Menurut Mahkamah Konstitusi,
persoalan legalitas yang muncul dalam pengangkatan wakil menteri, antara lain,
adalah:
Pertama,
terjadi eksesifitas dalam pengangkatan wakil menteri sehingga tampak tidak
sejalan dengan dengan latar belakang dan filosofi pembentukan Undang-Undang
tentang Kementerian Negara. Dalam bahasa teknis judicial review eksesifitas
yang seperti itu sering disebut tidak sejalan dengan maksud semula pembentukan
Undang-Undang dimaksud (original intent). Salah satu latar belakang terpenting
dari keharusan konstitusional untuk membentuk Undang-Undang Kementerian Negara
sebagaimana diatur di dalam Pasal 17 ayat (4) UUD 1945 dimaksudkan untuk
membatasi agar dalam membentuk kementerian negara guna melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan, Presiden melakukannya secara efektif dan efisien. Jabatan menteri
dan kementerian tidak boleh diobral sebagai hadiah politik terhadap seseorang
atau satu golongan, sekaligus tidak dapat sembarangan dibubarkan tanpa analisis
yang mendalam bagi kepentingan negara dan bangsa seperti yang pernah terjadi di
masa lalu. Dengan pembentukan wakil menteri yang terjadi berdasar fakta hukum
sekarang, yakni pembentukan yang tanpa job analysis dan job specification yang
jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wakil menteri hanya dibentuk
sebagai kamuflase politik dan membagi-bagi hadiah politik. Hal ini nyata-nyata
tidak sesuai dengan filosofi dan latar belakang pembentukan UU 39/2008 yang
dalam implementasinya menimbulkan persoalan legalitas sebagaimana akan
diuraikan pula pada uraian selanjutnya.
Kedua,
saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban kerja secara
spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan memberi kesan kuat
sebagai langkah yang lebih politis daripada mengangkat pegawai negeri sipil
(PNS) secara profesional dalam jabatan negeri. Apalagi seleksi jabatan wakil
menteri dilakukan secara sama dengan pengangkatan menteri yakni didahului
dengan fit and proper test di tempat dan dengan cara yang sama dengan seleksi
dan pengangkatan menteri. Hal tersebut menjadi sangat politis dan tidak sesuai
dengan hukum kepegawaian yang sudah lama berlaku terutama jika dikaitkan dengan
ketentuan dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo.
Ketiga,
menurut Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan wakil menteri adalah
jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah jelas apakah
jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan fungsional.
Seperti dinyatakan oleh pimpinan BKN di persidangan tanggal 7 Februari 2012
jabatan karier bagi PNS itu ada dua yakni jabatan struktural dan jabatan fungsional.
Persoalannya, jika dianggap sebagai jabatan struktural maka yang bersangkutan
haruslah menduduki jabatan Eselon IA yang berarti, sesuai dengan hukum
kepegawaian, pembinaan kepegawaiannya di bawah pembinaan Sekretaris Jenderal.
Akan tetapi jika jabatan wakil menteri tersebut diperlakukan sebagai jabatan
fungsional masalahnya menjadi aneh, sebab jabatan fungsional itu bersifat
tertentu terhadap satu bidang dan bukan jenis profesi dan keahlian yang
berbeda-beda yang kemudian dijadikan satu paket sebagai jabatan fungsional.
Adalah tidak masuk akal kalau jabatan wakil menteri yang sangat beragam bidang tugas,
keahlian, dan unit kerjanya dianggap sebagai satu kelompok jabatan fungsional.
Lagipula jabatan fungsional harus ditentukan lebih dahulu di dalam peraturan
perundang-undangan dengan mengklasifikasi masing-masing jabatan fungsional ke
dalam jenis tertentu. Para wakil menteri yang berasal dari perguruan tinggi
misalnya, semuanya sudah mempunyai jabatan fungsional akademik. Pertanyaannya,
kalau jabatan wakil menteri dianggap sebagai jabatan karier fungsional maka
bisakah seorang PNS memiliki dua jabatan fungsional sekaligus berdasar
peraturan perundang-undangan?
Keempat,
masih terkait dengan jabatan karier, jika seorang wakil menteri akan diangkat
dalam jabatan karier dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya
haruslah melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang
diketuai oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang
bersangkutan. Tim Penilai Akhir tersebut kemudian mengusulkan pengangkatannya
kepada Presiden dalam bentuk penerbitan Keputusan Presiden (Keppres) untuk
kemudian dilantik oleh Menteri/Jaksa Agung/Kapolri dan pejabat yang setingkat
sesuai dengan penempatan yang bersangkutan. Menurut fakta di persidangan, para
wakil menteri diangkat tanpa melalui prosedur tersebut dan pelantikannya
dilakukan oleh Presiden sendiri di istana negara sehingga prosedurnya
menggunakan prosedur yang berlaku bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku
bagi PNS yang menduduki jabatan karier.
Kelima,
nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri tampak juga dari terjadinya
perubahan Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara sampai dua kali menjelang (Peraturan Presiden
Nomor 76 Tahun 2011, tanggal 13 Oktober 2011) dan sesudah (Peraturan Presiden
Nomor 77 Tahun 2011, tanggal 18 Oktober 2011) pengangkatan wakil menteri bulan
Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya
menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi wakil
menteri supaya memenuhi syarat tersebut. Perubahan-perubahan Perpres tersebut
tampak dibuat secara kurang cermat sehingga mengacaukan sistem pembinaan
pegawai sebagaimana telah diatur dengan peraturan perundang-undangan yang ada
lebih dulu.
Keenam,
komplikasi legalitas dalam pengangkatan wakil menteri seperti yang berlaku
sekarang ini, muncul juga terkait dengan berakhirnya masa jabatan. Jika wakil
menteri diangkat sebagai pejabat politik yang membantu menteri maka masa
jabatannya berakhir bersama dengan periode jabatan Presiden yang mengangkatnya.
Akan tetapi, jika wakil menteri diangkat sebagai pejabat birokrasi dalam
jabatan karier maka jabatan itu melekat terus sampai dengan tiba masa
pensiunnya atau berakhir masa tugasnya berdasarkan ketentuan yang berlaku untuk
jabatan karier sehingga tidak serta merta berakhir bersama dengan jabatan Presiden
yang mengangkatnya. Pertanyaannya, kapan berakhirnya masa jabatan wakil menteri
berdasarkan fakta hukum yang ada sekarang ini? Apakah bersamaan dengan
berakhirnya masa jabatan menteri yang dibantunya dan dalam periode Presiden
yang mengangkatnya ataukah dapat berakhir sebelum atau sesudah itu? Di sinilah
letak komplikasi legalitas tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar