Praperadilan merupakan salah satu
sistem dalam peradilan pidana Indonesia. Praperadilan tidak dikenal dalam hukum
acara pidana lama yang diatur dalam
Herziene Inlandsche Reglement (H.I.R). HIR menganut sistem inquisitoir, yaitu menempatkan tersangka
atau terdakwa dalam pemeriksaan sebagai
objek yang memungkinkan terjadinya perlakuan
sewenang-wenang penyidik terhadap tersangka, sehingga sejak saat
pemeriksaan pertama di hadapan penyidik, tersangka sudah apriori dianggap bersalah.
KUHAP telah mengubah sistem yang
dianut oleh HIR tersebut. Dengan adanya
KUHAP, tersangka atau terdakwa tidak lagi ditempatkan sebagai objek melainkan sebagai subjek. Artinya,
tersangka atau terdakwa ditempatkan sebagai manusia yang mempunyai harkat,
martabat, dan kedudukan yang sama di hadapan hukum.
Tindakan upaya paksa, seperti
penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan
perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi
manusia. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap
kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam
melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan
hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa
dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan.
Di samping itu, praperadilan bermaksud
sebagai pengawasan secara horizontal terhadap
hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide
Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Selain itu, kehadiran KUHAP untuk mengoreksi
pengalaman praktik peradilan masa lalu, di bawah aturan HIR, yang tidak sejalan
dengan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia. KUHAP juga memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia bagi tersangka atau terdakwa untuk
membela kepentingannya di dalam proses hukum.
Pemeriksaan permohonan praperadilan dilakukan
secara cepat. Paling lambat tiga hari setelah permohonan diajukan, hakim
tunggal yang ditetapkan harus menetapkan hari sidang [vide Pasal 82 ayat (1)
huruf a KUHAP]. Dalam waktu paling lama tujuh hari, hakim sudah harus
menjatuhkan putusan [vide Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP]. Keharusan
mempercepat acara praperadilan disusul lagi dengan ketentuan Pasal 82 ayat (1)
huruf d KUHAP yang menentukan bahwa apabila suatu perkara sudah mulai diperiksa
oleh pengadilan negeri, sedangkan permintaan mengenai praperadilan belum
selesai, maka praperadilan tersebut gugur. Dengan demikian, seharusnya
praperadilan tidak boleh diajukan banding.
Dalam hal banding terhadap proses
peradilan, KUHAP dinilai masih diskriminatif. Pasal 83 ayat 2 KUHAP memperlakukan
secara berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta
penuntut umum di pihak lain. Ketentuan demikian tidak sesuai dengan filosofi
diadakannya lembaga praperadilan yang justru menjamin hak-hak
tersangka/terdakwa sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pasal
83 ayat (2) KUHAP menentukan, “Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah
putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi
dalam daerah hukum yang bersangkutan”.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor
65/PUU-IX/2011, menjelaskan Pasal 83 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Hal tersebut dikarenakan tidak
mempersamakan kedudukan warga negara di dalam hukum dan pemerintahan serta
tidak memberikan kepastian hukum yang adil. Oleh karena itu, melalui putusan
tersebut maka Pasal 83 ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dan
praperadilan tidak dapat diajukan banding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar