mayoritas)
yang menuntut agar isi putusan sesuai dengan kehendaknya, dan memang seperti
itulah yang terjadi, sebagaimana dalam kasus GKI Yasmin, Cikeusik, dst (Arsil,
“Pelecehan Kekuasaan Kehakiman (Lagi),”
http://krupukulit.wordpress.com/2012/04/17/1067).
[5] Tingginya beban perkara
menjadikan MA menjadi lebih berorientasi pada penuntasan tunggakan perkara dan
menyebabkan menurunnya kualitas putusan. Inkonsistensi putusan tidak hanya
terjadi di pengadilan tingkat bawah, bahkan MA sendiri kerap mengeluarkan
putusan yang saling bertentangan untuk permasalahan yang serupa. Selain itu,
fakta menunjukkan bahwa mayoritas perkara yang masuk ke pengadilan tingkat
banding hampir pasti dimintakan upaya hukum ke MA. Adanya pembatasan perkara
secara tidak langsung dapat memperbaiki kualitas dan konsistensi putusan, serta
mengefektifkan Pengadilan Tinggi. Lihat lebih lanjut dalam Lembaga Kajian dan
Advokasi untuk Independensi Peradilan, “Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong
Peradilan Cepat, Murah, Efisien dan Berkualitas,” Desember 2010 dan Dian
Rosita, “Perlukah Pembatasan Perkara,” http://leip.or.id/artikel/100-pentingkah-pembatasan-perkara.html.
[7] Berdasarkan yurisprudensi tetap
MA, putusan yang tidak dapat dikasasi adalah putusan “bebas murni,” sedangkan
untuk putusan yang bersifat “bebas tidak murni” tetap dapat diajukan kasasi .
Untuk mengetahui apakah suatu putusan tersebut “bebas murni” atau “bebas tidak
murni” hanya dapat diketahui ketika putusan tersebut diajukan ke MA. Akibatnya,
praktis pembatasan kasasi yang diatur dalam Pasal 67 dan 224 KUHAP tidak
efektif dan membuat jumlah perkara yang masuk ke MA semakin membanjir.
[8] Op.cit., Pembatasan Perkara: Strategi Mendorong Peradilan Cepat,
Murah, Efisien dan Berkualitas, hal.46.
[10] Sistem kamar adalah sistem pengelompokan para hakim agung berdasarkan keahlian di bidang hukum yang
sama dimana para hakim agung tersebut hanya akan mengadili perkara yang
sesuai dengan bidang keahliannya.
[11] Laporan Tahunan Mahkamah Agung
Tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011. Secara berturut-turut kecenderungan beban
perkara per tahun dari mulai yang tertinggi dan terendah adalah: (1) perkara
perdata; (2) perkara pidana khusus; (3) perkara pidana; (4) perkara tata usaha
negara; (5) perkara perdata khusus; (6) perkara agama; dan (7) perkara militer.
[12] Sistem satu atap resmi berlaku
pada bulan Agustus 2004 melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sebelumnya, sistem dua atap berlaku dengan adanya
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, di mana pembinaan organisasi,
administrasi dan keuangan badan-badan peradilan (peradilan umum, peradilan tata
usaha negara, peradilan agama dan peradilan militer) menjadi wewenang
departemen teknis.
[13] Dengan
pertimbangan bahwa masing-masing badan peradilan ini lebih mengetahui kondisi
dan kebutuhan organisasi, administrasi dan keuangan di lingkungannya masing-masing sejak dari pengadilan tingkat
pertama.
[14] Pasal 2 ayat (4) Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil: Permohonan
keberatan diajukan dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak
ditetapkan Peraturan Perundang-Undangan yang bersangkutan.
[15] Perma ini
mencabut Perma Nomor 1 Tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar