Kamis, 12 Juli 2012

Sistem Kamar Pada Mahkamah Agung

(Tulisan ini di copy paste dari blog krupukkulit, dan sebelumnya telah dimuat di Majalah Tempo pertengahan tahun 2011 dengan judul “Sudah Saatnya Mahkamah Agung Menerapkan Sistem Kamar“. Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana sistem kamar di MA, silahkan membaca di www.leip.or.id)


Sistem Kamar merupakan pengelompokan hakim-hakim yang memiliki keahlian di bidang hukum yang sama. Hakim-hakim tersebut hanya akan mengadili perkara yang sesuai dengan bidang keahlian di kelompoknya.
Salah satu penyebab rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan berkaitan erat dengan kualitas dan konsistensi putusan, sehingga membuka peluang bagi para pihak untuk terus melakukan upaya hukum karena sulitnya mencari standar putusan sejenis sebagai acuan. Kondisi ini membuka peluang bagi pihak yang berkepentingan untuk memenangkan perkara. Lebih runyam lagi bila praktek suap dan kolusi ikut ambil bagian.
Sejatinya, Mahkamah Agung (MA) memiliki fungsi kasasi yang bila dijabarkan akan mengarah pada pentingnya peran MA dalam menjaga kesatuan hukum. Putusan MA bukan hanya berpengaruh kepada para pihak yang berperkara, namun secara tidak langsung juga menimbulkan dampak yang luas, karena akan menjadi referensi bagi di pengadilan tingkat bawah maupun di MA sendiri, dalam menangani perkara serupa di masa mendatang. Dalam konteks inilah sistem kamar menjadi penting.
Sistem kamar merupakan pengelompokan hakim-hakim yang memiliki keahlian atau spesialisasi hukum yang sama atau sejenis, dan hakim-hakim tersebut hanya akan mengadili perkara yang sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam satu kamar bisa terdapat satu atau lebih majelis, disesuaikan dengan banyak perkara. Kamar-kamar ini bukan badan-badan peradilan yang terpisah, melainkan tetap dalam satu badan peradilan.

Secara singkat, tujuan penerapan sistem kamar adalah sebagai berikut:

Mengembangkan keahlian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, karena hakim hanya memutus perkara yang sesuai dengan kompetensi dan keahliannya;
Meningkatkan produktivitas pemeriksaan perkara. Spesialisasi dalam sistem kamar akan mengurangi variasi perkara yang diterima hakim, karena perkara telah terklasifikasi sesuai dengan kompetensi hakim. Dengan demikian, hakim akan memutus perkara yang sejenis sesuai keahliannya secara terus menerus, dan pada akhirnya menciptakan standardisasi;
Memudahkan pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum, karena putusan telah terklasifikasi sesuai keahlian dalam kamar. Sistem Kamar yang konsisten akan berdampak positif dalam jangka panjang terhadap upaya menjaga kesatuan hukum. Bila kepastian hukum dapat diwujudkan, maka pengajuan kasasi dapat menurun, dan arus permohonan kasasi yang tidak beralasan dapat ditekan.
Sejarah Sistem Kamar di Indonesia
Sistem Kamar pada umumnya diterapkan di negara-negara Civil Law, seperti Belanda, Jerman, dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Mahkamah Agung di negara-negara tersebut terdiri dari beberapa Kamar (Chamber), di mana setiap Kamar terdiri dari beberapa orang hakim agung yang hanya akan mengadili perkara sesuai keahlian di kamarnya masing-masing.
Hal ini berbeda dengan Mahkamah Agung di negara-negara Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, serta negara-negara bekas jajahan Inggris. Mahkamah Agung di negara-negara tersebut hanya terdiri dari satu Kamar yang menangani semua jenis perkara.
Sistem Kamar sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia, mengingat sistem peradilan kita merupakan warisan dari Belanda yang sejak lama telah menerapkan sistem kamar. Namun, sejak kekuasaan Hooggerechtshof (Pengadilan Banding) diserahkan kepada MA di tahun 1950, sistem kamar yang ada dalam Hooggerechtshof tersebut dihapuskan untuk sementara waktu, mengingat sangat sedikitnya jumlah hakim agung yang ada pada saat itu, yaitu berjumlah lima orang.
Keinginan untuk kembali menerapkan sistem Kamar kembali menguat pada pertengahan tahun enampuluhan. Cikal bakal untuk kembali ke sistem Kamar terlihat dari munculnya jabatan Ketua Muda dalam Undang-Undang (UU) No. 13/ 1965 tentang Mahkamah Agung. UU ini mengusulkan revisi struktur formal MA, yang akarnya diwujudkan kembali ke dalam empat bidang peradilan (Peradilan Umum, Militer, Agama dan Tata Usaha Negara/TUN).
Meski tidak disebutkan secara eksplisit, namun bagian Penjelasan Umum UU tersebut menyebutkan dengan tegas salah satu ciri dari sistem kamar, yaitu setiap Ketua Muda memiliki beberapa hakim agung sebagai hakim anggota. Sayangnya, belum sempat dilaksanakan, UU No. 13/ 1965 ini dicabut di tahun 1969 melalui UU No. 6/1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Kebutuhan akan adanya spesialisasi melalui sistem Kamar kembali menguat pada awal tahun delapanpuluhan. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR tahun 1982, Ketua MA saat itu mengusulkan agar di MA dimunculkan jabatan Ketua Muda untuk bidang-bidang hukum tertentu. Usulan ini kemudian diterima oleh DPR dan dikongkritkan dalam UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Namun, berbeda dengan UU No.13/1965, dalam UU UU No. 14/1985 tidak dijelaskan lebih jauh mengenai jabatan Ketua Muda tersebut, baik penjelasan mengenai latar belakang lahirnya jabatan ‘baru’ itu, maupun peran dan fungsinya di MA.
Seiring perjalanan waktu, sistem pembagian perkara di MA ternyata justru semakin jauh dari sistem Kamar yang diharapkan. Hakim-hakim agung tidak dikelompokkan di bawah koordinasi Ketua Muda bidang perkara, namun dikelompokkan ke dalam tim-tim, dimana setiap tim akan terdiri dari beberapa orang hakim agung, dan majelis hakim agung dibentuk berdasarkan hakim agung yang ada dalam tim-tim tersebut.
Pembagian tim ini sekilas memang terkesan serupa dengan sistem Kamar, namun sebenarnya tidak demikian. Sebab, pembentukan tim tidak didasarkan pada pembagian bidang perkara yang dibawahi oleh Ketua Muda, melainkan didasarkan pada berapa banyak unsur pimpinan yang ada, yang kemudian akan menjadi Ketua Tim.
Masalahanya adalah, tidak semua unsur pimpinan, seperti Ketua MA, para Wakil Ketua MA, Ketua Muda Pengawasan dan Ketua Muda Pembinaan, adalah Ketua Muda yang membawahi bidang perkara. Masalah berikutnya, seorang hakim agung juga dapat menjadi anggota di dua tim sekaligus, dan pembagian tim tidak sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Celakanya lagi, perbedaan mendasar sistem pembagian perkara saat ini dengan sistem Kamar yang sesungguhnya adalah keseluruhan tim yang ada pada dasarnya dapat memeriksa semua jenis perkara yang diterima MA, mulai dari perdata, pidana, agama, tata usaha negara, maupun militer.
Sistem tersebut secara tidak langsung sebenarnya telah membuat fungsi dari Ketua Muda bidang perkara menjadi tidak jelas. Misalnya, apa fungsi Ketua Muda Pidana jika masih dimungkinkan perkara pidana diperiksa oleh majelis hakim yang tidak berada di bawah koordinasinya?
Hal ini juga berdampak langsung pada kemampuan MA dalam menjaga konsistensi putusan. Tentu sangat sulit menjaga konsistensi atas suatu penerapan hukum apabila suatu jenis perkara diperiksa oleh beberapa ‘Kamar’ sekaligus.
Kondisi tersebut semakin diperburuk dengan ketiadaan yurisprudensi tetap yang berakibat peluang untuk saling berbeda pendapat diantara majelis hakim agung dalam perkara sejenis semakin terbuka. Lebih jauh lagi, masalah kualitas putusan juga menjadi isu serius, mengingat sangat mungkin suatu perkara diputus oleh majelis hakim agung yang tidak memiliki latar belakang kompetensi yang tepat.

Revitalisasi Sistem Kamar
Untuk mengoptimalkan sistem kamar, diperlukan restrukturisasi sistem maupun cara pandang di MA. Pertama adalah dengan merombak sistem pembagian hakim agung dan distribusi perkara berdasarkan tim menjadi pembagian hakim agung dan distribusi perkara berdasarkan bidang perkara.
Secara umum bidang perkara terdiri dari lima bidang, yaitu pidana, perdata, agama, TUN, dan militer. Khusus untuk pidana maupun perdata, mengingat jumlah perkara tersebut di MA sangat besar, yakni mencapai sekitar 80% dari total perkara yang masuk setiap tahunnya, masing-masing dapat dibagi menjadi beberapa sub Kamar sesuai dengan kebutuhan. Seluruh hakim agung yang ada, termasuk Ketua dan Wakil Ketua MA harus duduk dalam salah satu kamar sebagai anggota kamar sesuai dengan keahliannya. Jumlah hakim agung dalam setiap Kamar tentunya akan berbeda sesuai dengan komposisi jumlah perkara yang ada di MA. Dengan demikian, seluruh Hakim Agung akan ‘terbagi habis’ sesuai dengan keahliannya dalam kamar-kamar yang ada.
Di setiap Kamar, perkara tidak diperiksa oleh seluruh anggota Kamar, namun tetap diperiksa berdasarkan sistem majelis yang terdiri dari tiga hingga lima orang hakim agung sesuai ketentuan UU. Namun, untuk menjaga konsistensi pertimbangan hukum, ada baiknya MA mengikuti sistem yang berlaku di Belanda, dimana setiap majelis memaparkan pertimbangan hukum atas masing-masing putusannya dalam rapat Kamar yang dihadiri oleh seluruh anggota Kamar setiap minggunya.
Dengan demikian, setiap anggota Kamar dapat mengetahui bagaimana pertimbangan hukum atas suatu masalah hukum tertentu yang akan diputus oleh masing-masing majelis. Hal ini akan memudahkannya saat menghadapi perkara serupa serta menghindari terjadinya inkonsistensi putusan.
Hal lain yang cukup penting terkait dengan penerapan sistem Kamar ini adalah implikasinya terhadap rekrutmen hakim agung. Bila sistem ini diterapkan, rekrutmen dan seleksi calon hakim agung tidak hanya berdasarkan pada masalah karier atau non-karier semata, namun juga berdasarkan pada kebutuhan akan keahlian hukum tertentu sesuai dengan masing-masing Kamar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar