Senin, 02 Juli 2012

KOMPLIKASI PERSOALAN LEGALITAS PENGANGKATAN WAKIL MENTERI


Menurut Mahkamah Konstitusi, persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil menteri, antara lain, adalah:
Pertama, terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan Undang-Undang tentang Kementerian Negara. Dalam bahasa teknis judicial review eksesifitas yang seperti itu sering disebut tidak sejalan dengan maksud semula pembentukan Undang-Undang dimaksud (original intent). Salah satu latar belakang terpenting dari keharusan konstitusional untuk membentuk Undang-Undang Kementerian Negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk membatasi agar dalam membentuk kementerian negara guna melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, Presiden melakukannya secara efektif dan efisien. Jabatan menteri dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang atau satu golongan, sekaligus tidak dapat sembarangan dibubarkan tanpa analisis yang mendalam bagi kepentingan negara dan bangsa seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Dengan pembentukan wakil menteri yang terjadi berdasar fakta hukum sekarang, yakni pembentukan yang tanpa job analysis dan job specification yang jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wakil menteri hanya dibentuk sebagai kamuflase politik dan membagi-bagi hadiah politik. Hal ini nyata-nyata tidak sesuai dengan filosofi dan latar belakang pembentukan UU 39/2008 yang dalam implementasinya menimbulkan persoalan legalitas sebagaimana akan diuraikan pula pada uraian selanjutnya.
Kedua, saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Apalagi seleksi jabatan wakil menteri dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri yakni didahului dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara yang sama dengan seleksi dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat politis dan tidak sesuai dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku terutama jika dikaitkan dengan ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo.
Ketiga, menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan wakil menteri adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional. Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di persidangan tanggal 7 Februari 2012 jabatan karier bagi PNS itu ada dua yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional. Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal. Akan tetapi jika jabatan wakil menteri tersebut diperlakukan sebagai jabatan fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional. Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wakil menteri yang sangat beragam bidang tugas, keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional. Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke dalam jenis tertentu. Para wakil menteri yang berasal dari perguruan tinggi misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya, kalau jabatan wakil menteri dianggap sebagai jabatan karier fungsional maka bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar peraturan perundang-undangan?
Keempat, masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang bersangkutan. Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat sesuai dengan penempatan yang bersangkutan. Menurut fakta di persidangan, para wakil menteri diangkat tanpa melalui prosedur tersebut dan pelantikannya dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki jabatan karier.
Kelima, nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut. Perubahan-perubahan Perpres tersebut tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada lebih dulu.
Keenam, komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri seperti yang berlaku sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya. Akan tetapi, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden yang mengangkatnya. Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wakil menteri berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah letak komplikasi legalitas tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar