Perlindungan hak-hak anak yang
terjerat masalah hukum tidak
dapat dipisahkan dari konsep perlindungan hak anak secara umum. Jaminan
perlindungan hak-hak anak sudah diatur dalam berbagai instrumen internasional
antara lain : Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924, Universal
Declararion of Human Rights of 1948, International Covenant On Civil And Political
Right (Pasal 23 dan 24)(UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant
On Civil And Political Right), International Covenant Economic, Social, and
Culture Rights (UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional
tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya) (Pasal 10).
Perlindungan khusus terhadap anak
yang bermasalah dengan hukum, secara eksplisit, bisa ditemukan dalam
Declaration of the Rights of the Child of 1959 Convention on the Rights of the
Child tahun 1989 (Konvensi tentang Hak-hak Anak/KHA) yang telah diratifikasi
melalui Kepres No. 36 tahun 1990.
Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar
sistem peradilan pidana juga berlaku untuk anak dengan penambahan dan
penyesuain. SPPA (sistem peradilan pada anak) juga harus didasarkan pada
beberapa asas dasar peradilan pidana yaitu:
- equality before the law (Pasal 1 KHA);
- due process of law,
- simplicity and expediency,
- accountability,
- legality principle presumption of innocent (Pasal 37 dan 40 KHA).
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah penangkapan, penahanan, atau pemenjaraan terhadap anak merupakan jalan
lain terakhir (Pasal 3 huruf b). Menurut Haskell & Yablonsky (1974),
penanganan terhadap anak nakal lebih bersifat terapi dari pada penghukuman, dan
cenderung kurang menitikberatkan pada aspek hukumnya, prosedur peradilan
bersifat informal.
Di Indonesia SPPA mengacu pada
ketentuan UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak. Aturan lain yang tidak dapat
dipisahkan dalam masalah ini adalah UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU
No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, dan meski UU Pengadilan Anak disahkan
pada tahun 1997, tapi hingga kini, SPP anak belum terwujud. Setidaknya terdapat
dua hal prinsip yang dapat dijadikan indicator belum terwujudnya SPPA. Pertama,
belum adanya polisi, dan hakim yang khusus anak. Kedua, belum adanya tahanan
khusus anak.
Pasal 1 dengan jelas menentukan
adanya polisi, jaksa, dan hakim anak. Dalam Penjelasan umum disebutkan proses
peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan
pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar
memahami masalah anak. Dari ketentuan-ketentuan tersebut maka anak yang masuk
dalam SPPA berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa, dan hakim
khusus anak (dengan pengecualian dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 53 ayat (3)
dengan melibatkan petugas kemasyarakatan. Dalam hal penahanan, seorang anak
hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap
mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu kepentingan anak (Pasal 45 UU No.
3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa.
Permasalahnya adalah hingga saat ini
belum ada tahanan anak. Keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi
aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercampur
dengan orang dewasa. Kebijakan tersebut merupakan pelanggaran mendasar.
Kegagalan manajerial sistem
peradilan pidana seharusnya tidak dibebankan pada anak. Tidak ada alasan
pembenar apapun untuk mengorbankan hak, pertumbuhan dan perkembangan serta masa
depan anak hanya karena keterbatasan biaya.
Kepastian hukum dan kelancaran
persidangan tidak dapat mengalahkan prinsip perlindungan hak tersangka (anak).
Anak harus dibebaskan dari segala ketidak mampuan dan kegagalan menejemen
sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, selama belum ada tahanan untuk anak,
maka alasan penangkapan dan penahanan yang diatur dalam KUHAP (UU N0.8 Tahun
1981) harus dikesampingkan karena alasan yang mengancam pertumbuhan dan
perkembangan anak. Kepastian hukum dan kelancaran peradilan anak hanya dapat terlaksana
dengan membangun sistem peradilan pidana anak. Oleh kerena itu, MA sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman harus segera merealisasikan sistem peradilan
pidana yang kondusif bagi anak di Indonesia. Pasal 1 dengan jelas menentukan
adanya polisi, jaksa, dan hakim anak. Dalam Penjelasan umum disebutkan proses
peradilan perkara anak nakal dari sejak ditangkap, ditahan, diadili, dan
pembinaan selanjutnya, wajib dilakukan oleh pejabat khusus yang benar-benar
memahami masalah anak. Dari ketentuan-ketentuan tersebut maka anak yang masuk
dalam SPPA berhak dan hanya dapat diperiksa oleh polisi, jaksa, dan hakim
khusus anak (dengan pengecualian dalam Pasal 41 ayat (3) dan Pasal 53 ayat (3)
dengan melibatkan petugas kemasyarakatan.
Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu untuk kepentingan anak Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (Pasal 45 UU No. 3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa. Permasalahnya adalah hingga saat ini belum ada tahanan anak. Pemasalahan keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercapur dengan orang dewasa.
Dalam hal penahanan, seorang anak hanya dapat ditahan sebagai jalan terakhir (Pasal 3 KHA) dengan tetap mempertimbangkan dengan sungguh-sunggu untuk kepentingan anak Penahanan dilakukan setelah dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak (Pasal 45 UU No. 3/1097). Penahanan harus dilakukan terpisah dari tahanan orang dewasa. Permasalahnya adalah hingga saat ini belum ada tahanan anak. Pemasalahan keterbatasan anggaran menjadi alasan pembenar bagi aparat penegak hukum dan hakim untuk memasukakan anak ke tahanan dan bercapur dengan orang dewasa.
Kebijakan tersebut merupakan
pelanggaran mendasar. Kegagalan manajerial Sistem peradilan pidana seharusnya
tidak dibebankan pada anak. Tidak ada alasan pembenar apapun untuk mengorbankan
hak, pertumbuhan dan perkembangan serta masa depan anak hanya karena
keterbatasan biaya. Kepastian hukum dan kelancaran persidangan tidak dapat
mengalahkan prinsip perlindungan hak tersangka (anak). Anak harus dibebaskan
dari segala ketidak mampuan dan kegagalan menejemen sistem peradilan pidana.
Oleh karena itu, selama belum ada tahanan untuk anak, maka alasan penangkapan
dan penahanan yang diatur dalam KUHAP (UU No. 8/1981) harus dikesampingkan
karena alasan yang mengancam pertumbuhan dan perkembangan anak. Kepastian hukum
dan kelancaran peradilan anak hanya dapat terlaksana dengan membangun sistem
peradilan pidana anak. Oleh kerena itu, MA sebagai pemegang kekuasaan kehakiman
harus segera merealisasikan sistem peradilan pidana yang kondusif bagi anak di
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar