Kamis, 06 Oktober 2011

Penyadapan, Komisi Yudisial dan Carut-Marut Hukum Kita



Oleh Alfeus Jebabun[1]

            Pilihan Panitia Kerja RUU Komisi Yudisial memberikan kewenangan penyadapan kepada lembaga pengawas etik hakim sangat mengejutkan. Pilihan itu tidak terlepas dari sikap beberapa anggota DPR yang reaktif terhadap isu mafia hukum yang melibat oknum hakim akhir-akhir ini. Isu mafia hukum mengemuka sejak diperdengarkannya rekaman rencana kriminalisasi dua Komisioner komisi Pemberantasan Korupsi dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi tahun lalu. Hal itu dipertegas saat KPK menangkap salah seorang Hakim Tinggi Tata Usaha Negara dan seorang pengacara di Jakarta karena terlibat suap. Memang, saat ini, Komisi Yudisial tengah mendapatkan sorotan. Terutama sejak Komisi Yudisial mulai menguak pengaduan-pengaduan “kelas kakap” seperti pengaduan terhadap hakim perkara pembunuhan dengan terdakwa mantan ketua KPK, Antasari Azhar dan beberapa pengaduan terhadap hakim yang menangani perkara korupsi yang melibatkan anggota DPR.

Dalam konteks perlindungan hak asasi manusia, seluruh kegiatan penyadapan pada dasarnya dilarang. Hal ini disebabkan karena tindakan penyadapan melanggar hak konstitusional warga Negara. UUD 1945 menjamin hak privasi setiap orang untuk berkomunikasi dengan siapa pun. Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan hanya dapat dilakukan sebagai bagian dari hukum acara pidana, seperti halnya penyitaan dan pengeledahan.

Lantas, dalam tindak pidana manakah Komisi Yudisial berperan sebagai penyidik? Prosedur yang manakah yang berlaku apabila Komisi Yudisial memiliki kewenangan penyadapan? Sebelum menjawabnya, perlu kiranya kita mencari esensi dari penyadapan sebagai salah satu upaya dan prosedur dalam rangka penyidikan. Pada dasarnya, merekam atau mendengarkan suatu pembicaraan atau komunikasi seseorang atau institusi adalah pelanggaran hak konstitusional. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan hal tersebut. Salah satu hak konstitusional warga negara adalah berkomunikasi dan memperoleh, menyimpan, mengolah serta menyampaikan informasi tanpa adanya intervensi dari negara. Namun, pada dasarnya,  demi kepentingan yang lebih luas, kepentingan publik, negara berhak mengesampingkan hak konstitusional ini, sebagaimana diatur dalam Pasal 28J UUD 1945. Kepentingan publik seperti apa yang dimaksud disini?
           
Perlu kiranya kita menengok kembali pengaturan mengenai penyadapan dalam peraturan perundang-undangan yang ada saat ini. Pasal 42 Undang-Undang No.36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi mengatur bahwa penyadapan dapat dilakukan atas dasar adanya permintaan tertulis dari Jaksa Agung dan atau Kapolri untuk tidak pidana tertentu dan oleh penyidik untuk tindak pidana tertentu menurut undang-undang. Prosedur untuk melakukan penyadapan  berbeda bagi masing-masing tindak pidana. Dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi jo Penjelasan Pasal 26 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi  mengatur bahwa KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan (wiretaping). Pasal 31 UU No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang mengatur kewenangan penyidik untuk melakukan penyadapan dengan syarat bukti permulaan yang cukup, adanya izin Ketua Pengadilan dan paling lama 1 tahun. Pasal 31 UU No.21 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur hal yang serupa dengan Undang-Undang terorisme yakni penyidik berwenang untuk melakukan penyadapan dengan syarat bukti permulaan yang cukup, adanya izin Ketua Pengadilan dan paling lama 1 tahun. Dalam Pasal 55 Undang-Undang No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika menyatakan penyidik berwenang untuk melakukan penyadapan tidak lebih dari 30 hari. Dalam Pasal 75 dan 77 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika  diatur bahwa penyidik berwenang melakukan penyadapan engan syarat -syarat; adanya bukti permulaan yang cukup, paling lama 3 (tiga) bulan, izin tertulis dari Ketua Pengadilan dan dapat diperpanjang satu kali.

            Dari informasi tersebut, dapat dipastikan satu kesimpulan. Penyidik berwenang melakukan penyadapan dalam rangka penyidikan perkara tindak pidana. Dari informasi tersebut pula, kita dapat mengetahui bahwa prosedur penyadapan belum satu nafas untuk masing-masing tindak pidana.

            Dalam sistem hukum yang dianut oleh sistem hukum nasional kita dikenal dua ranah hukum yakni hukum publik dan hukum privat. Hukum publik adalah hukum yang berkelindan dengan kepentingan semua pihak baik negara maupun warga negaranya. Dalam ranah hukum publik ada hukum pidana, hukum administrasi negara, hukum tata negara. Diantara ranah-ranah hukum publik, manakah yang berhak membatasi hak konstitusional warga negara? Sebagaimana kita pahami, dalam prakteknya sistem peradilan pidana adalah sistem yang penuh dengan pelanggaran hak konstitusional warga negara, antara lain dengan kewenangan menangkap, menahan, menggeledah, menyita dan termasuk menyadap. Hal ini diperlukan dalam rangka penegakan hukum pidana (pro justicia) dan mengembalikan kondisi hubungan antar warga negara yang rusak akibat adanya tindak pidana (pelanggaran hak konstitusional oleh sesama warga negara) menjadi normal dan tertib kembali.

            Jika telah ditemukan kesepahaman mengenai posisi penyadapan sebagai salah satu upaya atau prosedur dalam rangka penyidikan dalam sistem peradilan pidana, mari kita kembali kepada pertanyaan sebelumnya, dimanakah peran penyidikan Komisi Yudisial dalam sistem hukum pidana nasional kita? Berdasarkan pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisial memiliki kewenangan untuk mengusulkan calon Hakim Agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, serta perilaku hakim. Saat ini, pembuat undang-undang menerjemahkan bahwa “wewenang lain” tersebut sebagai penegakkan etik dan perilaku hakim. Dalam prakteknya pun, Komisi Yudisial menjalankan fungsi sebagai penegak kode etik dan perilaku bagi profesi hakim. Bahkan, usulan penyadapan pun muncul dalam rangka penegakkan kode etik dan perilaku profesi hakim, misalnya untuk pemeriksaan hakim yang terlibat suap, pemerasan dan tindakan lain yang menjadi modus mafia peradilan.Jika kita cermati, semua tindakan yang menjadi modus mafia peradilan diatas adalah tindak pidana. Eksekutor (penyidik) dari adanya pelanggaran tindak pidana tersebut  telah ditunjuk oleh undang-undang, yakni, KPK, Kepolisian RI atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil.

            Dalam posisi sebagai penegak etika profesi hakim, Komisi Yudisial tidak berada dalam jalur sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, Komisi Yudisial  tidak dapat memiliki upaya represif, salah satunya wewenang penyadapan. Kemudian, kurang tepat kiranya, apabila “wewenang lain” dalam Pasal 24B UUD 1945 diterjemahkan sebagai penegakkan hukum atas pelanggaran pidana. Karena akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga penegak hukum lain, contohnya, siapa yang akan menangani hakim yang memeras? Komisi Yudisial atau KPK? Siapa yang menangani hakim yang terlibat narkotika? Komisi Yudisial atau Kepolisian RI?
           
            Namun, tidak berarti posisi Komisi Yudisial harus selalu terjebak dalam posisi hanya sebagai penjaga etika dan perilaku hakim dengan kewenangan yang terkesan minim seperti sekarang. Komisi Yudisial dapat mengembangkan upaya lain seperti penyusunan nota kesepahaman dengan lembaga penegak hukum lain yang memiliki perkara yang melibatkan hakim-hakim pada lembaga peradilan, misalnya kesepakatan bahwa lembaga penegak hukum akan selalu memberikan informasi perkara kepada Komisi Yudisial apabila melibatkan hakim sebagai pintu masuk pemeriksaan etik di Komisi Yudisial. Kemudian, Komisi Yudisial harus menegaskan posisinya kembali sebagai lembaga penjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim (baca: lembaga peradilan). Artinya Komisi Yudisial perlu menggagas kembali arti dari “wewenang lain” yang diharapkan dari suatu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial dapat mendorong pembuat undang-undang untuk menjadikan Komisi Yudisial sebagai lembaga pendorong pembaruan sistem peradilan, misalnya memberikan rekomendasi dalam permasalahan-permasalahan peradilan yang aktual, seperti inkonsistensi putusan dan penumpukkan perkara. Upaya ini akan lebih masuk akal bagi Komisi Yudisial ketimbang menghabiskan energi untuk mendorong hal-hal yang nyata-nyata akan berpotensi diperkarakan di Mahkamah Konstitusi seperti meminta wewenang penyadapan.






[1]   Peneliti Hukum pada Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Jakarta, Indonesia

Rabu, 05 Oktober 2011

HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

DPR dan Pemerintah akhir bulan ini telah mensahkan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut  menggantikan undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undanga. Alasan DPR dan Pemerintah mengganti undang-undang itu bahwa UU No. 10 Tahun 2004 terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Salah satu kekurangan dalam UU No. 10 Tahun 2004 adalah tidak dimasukannya Ketetapan MPR  (TAP MPR) dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, DPR dan Presiden  menyempurnakan nya dengan memasukan TAP MPR.

Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
  1. UUD 1945
  2. Ketetapam MPR
  3. UU/Perppu
  4. Peraturan Pemerintah
  5. Peraturan Presiden
  6. Peraturan Daerah Propinsi
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Bunyi Pasal ini berbeda dengan UU No. 10 Tahun 2004, yang dalam pasal yang sama menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundan-undangan adalah sebagai berikut:
  1. UUD 1945
  2. UU/Perppu
  3. Peraturan Pemerintah
  4. Peraturan Presiden
  5. Peraturan Daerah
Masuknya TAP MPR ke dalam hierarki peraturan peundang-undangan, menimbulkan banyak permasalahan.
  1. Perihan TAP MPR, tidak diatur materi apa yang harus dimuat. Hal ini berbeda dengan UU/Perppu, PP,Perpres, Perda Propinsi, dan perda Kabupaten yang secara jelas diatur dalam UU tersebut.
  2. Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2011 mengisyaratkan bahwa apabila UU bertentangan dengan UUD 1945, lembaga yang berwenang menguji adalah Mahkamah Konstitusi, sedangkan apabila peraturan dibawah UU bertentangan dengan UU, yang berwenang menguji adalan Mahkamah Agung. pertanyaannya, apabila TAP MPR bertentangan dengan peraturan di atasnya (UUD 1945) siapa yang berhak menguji? dan apabila suatu UU bertentangan dengan TAP MPR, siapa yang berhak menguji?.