Sistem
Kamar merupakan pengelompokan hakim-hakim yang memiliki keahlian di bidang
hukum yang sama. Hakim-hakim tersebut hanya akan mengadili perkara yang sesuai
dengan bidang keahlian di kelompoknya.
Salah
satu penyebab rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan
berkaitan erat dengan kualitas dan konsistensi putusan, sehingga membuka
peluang bagi para pihak untuk terus melakukan upaya hukum karena sulitnya
mencari standar putusan sejenis sebagai acuan. Kondisi ini membuka peluang bagi
pihak yang berkepentingan untuk memenangkan perkara. Lebih runyam lagi bila
praktek suap dan kolusi ikut ambil bagian.
Sejatinya,
Mahkamah Agung (MA) memiliki fungsi kasasi yang bila dijabarkan akan mengarah
pada pentingnya peran MA dalam menjaga kesatuan hukum. Putusan MA bukan hanya
berpengaruh kepada para pihak yang berperkara, namun secara tidak langsung juga
menimbulkan dampak yang luas, karena akan menjadi referensi bagi di pengadilan
tingkat bawah maupun di MA sendiri, dalam menangani perkara serupa di masa
mendatang. Dalam konteks inilah sistem kamar menjadi penting.
Sistem
kamar merupakan pengelompokan hakim-hakim yang memiliki keahlian atau
spesialisasi hukum yang sama atau sejenis, dan hakim-hakim tersebut hanya akan
mengadili perkara yang sesuai dengan bidang keahliannya. Dalam satu kamar bisa
terdapat satu atau lebih majelis, disesuaikan dengan banyak perkara.
Kamar-kamar ini bukan badan-badan peradilan yang terpisah, melainkan tetap
dalam satu badan peradilan.
Secara singkat, tujuan penerapan sistem kamar adalah sebagai berikut:
Mengembangkan
keahlian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, karena hakim hanya memutus
perkara yang sesuai dengan kompetensi dan keahliannya;
Meningkatkan
produktivitas pemeriksaan perkara. Spesialisasi dalam sistem kamar akan
mengurangi variasi perkara yang diterima hakim, karena perkara telah
terklasifikasi sesuai dengan kompetensi hakim. Dengan demikian, hakim akan
memutus perkara yang sejenis sesuai keahliannya secara terus menerus, dan pada
akhirnya menciptakan standardisasi;
Memudahkan
pengawasan putusan dalam rangka menjaga kesatuan hukum, karena putusan telah
terklasifikasi sesuai keahlian dalam kamar. Sistem Kamar yang konsisten akan
berdampak positif dalam jangka panjang terhadap upaya menjaga kesatuan hukum.
Bila kepastian hukum dapat diwujudkan, maka pengajuan kasasi dapat menurun, dan
arus permohonan kasasi yang tidak beralasan dapat ditekan.
Sejarah Sistem Kamar di Indonesia
Sistem
Kamar pada umumnya diterapkan di negara-negara Civil Law, seperti Belanda,
Jerman, dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya. Mahkamah Agung di
negara-negara tersebut terdiri dari beberapa Kamar (Chamber), di mana setiap
Kamar terdiri dari beberapa orang hakim agung yang hanya akan mengadili perkara
sesuai keahlian di kamarnya masing-masing.
Hal
ini berbeda dengan Mahkamah Agung di negara-negara Common Law seperti Amerika
Serikat, Inggris, Australia, serta negara-negara bekas jajahan Inggris.
Mahkamah Agung di negara-negara tersebut hanya terdiri dari satu Kamar yang
menangani semua jenis perkara.
Sistem
Kamar sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia, mengingat sistem peradilan
kita merupakan warisan dari Belanda yang sejak lama telah menerapkan sistem
kamar. Namun, sejak kekuasaan Hooggerechtshof (Pengadilan Banding) diserahkan
kepada MA di tahun 1950, sistem kamar yang ada dalam Hooggerechtshof tersebut
dihapuskan untuk sementara waktu, mengingat sangat sedikitnya jumlah hakim
agung yang ada pada saat itu, yaitu berjumlah lima orang.
Keinginan
untuk kembali menerapkan sistem Kamar kembali menguat pada pertengahan tahun
enampuluhan. Cikal bakal untuk kembali ke sistem Kamar terlihat dari munculnya
jabatan Ketua Muda dalam Undang-Undang (UU) No. 13/ 1965 tentang Mahkamah
Agung. UU ini mengusulkan revisi struktur formal MA, yang akarnya diwujudkan
kembali ke dalam empat bidang peradilan (Peradilan Umum, Militer, Agama dan
Tata Usaha Negara/TUN).
Meski
tidak disebutkan secara eksplisit, namun bagian Penjelasan Umum UU tersebut
menyebutkan dengan tegas salah satu ciri dari sistem kamar, yaitu setiap Ketua
Muda memiliki beberapa hakim agung sebagai hakim anggota. Sayangnya, belum
sempat dilaksanakan, UU No. 13/ 1965 ini dicabut di tahun 1969 melalui UU No.
6/1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Kebutuhan
akan adanya spesialisasi melalui sistem Kamar kembali menguat pada awal tahun
delapanpuluhan. Dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR tahun 1982, Ketua MA
saat itu mengusulkan agar di MA dimunculkan jabatan Ketua Muda untuk
bidang-bidang hukum tertentu. Usulan ini kemudian diterima oleh DPR dan
dikongkritkan dalam UU No. 14/1985 tentang Mahkamah Agung. Namun, berbeda
dengan UU No.13/1965, dalam UU UU No. 14/1985 tidak dijelaskan lebih jauh
mengenai jabatan Ketua Muda tersebut, baik penjelasan mengenai latar belakang
lahirnya jabatan ‘baru’ itu, maupun peran dan fungsinya di MA.
Seiring
perjalanan waktu, sistem pembagian perkara di MA ternyata justru semakin jauh
dari sistem Kamar yang diharapkan. Hakim-hakim agung tidak dikelompokkan di
bawah koordinasi Ketua Muda bidang perkara, namun dikelompokkan ke dalam
tim-tim, dimana setiap tim akan terdiri dari beberapa orang hakim agung, dan
majelis hakim agung dibentuk berdasarkan hakim agung yang ada dalam tim-tim
tersebut.
Pembagian
tim ini sekilas memang terkesan serupa dengan sistem Kamar, namun sebenarnya
tidak demikian. Sebab, pembentukan tim tidak didasarkan pada pembagian bidang
perkara yang dibawahi oleh Ketua Muda, melainkan didasarkan pada berapa banyak
unsur pimpinan yang ada, yang kemudian akan menjadi Ketua Tim.
Masalahanya
adalah, tidak semua unsur pimpinan, seperti Ketua MA, para Wakil Ketua MA,
Ketua Muda Pengawasan dan Ketua Muda Pembinaan, adalah Ketua Muda yang
membawahi bidang perkara. Masalah berikutnya, seorang hakim agung juga dapat
menjadi anggota di dua tim sekaligus, dan pembagian tim tidak sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya. Celakanya lagi, perbedaan mendasar sistem pembagian
perkara saat ini dengan sistem Kamar yang sesungguhnya adalah keseluruhan tim
yang ada pada dasarnya dapat memeriksa semua jenis perkara yang diterima MA,
mulai dari perdata, pidana, agama, tata usaha negara, maupun militer.
Sistem
tersebut secara tidak langsung sebenarnya telah membuat fungsi dari Ketua Muda
bidang perkara menjadi tidak jelas. Misalnya, apa fungsi Ketua Muda Pidana jika
masih dimungkinkan perkara pidana diperiksa oleh majelis hakim yang tidak
berada di bawah koordinasinya?
Hal
ini juga berdampak langsung pada kemampuan MA dalam menjaga konsistensi
putusan. Tentu sangat sulit menjaga konsistensi atas suatu penerapan hukum
apabila suatu jenis perkara diperiksa oleh beberapa ‘Kamar’ sekaligus.
Kondisi
tersebut semakin diperburuk dengan ketiadaan yurisprudensi tetap yang berakibat
peluang untuk saling berbeda pendapat diantara majelis hakim agung dalam
perkara sejenis semakin terbuka. Lebih jauh lagi, masalah kualitas putusan juga
menjadi isu serius, mengingat sangat mungkin suatu perkara diputus oleh majelis
hakim agung yang tidak memiliki latar belakang kompetensi yang tepat.
Revitalisasi Sistem Kamar
Untuk
mengoptimalkan sistem kamar, diperlukan restrukturisasi sistem maupun cara
pandang di MA. Pertama adalah dengan merombak sistem pembagian hakim agung dan
distribusi perkara berdasarkan tim menjadi pembagian hakim agung dan distribusi
perkara berdasarkan bidang perkara.
Secara
umum bidang perkara terdiri dari lima bidang, yaitu pidana, perdata, agama,
TUN, dan militer. Khusus untuk pidana maupun perdata, mengingat jumlah perkara
tersebut di MA sangat besar, yakni mencapai sekitar 80% dari total perkara yang
masuk setiap tahunnya, masing-masing dapat dibagi menjadi beberapa sub Kamar
sesuai dengan kebutuhan. Seluruh hakim agung yang ada, termasuk Ketua dan Wakil
Ketua MA harus duduk dalam salah satu kamar sebagai anggota kamar sesuai dengan
keahliannya. Jumlah hakim agung dalam setiap Kamar tentunya akan berbeda sesuai
dengan komposisi jumlah perkara yang ada di MA. Dengan demikian, seluruh Hakim
Agung akan ‘terbagi habis’ sesuai dengan keahliannya dalam kamar-kamar yang
ada.
Di
setiap Kamar, perkara tidak diperiksa oleh seluruh anggota Kamar, namun tetap
diperiksa berdasarkan sistem majelis yang terdiri dari tiga hingga lima orang
hakim agung sesuai ketentuan UU. Namun, untuk menjaga konsistensi pertimbangan
hukum, ada baiknya MA mengikuti sistem yang berlaku di Belanda, dimana setiap
majelis memaparkan pertimbangan hukum atas masing-masing putusannya dalam rapat
Kamar yang dihadiri oleh seluruh anggota Kamar setiap minggunya.
Dengan
demikian, setiap anggota Kamar dapat mengetahui bagaimana pertimbangan hukum
atas suatu masalah hukum tertentu yang akan diputus oleh masing-masing majelis.
Hal ini akan memudahkannya saat menghadapi perkara serupa serta menghindari
terjadinya inkonsistensi putusan.
Hal
lain yang cukup penting terkait dengan penerapan sistem Kamar ini adalah
implikasinya terhadap rekrutmen hakim agung. Bila sistem ini diterapkan,
rekrutmen dan seleksi calon hakim agung tidak hanya berdasarkan pada masalah
karier atau non-karier semata, namun juga berdasarkan pada kebutuhan akan
keahlian hukum tertentu sesuai dengan masing-masing Kamar.