Rencana pemerintah menguatkan armada pertahanan
udara mengudang tanya publik. Bahkan, dari hasil utak-atik hitungan publik akan
kebijakan nasional itu, muncul dugaan upaya menikmati anggaran negara.
Diketahui, Pemerintah RI pada 29 Desember 2011
telah menandatangani kontrak pembelian enam unit Sukhoi seri SU 30MK2 dengan
Pemerintah Federasi Rusia cq Rosoboronexport selaku produsen.
Nah, koalisi publik yang terdiri dari ICW, Imparsial, Kontras, IDSPS, Elsam,
HRWG dan INFID menduga ada penggelembungan harga pembelian.
Karena itu, koalisi melaporkan temuan mereka
pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (20/3) siang.
"Kami
sudah melaporkan hal ini ke KPK, karena terdapat indikasi permainan dalam
proses pengadaan khususnya terkait kemahalan, ketidakwajaran dan kejanggalan
harga pesawat yang tidak kecil jumlahnya," ujar salah satu anggota
koalisi, Poenky Indarti di depan gedung KPK di Jakarta.
Dugaan ini, lanjut Poenky, diawali adanya
kecurigaan pada Kementerian Pertahanan yang mengajukan sumber pendanaan
pembelian dari pinjaman dan hibah luar negeri/kredit ekspor (PHLN/KE). Perihal
itu tertuang dalam surat R/96/M/III/2011 yang ditujukan kepada kepala Bappenas.
Dalam surat itu disebutkan bahwa anggaran untuk pengadaan enam unit Sukhoi
berjumlah AS$470 juta.
Pemerintah pun telah menandatangani pembelian
pesawat dengan harga per unit Sukhoi senilai AS$54,8 juta. Alhasil, enam unit
menjadi AS$328,8 juta. Lalu, ditambah AS$141,2 juta untuk membeli 12 mesin dan
pelatihan pilot. Hingga total anggaran yang keluar seluruhnya berjumlah AS$470
juta.
Menurut koalisi, pemerintah yang membeli
pesawat AS$54,8 juta tanpa berbagai macam perangkat termasuk avionic
(instrumen digital pesawat) merupakan hal yang ganjil. Apalagi penambahan
pembelian 12 mesin dan pelatihan 10 pilot koalisi menduga bisa terjadi
penggelembungan harga.
Koalisi menghitung, harga umum dari 12 mesin
dengan masing-masing mesin seharga AS$6 juta, akan menjadi AS$72 juta. Ditambah
pelatihan 10 pilot yang anggarannya AS12,5 juta maka terjadi selisih harga
sekitar AS$56,7 juta dari seluruh dana yang keluar sebesar AS$470 juta.
Sementara, jika dibandingkan dengan harga resmi
yang dirilis JSC Rosoboronoexport, produsen Sukhoi asal Rusia, jet
tempur tipe 30MK2 adalah sebesar AS$60-AS$70 juta per unit. Jika digunakan
batas maksimal AS$70 juta, maka harga enam unit Sukhoi itu seluruhnya berjumlah
AS$420 juta. Sedangkan, total anggaran yang dialokasikan untuk pembelian enam
Sukhoi AS$470 juta. Maka ada kelebihan harga sebesar AS$50 juta.
Dugaan permainan dari pengadaan enam pesawat
Sukhoi ini makin kuat kala JSC Rosoboronoexport Rusia diageni PT
Trimarga Rekatama untuk mendaftar dan mengambil dokumen prakualifikasi.
Padahal, Rosoboronoexport memiliki kantor perwakilan di Jakarta.
"Seharusnya
Mabes Angkatan Udara tidak perlu mengundang agen karena produsen Sukhoi
memiliki kantor perwakilannya di Jakarta,” ujar anggota koalisi yang lain,
Adnan Topan Husodo.
Padahal, kata Adnan, hal ini bisa diminimalisir
apabila Pemerintah Indonesia membeli enam pesawat Sukhoi menggunakan State
Credit dari Pemerintah Rusia, bukan menggunakan PHLN/KE. Karena pada tahun
2005 lalu, Pemerintah Indonesia dan Rusia telah menyetujui adanya kerjasama
bantuan teknis militer serta MoU asistensi implementasi bantuan teknis militer
yang ditandatangani pada awal Desember 2006 lalu.
"Pada
prinsipnya dalam perjanjian tersebut Pemerintah Rusia menyediakan fasilitas
kredit untuk pembelian alutsista bagi Pemerintah Indonesia senilai AS$1
miliar," ujar Adnan.
Setidaknya ada lima peralatan militer yang
pembeliannya menggunakan fasilitas kredit dari Rusia, yakni Helikopter
Mi-17v-5, Helikopter Mi-35P dan pendukungnya, Diesel listrik untuk kapal selam,
kendaraan BMP-3F dan Sukhoi Su 27 dan Su-30MK2 termasuk avionic.
Menurut koalisi, jika menggunakan fasilitas
kredit dari Rusia, Pemerintah Indonesia lebih diuntungkan ketimbang menggunakan
PHLN/KE. Dimulai dari lamanya pengembalian bisa mencapai 15 tahun dengan bunga
pinjaman sekitar lima persen. Sedangkan anggaran menggunakan PHLN/KE jangka
waktu pengembaliannya relatif pendek yakni dua sampai lima tahun serta
dikenakan sejumlah biaya bank dan bunga pinjaman tinggi yang didasarkan dari
bunga pasar.
Selain itu, keuntungan menggunakan fasilitas
kredit dari Rusia skema kerjasamanya adalah G to G dan tak melibatkan
pihak ketiga atau agen. Atas dasar itu, pihak koalisi berharap agar pemerintah
Indonesia mau mengkaji ulang dan mengevaluasi kontrak sebelum proses pengadaan
dilakukan. Koalisi juga berharap agar dilakukannya negosiasi ulang dalam
pembelian Sukhoi ini dengan menggunakan kredit dari pemerintah Rusia daripada
melalui PHLN/KE.
Sementara itu, Juru Bicara KPK Johan Budi
mengatakan, laporan ini akan ditelaah terlebih dahulu di Direktorat Pengaduan
Masyarakat (Dumas) lembaganya. Penelaahan dilakukan untuk mencari apakah
laporan tersebut terdapat tindak pidana korupsinya atau tidak. "Ditelaah
dahulu di Dumas," pungkasnya.
(Sumber: Hukumonline.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar