Rabu, 21 Maret 2012

LSM Laporkan Dugaan Korupsi Pesawat Sukhoi


Rencana pemerintah menguatkan armada pertahanan udara mengudang tanya publik. Bahkan, dari hasil utak-atik hitungan publik akan kebijakan nasional itu, muncul dugaan upaya menikmati anggaran negara.
Diketahui, Pemerintah RI pada 29 Desember 2011 telah menandatangani kontrak pembelian enam unit Sukhoi seri SU 30MK2 dengan Pemerintah Federasi Rusia cq Rosoboronexport selaku produsen. Nah, koalisi publik yang terdiri dari ICW, Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam, HRWG dan INFID menduga ada penggelembungan harga pembelian.
Karena itu, koalisi melaporkan temuan mereka pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (20/3) siang.

"Kami sudah melaporkan hal ini ke KPK, karena terdapat indikasi permainan dalam proses pengadaan khususnya terkait kemahalan, ketidakwajaran dan kejanggalan harga pesawat yang tidak kecil jumlahnya," ujar salah satu anggota koalisi, Poenky Indarti di depan gedung KPK di Jakarta.

Dugaan ini, lanjut Poenky, diawali adanya kecurigaan pada Kementerian Pertahanan yang mengajukan sumber pendanaan pembelian dari pinjaman dan hibah luar negeri/kredit ekspor (PHLN/KE). Perihal itu tertuang dalam surat R/96/M/III/2011 yang ditujukan kepada kepala Bappenas. Dalam surat itu disebutkan bahwa anggaran untuk pengadaan enam unit Sukhoi berjumlah AS$470 juta.
Pemerintah pun telah menandatangani pembelian pesawat dengan harga per unit Sukhoi senilai AS$54,8 juta. Alhasil, enam unit menjadi AS$328,8 juta. Lalu, ditambah AS$141,2 juta untuk membeli 12 mesin dan pelatihan pilot. Hingga total anggaran yang keluar seluruhnya berjumlah AS$470 juta.
Menurut koalisi, pemerintah yang membeli pesawat AS$54,8 juta tanpa berbagai macam perangkat termasuk avionic (instrumen digital pesawat) merupakan hal yang ganjil. Apalagi penambahan pembelian 12 mesin dan pelatihan 10 pilot koalisi menduga bisa terjadi penggelembungan harga.
Koalisi menghitung, harga umum dari 12 mesin dengan masing-masing mesin seharga AS$6 juta, akan menjadi AS$72 juta. Ditambah pelatihan 10 pilot yang anggarannya AS12,5 juta maka terjadi selisih harga sekitar AS$56,7 juta dari seluruh dana yang keluar sebesar AS$470 juta.
Sementara, jika dibandingkan dengan harga resmi yang dirilis JSC Rosoboronoexport, produsen Sukhoi asal Rusia, jet tempur tipe 30MK2 adalah sebesar AS$60-AS$70 juta per unit. Jika digunakan batas maksimal AS$70 juta, maka harga enam unit Sukhoi itu seluruhnya berjumlah AS$420 juta. Sedangkan, total anggaran yang dialokasikan untuk pembelian enam Sukhoi AS$470 juta. Maka ada kelebihan harga sebesar AS$50 juta.
Dugaan permainan dari pengadaan enam pesawat Sukhoi ini makin kuat kala JSC Rosoboronoexport Rusia diageni PT Trimarga Rekatama untuk mendaftar dan mengambil dokumen prakualifikasi. Padahal, Rosoboronoexport memiliki kantor perwakilan di Jakarta.

"Seharusnya Mabes Angkatan Udara tidak perlu mengundang agen karena produsen Sukhoi memiliki kantor perwakilannya di Jakarta,” ujar anggota koalisi yang lain, Adnan Topan Husodo.

Padahal, kata Adnan, hal ini bisa diminimalisir apabila Pemerintah Indonesia membeli enam pesawat Sukhoi menggunakan State Credit dari Pemerintah Rusia, bukan menggunakan PHLN/KE. Karena pada tahun 2005 lalu, Pemerintah Indonesia dan Rusia telah menyetujui adanya kerjasama bantuan teknis militer serta MoU asistensi implementasi bantuan teknis militer yang ditandatangani pada awal Desember 2006 lalu.
"Pada prinsipnya dalam perjanjian tersebut Pemerintah Rusia menyediakan fasilitas kredit untuk pembelian alutsista bagi Pemerintah Indonesia senilai AS$1 miliar," ujar Adnan.

Setidaknya ada lima peralatan militer yang pembeliannya menggunakan fasilitas kredit dari Rusia, yakni Helikopter Mi-17v-5, Helikopter Mi-35P dan pendukungnya, Diesel listrik untuk kapal selam, kendaraan BMP-3F dan Sukhoi Su 27 dan Su-30MK2 termasuk avionic.
Menurut koalisi, jika menggunakan fasilitas kredit dari Rusia, Pemerintah Indonesia lebih diuntungkan ketimbang menggunakan PHLN/KE. Dimulai dari lamanya pengembalian bisa mencapai 15 tahun dengan bunga pinjaman sekitar lima persen. Sedangkan anggaran menggunakan PHLN/KE jangka waktu pengembaliannya relatif pendek yakni dua sampai lima tahun serta dikenakan sejumlah biaya bank dan bunga pinjaman tinggi yang didasarkan dari bunga pasar.
Selain itu, keuntungan menggunakan fasilitas kredit dari Rusia skema kerjasamanya adalah G to G dan tak melibatkan pihak ketiga atau agen. Atas dasar itu, pihak koalisi berharap agar pemerintah Indonesia mau mengkaji ulang dan mengevaluasi kontrak sebelum proses pengadaan dilakukan. Koalisi juga berharap agar dilakukannya negosiasi ulang dalam pembelian Sukhoi ini dengan menggunakan kredit dari pemerintah Rusia daripada melalui PHLN/KE.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan, laporan ini akan ditelaah terlebih dahulu di Direktorat Pengaduan Masyarakat (Dumas) lembaganya. Penelaahan dilakukan untuk mencari apakah laporan tersebut terdapat tindak pidana korupsinya atau tidak. "Ditelaah dahulu di Dumas," pungkasnya.
(Sumber: Hukumonline.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar