Selasa, 03 Juli 2012

PENDAPAT MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PRAPERADILAN


Praperadilan merupakan salah satu sistem dalam peradilan pidana Indonesia. Praperadilan tidak dikenal dalam hukum acara pidana lama yang diatur dalam  Herziene Inlandsche Reglement (H.I.R). HIR menganut sistem inquisitoir, yaitu menempatkan tersangka atau  terdakwa dalam pemeriksaan sebagai objek yang memungkinkan terjadinya perlakuan  sewenang-wenang penyidik terhadap tersangka, sehingga sejak saat pemeriksaan pertama di hadapan penyidik, tersangka sudah  apriori dianggap bersalah.
KUHAP telah mengubah sistem yang dianut  oleh HIR tersebut. Dengan adanya KUHAP, tersangka atau terdakwa tidak lagi ditempatkan sebagai  objek melainkan sebagai subjek. Artinya, tersangka atau terdakwa ditempatkan sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Selain itu, kehadiran KUHAP untuk mengoreksi pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. KUHAP juga memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk membela kepentingannya di dalam proses hukum.
Pemeriksaan permohonan praperadilan dilakukan secara cepat. Paling lambat tiga hari setelah permohonan diajukan, hakim tunggal yang ditetapkan harus menetapkan hari sidang [vide Pasal 82 ayat (1) huruf a KUHAP]. Dalam waktu paling lama tujuh hari, hakim sudah harus menjatuhkan putusan [vide Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP]. Keharusan mempercepat acara praperadilan disusul lagi dengan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang menentukan bahwa apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum selesai, maka praperadilan tersebut gugur. Dengan demikian, seharusnya praperadilan tidak boleh diajukan banding.
Dalam hal banding terhadap proses peradilan, KUHAP dinilai masih diskriminatif. Pasal 83 ayat 2 KUHAP memperlakukan secara berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut umum di pihak lain. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pasal 83 ayat (2) KUHAP menentukan, “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan”.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 65/PUU-IX/2011, menjelaskan Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut dikarenakan tidak mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, melalui putusan tersebut maka Pasal 83 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan praperadilan tidak dapat diajukan banding.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar